PSHK: Pengesahan UU Cipta Kerja sebagai Legalisasi Tanpa Ruang Demokrasi
Berita Baru, Jakarta – Proses legislasi UU Cipta Kerja merupakan praktik buruk legislasi yang terus berulang setelah pengesahan UU Minerba, revisi UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan revisi UU Mahkamah Konstitusi.
Menurut Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Gita Putri Damayana, pengesahan RUU Cipta Kerja dalam Rapat Paripurna DPR pada Senin (5/10) kemarin tidaklah mengagetkan, mengingat hampir setiap minggu publik mendapat kabar bahwa pembahasan materi RUU tersebut terus melaju tanpa dapat terbendung. Padahal gelombang penolakan terus menguat.
“Praktik buruk legislasi ini bertolak belakang dengan tujuan DPR dan Presiden ketika memulai pembahasan RUU Cipta Kerja, yaitu melakukan penataan regulasi. Sulit berharap lebih banyak pada DPR dan Presiden periode saat ini untuk terciptanya proses legislasi yang lebih baik,” tutur Gita, dalam keterangan tertulis PSHK.
Proses pembentukan UU Cipta Kerja, lanjut Gita, menunjukan bahwa DPR tidak sedang menjalankan dengan baik fungsi legislasi yang dimilikinya. DPR saat ini lebih menjalankan perannya sebagai pemberi stempel terhadap kebijakan pemerintah.
“Kontrol terhadap usulan Presiden tidak dijalankan secara optimal. Alih-alih melakukan pengawasan terhadap kebijakan Presiden dalam penanganan COVID 19, DPR malah mengurusi legislasi yang masih dapat ditunda sampai pandemi berlalu, dan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan UU kembali membaik,” jelasnya.
Lebih jauh Gita menilai apa yang dilakukan oleh DPR tersebut telah menciderai fungsi repesentasinya.
“Pembahasan RUU dilakukan tanpa membuka dialog dengan publik secara terbuka. Bahkan mendiamkan saat Presiden melalui aparatnya menekan publik menyampaikan aspirasinya,” tukasnya.
Ia juga menilai bahwa proses yang tidak transparan dan partisipatif menjadi warna yang tidak dapat dihilangkan dalam menggambarkan proses pembentukan UU Cipta Kerja.
“Proses legislasi dilakukan secara tergesa, dan abai untuk menghadirkan ruang demokrasi,” tegasnya.
Tertutupnya ruang demokrasi, tambah Gita, setidaknya tergambar dari tiga argumentasi yaitu pertama, pembahasan RUU pada masa reses dan di luar jam kerja; kedua, tidak adanya draft RUU dan risalah rapat yang disebarluaskan kepada masyarakat; dan ketiga, tidak adanya mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak dalam Rapat Paripurna untuk mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi UU.