Ron dan Buku Ajaib | Cerpen: Rumadi
Ron serupa dukun. Rumahnya tidak pernah sepi lagi. Sebaliknya, setiap hari, di depan rumahnya, telah mengantre begitu panjang banyak orang. Dan Ron membutuhkanku untuk mengatur semuanya agar tidak terjadi kericuhan macam apa pun. Ia pun yang semula bangun siang sekarang bangun lebih pagi, dan ia menjaga istirahatnya sedemikian rupa dengan cara menutup praktiknya sebelum magrib, dan selepas isya ia sudah terlelap demi esok yang lebih menyegarkan.
Ron bukan dukun. Ia hanya seorang iseng, yang menjadikannya terkenal seantero negeri. Semua bermula saat suatu sore kami sedang berenang di kali. Saat itu tidak ada siapa pun di kali, hanya aku dan Ron. Kami berkejaran, dan berlomba menyelam. Siapa yang lebih lama bisa berendam dalam air menjadi pemenang dan harus diberi hadiah. Aku menurut. Selama ini kami memang selalu menjadi langganan lomba renang, meski tidak pernah juara ketika porseni berlangsung.
Kami mulai menghitung. Tepat saat menghitung mundur pada hitungan satu dari hitungan tiga, kami menenggelamkan diri. Mata kami terpejam. Sebisa mungkin kutahan napas sebagaimana biasa. Aku telah lupa sudah berapa lama berada di dalam air, hingga aku sudah tidak tahan lagi, dan aku tidak peduli soal hadiah di antara kami. Dan begitu aku memunculkan kepalaku, tak kulihat Ron. Kupikir ia masih menyelam, maka setelah mengambil napas panjang aku menyelam kembali. Mencari Ron dan mengatakan aku sudah kalah dan dialah pemenangnya. Namun aku tak mendapati Ron di sana. Aku berusaha menyelam lagi, mencarinya lagi, dan nihil. Arus sungai sedang tidak terlalu deras, jadi kupikir ia tidak terbawa arus, lagipula, sebenarnya sudah berkali-kali Ron menang atasku dalam lomba berenang, dan hanya beberapa kali saja aku menjadi pemenang.
Ia tak ketemu membuatku panik begitu rupa, hingga kususuri sepanjang sungai. Ia tak ada. Ingin rasanya berteriak, tetapi aku ingin memastikan bahwa ia telah benar-benar menghilang.
Dan saat aku kebingungan begitu rupa, dan hendak meminta tolong dengan berteriak kepada penduduk, seseorang menyekap mulutku. Aku meronta, dan dengan mudah kulepaskan tangan yang menyekapku itu. Ia tertawa. Aku memukulnya, jengkel bukan main karena telah mengerjaiku. Ia semakin cekikikan karena ia berhasil mengerjaiku. Kami akhirnya duduk di pinggir kali. Namun aku melihat sesuatu yang aneh di dalam dirinya. Aku merasa kulitnya menjadi bercahaya diterpa sinar matahari. Dan ia juga tak basah. Ia masih mengenakan pakaian yang dipakai sebelum menyelam. Anehnya, seluruh pakaian dan tubuhnya kering belaka. Sebegitu cepat ia mengering? Maka dengan keheranan yang kusimpan sendiri, dan ia pun mengerti kebingunganku dan menceritakannya.
Saat menyelam, ia terasa dicengkeram oleh sebuah tangan yang teramat kuat, menyekap tubuhnya. Tangan itu mengenggam tubuhnya terlalu kuat. Dan seketika mengangkat tubuhnya, di tempat yang tak ia kenali sama sekali. Di sana segalanya tampak indah. Ia dengan mata telanjangnya seperti melihat surga. Semua orang memiliki tubuh dengan kulit yang bercahaya ketika diterpa sinar.
Seseorang memberikan sebuah kitab. Ragu, Ron tidak langsung mengambilnya. Ia diamkan saja uluran tangan itu, kemudian seseorang itu pergi dan meletakkan kitab itu di hadapannya. Semua orang yang berada di sana memberi isyarat kepadanya untuk mengambil dan menyimpannya. Namun Ron masih tak mau, ia ragu-ragu, dan setelah sekian lama ia mematung, akhirnya ia mencoba membuka kitab itu karena terlalu penasaran.
Kitab itu, seperti sebuah kitab usang yang ditulis pada zaman yang terlalu jauh. Meski ukurannya agak kecil, tetapi luar biasa berat. Maka Ron mencoba membuka kitab itu. Seketika langit bergermuruh, dan Ron seperti mendengar auman yang begitu mengerikan di tempat yang sangat jauh.
Tempat yang ia tempati pun bergetar begitu hebat. Kitab macam apa yang mampu menggetarkan seluruh semesta. Ia melihat sekeliling. Semuanya tampak berubah. Semuanya terasa gelap., dan hanya ada Ron dan buku itu. Buku itu bercahaya, dan mengeluarkan sinar menyilaukan setiap dibuka halaman demi halaman. Perlahan setelah didiamkan agak lama, cahaya dari buku itu meredup. Dan Ron bisa membaca semuanya dengan mudah.
Ia terbelalak. Kitab itu berisi catatan kehidupan seluruh mahluk. Dan setiap halaman terbuka, dunia serasa bergemuruh hebat lagi.
Ron membacai satu per satu catatan dalam kitab itu. Dan betapa cerita di dalam buku itu, tepat memberikan gambaran tentang masa lalu orang yang dibacanya, juga tentang masa depannya. Ia membaca dengan saksama. Ia membaca kisahku dan kisahnya sendiri. Juga asmaraku. Namun ia hanya membaca kisahku, dan tak berani membuka kisah tentang dirinya sendiri. Ia tak ingin mengetahui masa depannya sendiri. Ia takut memiliki masa depan yang mungkin saja teramat mengerikan.
Ia menceritakan padaku kejadian demi kejadian dengan fasih. Seolah ia masih mengalami keadaan ajaib itu. Aku pikir awalnya ia mengigau dan berkhayal, tetapi ia menyebutkan tentang masa depanku, dan apa yang kupikirkan saat ini. Tak salah lagi, ia bisa menyebutkannya dengan tepat sebagaimana yang kupikirkan.
Di kampung, Ron termasuk orang yang dikucilkan. Beberapa teman di sekolah dasar pun banyak yang iri, karena kemampuan berenangnya, kadang menjadi juara di setiap porseni di tingkat kabupaten bahkan nasional. Satu perstasi, yang mengharumkan namanya di mata bapak dan ibu guru, tetapi di mata teman-teman kami hal itu menyebalkan. Bagaimana mungkin, anak sepertinya bisa menjadi begitu hebat?
Ia adalah anak seorang pelacur yang datang ke desa kami. Sore yang muram, seorang pelacur meletakkannya di depan musala, dan ia pergi begitu saja. Seseorang yang baru pulang mengambil rumput untuk pakan ternaknya, langsung mencoba menghentikan langkah pelacur itu. Namun karena langkah si pelacur teramat gegas, dan bayi yang diletakkannya menangis sedemikian rupa, akhirnya ia berhenti mengejar, dan berusaha menenangkan si bayi. Ia membawa bayi itu pulang, dan mengurusnya. Lelaki itu tahu betul tentang Rukmini, perempuan yang meletakkan Ron di depan musala. Ia tahu pekerjaannya, tetapi tiap orang tidak bisa menghakimi begitu saja apa yang dia lakukan.
Akhirnya sampai Ron dewasa, dan ia telah berhenti sekolah setelah lulus SMP, ia membantu ayah angkatnya. Namun tak lama kedua orang tua angkatnya meninggal pada suatu sore yang muram. Orang-orang memakamkan kedua orang tua yang menghidupinya, tetapi tak satu orang pun yang peduli padanya. Bahkan orang-orang di desa kami, tak acuh terhadapnya, seolah Ron tidak pernah ada.
Mereka selalu mengungkit. Kenapa ia harus diberi kesempatan hidup? Karena ia seorang manusia, dan ia tak mengetahui apa pun tentang ibunya, dan penduduk desa itu dengan kemarahan yang menyala, mereka hendak mengusir Ron. Namun Pak Lurah Ron berhasil menenangkan Ron. Ia dibiarkan hidup di desa itu ala kadarnya. Sesekali Ron dengan diberi jatah makan oleh penduduk, karena sudah merasa terlalu iba. Namun tak sedikit, yang masa bodoh dengan kehadirannya.
Dan Ron dengan iseng mengetuk pintu rumah dan memberitahukan soal nasib. Kapan sebaiknya mereka berangkat melaut, Bertani, dan segala macam hal termasuk kematian. Kekayaan, kemiskinan bisa datang silih berganti, tetapi kematian tetap ada, meskipun orang-orang berusaha dengan cara apa pun berusaha menghindari kematian.
Segala yang diucapkan Ron serupa sabda dan menjadi nyata. Maka orang-orang pun memperbincangkannya di mana-mana. Di hajatan, di dapur, di sekolah, Ron bisa membaca segalanya dari masa depan. Perlahan stigma Ron anak seornag pelacur dilupakan. Mereka mulai menghormatinya.
Kabar itu secepat embusan angin. Orang yang datang ke tempatnya semakin banyak, semakin kualahan hingga akhirnya Ron memintaku untuk membantunya. Aku yang mengatur antrean. Ternyata ratusan, atau mungkin sudah ribuan orang takut dengan masa depan. Takut dengan segala kemungkinan-kemungkinan yang menyakitkan.
Dari luar, sayup-sayup aku mendengar percakapan dengan seorang pasien yang sepertinya khawatir akan masa depannya. Aku mendengar ia memberikan jumlah uang yang tak sedikit kepada Ron demi bisa mengubah masa depannya. Ron hanya menyuruhnya untuk berbuat baik, bersedekah, terutama kepada orang-orang miskin, dan anak-anak yatim. Adakah cara lain lag? Tanya orang itu. Ron menghela napas dan mencoba menenenangkannya. Hindari pelacur. Dan hindari maksiat. Begitu kata Ron tajam dan menusuk. Ron menyebutkan bahwa lelaki itu akan mati dalam pelukan seorang pelacur. Apa yang Ron katakan memiliki kebenaran mutlak, karena ia memiliki kemampuan membaca kehidupan seseorang.
Saat malam, ketika kami hendak beristirahat, sekali waktu aku pernah bertanya kepada Ron.
“Apakah kehidupanku baik-baik saja? Bagaimanakah aku akan mati?”
Katanya, aku akan mati di tangannya. Dengan belati yang menancap di leher. Oleh sebab apa? Tanyaku lagi. Sebab kau meniduri istriku, katanya lagi.
“Tetapi hal ini bisa diubah. Lagipula aku belum kepikiran untuk menikah. tenanglah, tak usah risau, bisa saja. Kabar ini dusta belaka.”
Ya sejak aku mendengar kabar itu, aku selalu mengasah pisau yang teramat tajam, yang bisa membunuh seseorang dengan sekali tusuk. Saat ini aku tak perlu bekerja terlalu keras untuk mencari makan. Ron selalu membelikan segala yang kusuka, dan kadang menyuruhku bersenang-senang untuk liburan. Diam-diam tanpa sepengetahuan Ron, aku selalu berusaha untuk menutupi keberadaan senjata ini. Dan suatu ketika, aku melihat seorang perempuan dengan mata yang bercahaya sedang mengantre. Ia kupersilakan masuk. Aku tidak pernah melihat wajah yang demikian indah. Alisnya melengkung, dan hendak menyatu, pipinya merah merona, dan bibirnya kecil dan tipis. Banyak sekali wanita cantik yang menjadi pasien Ron. Namun, tak pernah aku merasa segugup ini membantu Ron. Aku dekatkan telinga ke dinding. Sayup-sayup aku mendengar percakapan mereka dengan pasti.
“Dalam buku ini, Nona akan menikah denganku. Kita akan menikah dan memiliki kehidupan bahagia di sini.”
Demikianlah yang dikatakan Ron. Dan si perempuan keluar ruangan, dan aku menjauhkan telinga, duduk di tempatku semula. Ia menganggukkan kepalanya dengan cepat. Oh betapa kaki itu teramat jenjang. Langkah kakinya serasa, malaikat yang sedang berjalan.
Kuelus belati di pinggangku. Masih melekat di sana. Hingga saatnya tiba, aku harus membunuh Ron terlebih dahulu, sebelum Ron menancapkan belati di leherku.
Ciputat, 19 Agustus 2021
Rumadi, lahir di Pati 1990. Menulis cerpen. Saat ini aktif di FLP Ciputat dan komunitas Prosatujuh. Cerpennya pernah dimuat harian Republika, kompas.id, cendananews.com dan detik.com