Ramadan ke-18: Pengagungan Adalah Kunci
Berita Baru, Ramadan – Oman Fathurahman dalam #TanggaRuhani ke-56 mengulas tentang utas sufi al-Ta’zim (pengagungan).
Al-Ta’zim Oman memahaminya tidak saja sebagai sebentuk ketundukan pada Allah, tidak menyalahi perintah-Nya atau tidak meratapi apa yang sudah digariskan–seperti sungai-sungai yang pasti akan bermuara ke laut–tetapi juga sebagai sikap yang bijak dalam mengagumi apa dan siapa pun.
Maksud bijak dalam mengagumi atau mengagungkan ini adalah bagaimana kita penting untuk bersikap standar, tidak berlebihan, juga tidak menyepelekan.
“Untuk konteks sesama manusia misalnya, ketika kita menjumpai seseorang yang menarik perhatian, maka baiknya ya kita standar saja. Tidak mengabaikannya dan tidak berlebihan dalam memberi perhatian. Kira-kira inilah tujuan dari al-Ta’zim,” kata Oman pada Jumat (30/4).
Di level tertentu, al-Ta’zim berpotensi membawa seseorang sampai pada #TanggaRuhani ke-57 al-Ilham atau kemampuan untuk menangkap apa itu yang disebut sebagai pengetahuan rabani.
Selama ini, ungkap Oman, yang terbiasa dengan al-Ilham adalah para “ahli hadis” (al-Muhadditsun), sehingga mereka memiliki kemampuan untuk memahami yang penglihatan lahir tidak bisa melakukannya.
“Secara fungsi, al-Ilham identik dengan al-Firasah, hanya saja ia lebih permanen, sedangkan firasat bersifat kadang-kadang. Itu pun kerap rumit dimengerti,” jelas Oman.
Dari segi dampak, al-Ta’zim berkelindan dengan dua #TanggaRuhani yaitu yang ke-58 al-Sakinah (ketenangan) dan ke-59 al-Tuma’ninah (ketenteraman).
Pertama adalah keadaan ketika jiwa merasa rileks selepas menghadapi guncangan, kegelisahan, dan ketakutan. Di sisi lain, al-Sakinah juga bisa dipahami, kata Oman, sebagai suatu kondisi yang tenang dan tenteram, meski sedang berhadapan dengan guncangan dan teman-temannya.
Untuk pengertian yang belakang, seseorang tidak bisa tidak membutuhkan pembiasaan serta pelatihan yang tidak sederhana agar dapat melakukannya.
“Apa yang dirasakan Nabi saat di Gua Hira ketika dikejar-kejar oleh musuhnya adalah potret betapa Nabi mendapatkan anugerah al-Sakinah,” kata Oman.
Adapun kedua lebih pada kondisi istirahat, situasi minor yang tenang dan damai. Jika di level al-Sakinah, kita masih berpikir dan mengoptimalkan segenap daya agar mampu tetap tenang dalam kondisi sulit, maka di tahap al-Tuma’ninah semuanya serba otomatis.
Jadi, boleh disebut, al-Tuma’ninah adalah puncak dari al-Sakinah. Ia adalah hasil dari deretan upaya dan latihan yang sudah dilakukan seseorang melalui al-Ta’zim, al-Ilm, al-Sakinah, dan sebagainya.