Rusia Mempererat Hubungan Pertahanan dengan Junta Militer Myanmar
Berita Baru, Internasional – Rusia dan Myanmar akan terus mempererat hubungan pertahanan militer mereka. Hal itu dikemukakan oleh Wakil Menteri Pertahanan Rusia Alexander Fomin pada pertemuan dengan Panglima Tinggi Junta Militer Myanmar Min Aung Hlaing, dilansir dari kantor berita The Moscow Times.
Kunjungan Fomin menandai kunjungan penting pertama oleh seorang pejabat asing ke Myanmar sejak kudeta militer yang menggulingkan presiden terpilih Aung San Suu Kyi pada Februari lalu.
“Federasi Rusia berkomitmen pada strategi yang bertujuan untuk memperkuat hubungan antara kedua negara,” kata Fomin pada pertemuan tersebut.
Fomin menambahkan bahwa, Rusia menganggap Myanmar sebagai sekutu dan mitra strategis yang dapat diandalkan di Asia Tenggara dan kawasan Asia-Pasifik yang lebih besar.
Diketahui bahwa Rusia dan China, telah berulang kali melindungi Myanmar dari kritik di PBB atas tindakan brutalnya terhadap minoritas Muslim Rohingya. Rusia juga terus mendukung kepemimpinan junta militer Myanmar, dan menyebut kudeta yang terjadi di Myanmar “murni urusan domestik negara berdaulat.”
Rusia memiliki sejarah panjang dalam memasok peralatan militer Myanmar dan terus meningkatkan kerja sama militernya dengan Myanmar.
Pada bulan Januari, selama kunjungan Menteri Pertahanan Myanmar Sergei Shoigu ke Naypyidaw. Seminggu sebelum kudeta dimulai, Rusia setuju untuk memasok Myanmar dengan sistem rudal permukaan udara Pantsir-S1, drone pengintai Orlan-10E, dan peralatan radar.
Menurut data Stockholm International Peace Research Institute pada 2019, pengeluaran Myanmar untuk impor senjata Rusia diperkirakan mencapai $ 807 juta selama satu dekade.
Dmitry Mosyakov, seorang profesor dari Institut Studi Oriental Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia di Moskow, mengatakan, kunjungan tersebut menunjukkan bahwa Rusia sangat ingin bekerja sama dengan junta militer.
“Rusia mengirimkan sinyal kuat bahwa dari pihak mereka, hubungan belum berubah, ini bisnis seperti biasa,” katanya kepada The Moscow Times.
“Myanmar tetap menjadi importir besar senjata Rusia. Mungkin sekarang, lebih dari sebelumnya. Kepemimpinan militer Myanmar merasa perlu membeli senjata dari Rusia karena semakin banyak ancaman internal dan eksternal, ”tambah Mosyakov.
Dukungan Rusia untuk junta militer Myanmar datang di tengah kecaman keras dari negara-negara Barat. China, yang secara historis merupakan sekutu utama Myanmar di kawasan itu, baru-baru ini China mengkritik situasi di sana, dengan mengatakan kekerasan itu “sama sekali bukan yang ingin dilihat China.”
Nay San Lwin, salah satu pendiri kelompok hak asasi manusia koalisi kebebasan Rohingya, mengkritik tawaran terbaru Rusia kepada Myanmar.
“Kunjungan ini menunjukkan bahwa Rusia mendukung militer Myanmar yang brutal. Mereka perlu menyadari bahwa mereka kini bekerjasama dengan tokoh-tokoh yang telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, ”ujarnya.