PSHK Usulkan Revisi UU Sisdiknas
Berita Baru, Jakarta – Isu Pendidikan menjadi bagian penting dari visi pembangunan Sumber Daya Manusian yang diusung oleh Presiden Joko Widodo. Pada aspek regulasi, khususnya pada tingkat Undang-Undang, inti pengaturan isu Pendidikan berada dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).
Namun seiring berjalannya waktu, isu terkait dengan Pendidikan tidak hanya diatur dalam UU Sisdiknas, tetapi tersebar pada berbagai UU, diantaranya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Mencermati hal tersebut, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia mengusulkan diadakan revisi UU Sisdikanas.
“Secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis, UU Sisdiknas sudah mengalami berbagai perubahan. Oleh karena itu, revisi atau pembentukan UU baru menggantikan UU Sisdiknas sudah mendesak untuk dilakukan. Dengan situasi tersebut, PSHK mengusulkan untuk melakukan revisi UU Sisdiknas dengan menggunakan pendekatan kodifikasi, yaitu menggabungkan ketentuan-ketentuan dari UU lain yang merupakan bagian dari Sistem Pendidikan Nasional,” kata Peneliti PSHK, Agil Oktarial kepada Beritabaru.co, Rabu (04/12).
Selain UU Sisdiknas, menurut Agil, regulasi lain yang perlu menjadi perhatian dalam bidang Pendidikan adalah terkait instruksi Presiden Jokowi untuk membentuk UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM melalui bentuk omnibus law. Kedua UU itu harus disusun dengan mempertimbangkan Sistem Pendidikan Nasional, ataupun bidang kerja dari Komisi X lainnya, yaitu pariwisata, dan kebudayaan.
“Pendekatan omnibus law dalam penataan dan penyederhanaan regulasi bukanlah hal yang luar biasa, Pemerintah memilih pendekatan ini karena akan menata banyak sektor dalam satu UU. Apapun bentuk UU, yang terpenting adalah adanya transparansi informasi dan partisipasi publik dalam setiap proses pembentukan UU di Komisi X,” lanjut Agil.
Aqil menambhkan, ada dua isu lain terkait dengan akses Pendidikan bagi masyarakat. Pertama, terkait dengan akses Pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus atau penyandang disabilitas. Pendidikan inklusif yang berjalan saat ini, menurutnya, masih fokus untuk menggabungkan antara peserta didik penyandang disabilitas dan non disabilitas dalam satu kelas, tetapi belum fokus untuk mengurangi stigma dan meningkatkan fasilitas yang aksesibel dalam mendukung proses belajar siswa berkebutuhan khusus ini.
“PSHK mendorong percepatan pembentukan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Akomodasi Yang Layak bagi Penyandang Disabilitas dalam Proses Pendidikan, yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pada saat ini RPP masih dalam proses pembentukan, walaupun seharusnya sudah disahkan dari tahun lalu sesuai dengan amanat dari UU 8/2016,” ungkapnya.
Adapun point kedua, kata Agil, terkait dengan perwujudan ekosistem perbukuan di Indonesia. Salah satu aspek yang menentukan adalah mekanisme pengawasan buku yang selama ini dilakukan masih menggunakan pendekatan yang represif dan tidak demokratis.
“PSHK mendorong untuk membangun siste, pengawasan perbukuan kedepan dilakukan dengan cara demokratis dan menjamin kebebasan berfikir berdasarkan hukum. Pengawasan harus menghindari praktik penyitaan tanpa berdasar kepada putusan pengadilan, yang sudah dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010,” Agil melanjutkan.
Selain itu, mekanisme pengawasan perlu menghindari melalui proses hukum, sehingga perlu dibangun mekanisme pengawasan yang melibatkan para pelaku perbukuan, dan tidak perlu melibatkan penegak hukum seperti Kejaksaan RI.
“Dengan begitu dapat mendukung terciptanya ekosistem perbukuan yang mampu mendorong produksi buku dan minat baca dari masyarakat Indonesia,” pungkasnya.