Satelit NASA Mendapati Potret Wajah Gundul Hutan Papua
Berita Baru, Jakarta – Pernyataan Presiden Jokowi yang menyebut bahwa laju deforestasi turun signifikan, terendah dalam 20 tahun terakhir menuai banyak respons dari kalangan aktivis lingkungan. Karena dinilai tidak sesuai dengan fakta yang ada di lapangan.
Aktivis lingkungan justru mendapati bahwa potensi laju deforestasi atau penggundulan hutan di Indonesia semakin meningkat. Hal itu disebabkan oleh masifnya pembangunan infrastruktur di kawasan hutan, khususnya di wilayah Indonesia timur, ditambah regulasi yang semakin mempermudah pembukaan hutan.
Bahkan satelit NASA, sebagaimana di informasikan CNN Indonesia, mendapati potret wajah gundul hutan Papua. Hasil perbandingan foto satelit NASA yang diambil pada 2001 dan 2019 menunjukkan bahwa kawasan hutan Papua selama dua dekade terakhir mengalami deforestasi hingga 750 ribu hektar dalam 18 tahun terakhir.
Dalam analisisnya Gaveau menjabarkan 28 persen hutan yang hilang digunakan untuk tanaman industri seperti sawit, 23 persen untuk sistem pertanian ladang berpindah, 16 persen karena tebang pilih, 11 persen untuk perluasan sungai dan danau, 5 persen karena kebakaran, dan 2 persen untuk pertambangan.
Meski dua persen dari total keseluruhan hutan terlihat kecil, namun angka tersebut bisa menjadi sesuatu yang berbahaya jika deforestasi berlanjut. Melalui perhitungan kasar, hilangnya 2 persen hutan dalam 2 dekade akan membuat tanah Papua pada milenial berikutnya tidak memiliki hutan sama sekali.
Dilansir dari situs NASA, hutan hujan Indonesia disebut sebagai tempat bagi 10 persen tanaman yang dikenal di dunia. Lalu Indonesia juga menjadi tempat bagi 12 persen spesies mamalia dan 17 persen spesies burung.
Kekayaan hayati tersebut tersebar di 18 ribu pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Bentangan wilayah tersebut cukup besar untuk menjadikan Indonesia sebagai negara dengan hutan hujan terbesar ketiga setelah Amazon dan cekungan Kongo.
Deforestasi yang terjadi di Papua selama dua dekade ke belakang akan mengancam keberagaman hayati di kawasan tersebut jika terus dibiarkan. Meski begitu, data dari Global Forest Watch menunjukkan pada beberapa tahun ke belakang mengalami penurunan, tepatnya pada 2017-2019.
Namun penurunan deforestasi yang terjadi di pulau besar seperti Sumatera dan Kalimantan disebut berpindah ke Papua.
“Perlambatan (deforestasi) di Sumatera dan Kalimantan disebabkan, setidaknya sebagian, karena habisnya lahan yang cocok untuk pertanian, perkebunan dan, meningkatnya harga lahan di pulau-pulau ini,” kata Kemen Austin, analis dari lembaga penelitian non profit RTI International yang juga penulis studi pada 2019 tentang penyebab deforestasi di Indonesia.
“Papua dilihat sebagai wilayah berikutnya, dan investasi baru-baru ini di bidang infrastruktur telah membuat pertanian dan perkebunan di wilayah ini lebih menarik secara ekonomi,” tambahnya.
Melalui data citraan satelit Landsat NASA yang diproses oleh tim peneliti Universitas Maryland ditunjukkan sejumlah kawasan hutan yang hilang, seperti hutan di sepanjang Sungai Digul dekat Banamepe yang hilang pada periode 2011 hingga 2016.
Kemudian sejumlah wilayah di bagian Selatan Papua yang didominasi hutan hujan dataran rendah dan rawa-rawa nampak hilang untuk digantikan dengan tanaman-tanaman besar, termasuk salah satunya wilayah di dekat kota Tanah Merah.
Gaveau mengatakan deforestasi dalam skala yang lebih kecil melibatkan aktivitas tebang pilih, perubahan alami jalur air, dan penebangan skala kecil oleh petani. Selain itu, beberapa wilayah transisi hutan dan padang rumput yang juga mengalami deforestasi diasosiasikan dengan kebakaran hutan musiman yang kerap terjadi.
Sebagai tambahan informasi, pernyataan Presiden Jokowi mengenai turunnya laju deforestasi di Indonesia disampaikan dalam pidatonya di Konferensi Tingkat Tinggi perubahan iklim COP26 di Glasgow, Skotlandia, Senin (01/11).