Program KB Ala Bali, 4 Anak Boleh
Program KB Ala Bali, 4 Anak Boleh
Oleh: Dwi Lestari
Opini, – Baru-baru ini Provinsi Bali membuat aturan baru daerah tentang Keluarga Berencana (KB). Jika zaman dulu, di masa orde lama, KB yang ideal adalah KB yang menghasilkan banyak anak. Karena “ banyak anak banyak rezki”. Sedang pada masa orde baru, KB yang ideal adalah KB yang menghasilkan “2 anak cukup”. Kini di Bali memiliki konsep baru dalam KB yang ideal. Di Bali KB yang ideal adalah KB yang menghasilkan 4 anak.
Di Bali memiliki budaya pemberian nama anak dengan urutan kelahiran. Biasanya anak pertama akan diberi nama Wayan. Selain Wayan, juga bisa diberi nama Gede, Putu, Ni Luh. Untuk anak kedua, biasanya akan diberi nama Made atau Nengah, Kadek. Untuk anak ke tiga, biasanya akan diberi nama Nyoman atau Komang. Untuk anak ke empat, biasanya akan diberi nama Ketut.
Pemberina nama secara berurutan itu kini mulai memudar, dan hampir punah. Gubernur Bali sebagai pemangku kebijakan, mengetahui hal buruk itu. Akhirnya pun beliau dibuat resah dengan kabar tersebut.
Secara umum KB di Indonesia 2 anak cukup. Namun ada anggapan, bahwa program nasional KB itu tidak menguntungkan di wilayah Bali. Karena banyak pasangan yang hanya memiliki 2 anak saja. Dan nama urutuan yang digunakan pun hanya nama untuk urutan 1 dan 2. Nama urutan ke 3 dan ke 4 jarang digunakan.
Dugaan program KB nasional yang tidak menguntungkan wilayah Bali ini pun, akhirnya mendorong Gubernur membuat kebijakan baru. Kebijakan yang memberlakukan program KB yang sesuai dengan budaya Bali.
Bisa dikatakan KB ala local wisdom Bali. Diharapkan KB ala local wisdom Bali ini cocok diterapkan di Bali. Kelak pengendalian penduduk bisa ditekan dengan nilai-nilai kelokalan yang ada. Harapannya begitu.
KB dari masa ke masa memang digunakan sebagai media pengendali penduduk. Itu pun diberlakukan sesuai kebutuhan setiap masa.
Seperti halnya KB di masa orde lama. Pada masa itu, pasangan yang memprogram KB harus menghasilkan banyak anak. Karena pada masa itu, dalam pikiran kita ditanamkan dogma-dogma, bahwa banyak anak adalah banyak rezki.
Alasan pada masa orde lama KB harus menghasilkan banyak anak. Karena pada masa itu Indonesia baru saja merdeka. Tentu saja pada masa itu, Indonesia masih labil, dan memiliki rasa trauma yang berat, atas peristiwa dijajah 350 tahun. Untuk mengobati rasa traumanya itu, Pemerintah pun membuat aturan untuk memiliki banyak anak. Supaya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini dapat dijaga dengan baik oleh anak cucuk kita kelak.
Sedangkan di masa orde baru beda lagi aturan, dan kebutuhannya. Dimasa orde baru program KB hanya menganjurkan untuk memiliki 2 anak saja, dan itu cukup. Alasannya pada masa itu adalah penduduk Indonesia masih mengalami ledakan penduduk yang cukup tinggi. Sehingga pada masa itu penduduk perlu ditekan, dan kedalikan.
Itu terlihat, ketika pada masa itu pemerintah memiliki program transmigrasi. Program ini digalakkan secara massif, untuk memeratakan kepadatan penduduk.
Kembali lagi dengan strategi Pak Gubernur Bali I Wayan Koster dalam program KB ala lokal wisdom Bali. Pak Gubernur demi menjaga local wisdom dari Bali ini, maka diberlakukanya aturan daerah nomor 1545 Tahun 2019 Tentang Sosialisasi Program Keluarga Berencana (KB) Krama Bali. Disana mengatur tentang pengajuran memiliki 4 anak dalam setiap keluarga.
Hidup bernegara memang tidak bisa hidup bebas sekarepe dewe. Semua ada aturannya. Termasuk dalam hal memiliki jumlah anak. Walau memang memiliki jumlah anak adalah hal yang privat, pribadi, dan itu adalah bagian dari otonomi tubuh seorang perempuan. Namun semua itu, seringkali tidak diperhatikan oleh orang-orang yang membuat kebijakan.
Jumlah anak dalam keluarga menjadi focus perhatian pemerintah daerah. Mungkinkah, pemerintah daerah juga memperhatikan, peduli pada masa depan anak-anak yang dilahirkan dalam setiap keluarga tersebut?. Hemmm… aku pun tidak tahu.
Memiliki banyak anak, itu artinya keluarga tersebut harus siap, dan memiliki banyak dana untuk masa depan anak-anaknya. Memiliki banyak anak, dengan jumlah 4 itu tidak mudah untuk keluarga tertentu. Dan mungkin cukup mudah untuk keluarga tertentu. Mudah dalam arti secara finansial ya.
Setiap keluarga itu memiliki kemampuan finansial yang berbeda-beda. Tentu, harusnya tidak bisa, aturan ini diterapkan, namun tidak mempertimbangkan para keluarga yang memiliki finansial yang pas-pasan.
Setiap anak yang dilahirkan tentu harus memiliki masa depan yang baik. Lantas, apakah mungkin bisa, masa depan yang baik itu bisa tercapai, jika kebutuhan pangan, gizi, kesehatan, pendidikan anak itu tidak terjamin, karena alasan ekonomi keluarga yang pas-pasan?.
Semoga hal-hal demikian sudah direncanakan dengan baik oleh beliau-beliau yang telah membuat kebijakan ya.
Dalam kehidupan berumah tangga tentu bukan hal yang mudah. Bahkan untuk memutuskan menikah kapan, memiliki anak kapan, memiliki jumlah anak berapa. Itu adalah bukan hal yang tanpa prediksi, tanpa rencana.
Harusnya dalam program KB itu bukan hanya tentang alat kontrasepsi, pencegahan hamil dan tidak mencegah hamil semata. Disana ada hal penting yang harus kita fahami bersama, bahwa KB itu adalah bagaimana para pasangan mampu merencanakan masa dalam berkeluarga.
Yang direncanakan paling dasar, dan awal adalah kapan menikah, kapan memiliki anak, dan berapa jumlah anak yang sesuai kemampuan dari keluarga ini, atau bahkan tidak ingin memiliki anak sama sekali. Hal-hal demikian mungkin saja terjadi. Dalam kehidupan bermasyarakat itu banyak hal yang tidak terprediksi. Namun hal itu ada, dan terjadi.
Membicarakan keluarga berencana, tentu kita harusnya juga membicarakan tentang kesepakatan dengan pasangan masing-masing. Tanpa sebuah kesepakatan, dan rencana yang baik dengan pasangan, tentunya KB tidak akan pernah menjadikan keluarga itu bahagia, sejahtera.
Okay marilah kita melakukan, memutuskan banyak hal dengan petimbangan yang sadar. Dengan melihat dampak baik, buruk, dan kemampuan kita masing-masing. Terutama dalam program keluarga berencana. Setiap pribadi, setiap keluarga memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam mencukupi kebutuhan hidup. Tentu hal seperti ini juga akan mempengaruhi program perencanaan keluarga ideal bahagia sejahtera.
Keluarga yang ideal mungkin saja, bukan keluarga yang memiliki banyak anak, atau 2 anak cukup atau 4 anak, namun keluarga yang ideal adalah keluarga yang memiliki kesepatakan untuk merencanakan bahagia sejahtera sesuai kemampuan masing-masing keluarga.
Dwi Lestari, Berasal dari Tuban Jawa Timur. Kini ia tinggal di Yogyakarta dan menjadi Volunteer Riset PKBI DIY.