Pertualangan Palsu dan Muslihat Cinta yang Dungu | Cerpen Beri Hanna
Sesuai dengan janjinya pada Sinar Sinum untuk pergi bertualang ke tempat yang menyenangkan, Sigam berakit sampai di perbatasan dusun yang ditandai rerimbun pohon durian. Beberapa saat menunggu hingga Sigam merasa matahari telah membakar kulit kepalanya—Sigam sedikit kecewa—, barangkali Sinar Sinum tak sungguh-sungguh tentang janji bertualang itu atau justru Sinar Sinum telah tahu niat yang tidak tulus, malah berkeinginan ingin mencinta, batin Sigam. Putus asa mendapati diri bagai hampir hangus menjadi abu, Sigam tak bisa lebih bersabar untuk menunggu.
Pada waktu yang bersamaan ketika Sigam memutuskan untuk membatalkan seluruh rencana awal, Sinar Sinum muncul dengan lima keranjang rajutan rotan berisi perlengkapan yang akhirnya Sigam tahu, itulah sebabnya Sinar Sinum terlambat.
“Kau bawa begitu banyak barang,” kata Sigam.
“Ini saja belum cukup untuk keperluan kita bertualang. Aku masih harus melengkapinya,” jawab Sinar Sinum ketus.
Sebelum berlari untuk melengkapi semua barang yang dirasa perlu, Sigam mencegah dan mengingatkan pada Sinar Sinum bahwa ini hanya pertualangan kecil yang tidak menghabiskan waktu lama. Tetapi Sinar Sinum tak mau dibantah, ia ingin semua barang miliknya ikut ke mana pun ia pergi. Karena bersikeras bahwa semua itu perlu, Sigam tak dapat membantah karena Sinar Sinum telah berlari hilang, lalu muncul sambil menyeret lima keranjang lain serta seekor anak babi yang lucu.
“Semua ini sungguh berat dan melelahkan,” keluh Sinar Sinum. “Seharusnya kita berangkat setelah makan siang agar aku punya banyak tenaga,” lanjutnya sambil terduduk lemas.
Sambil bingung memandang Sinar Sinum, Sigam bertanya apakah masih ada keranjang atau babi lain? Sinar Sinum menggeleng cemberut. Ia merasa pertanyaan itu seperti menyinggung dirinya. Ia tahu bahwa laki-laki tidak seperti dirinya yang merasa membutuhkan banyak hal, bahkan hal-hal yang hanya terlihat lucu saja. Namun, ia lekas tersenyum karena Sigam dengan menunjukkan perasaan hati-hati memindahkan satu per satu keranjang itu ke atas rakit. Setelah semua terkumpul dan disusun, rakit itu tampak hampir tenggelam.
“Kau lihat itu? Sepertinya kita tidak kebagian tempat,” ucap Sigam.
Sinar Sinum yang masih lemas, diam memandang rakit dengan muatan keranjang itu. Ia bingung dan meminta waktu untuk memecahkan persoalan ini pada anak babi dalam dekapannya. Sigam yang merasa itu cara konyol karena tentu babi tak mungkin dapat berpikir apa lagi berbicara, terkejut ketika Sinar Sinum menuntutnya untuk membawa perahu, bukan rakit.
“Itulah yang kami putuskan!” kata Sinar Sinum sambil ia mengguncang-guncang anak babi.
Maka dengan mengalah, sambil menggerutu bahwa ia telah salah memilih daun muda, Sigam menurunkan semua muatan lalu ia naik ke rakit. Sebelum ia mendayung ke arah awal kemunculannya, ia minta Sinar Sinum untuk menunggunya.
“Aku tak ingin ditinggal,” teriak Sinar Sinum ketika Sigam telah di tengah sungai dengan rakitnya. Sigam pun membalasnya dengan meneriakkan sumpah bahwa tidak butuh waktu lama, ia akan kembali dengan perahu yang lebih besar, sesuai hasil keputusan atau permintaan anak babi sialan itu.
***
Setelah selesai dengan urusan merontokkan bulu seekor ayam, memak terkejut mendapati sudong atau rumah, kosong seperti perut ayam yang siap dibakar. Bukan hanya kain, kulit kayu manis, dan buah bertumpuk dalam keranjang yang tidak dilihatnya, tetapi juga tungku memasak serta bibit pohon durian yang disimpan elok berbaris di tepi sudong, turut hilang.
Memak menjerit sambil berlari ke luar dengan panik. Orang-orang yang sekejap berdatangan mengerumuni memak, pulang lalu datang kembali dengan kuju jantan atau tombak dan bedil siap tembak. Mereka berpencar ke segala penjuru dan bersumpah pada memak, maling itu akan ditangkap hidup atau mati.
Setelah semua kembali lengang, memak baru menyadari, bukan hanya barang-barang yang telah digasak sang maling, tetapi juga Sinar Sinum, anak semata wayangnya, yang tidak ia hidu baunya sedari tadi. Maka memak berteriak kembali, mengumpulkan orang-orang dan membuat mereka marah serupa api yang dilempar dari neraka, siap untuk membakar daging, tulang, serta abu sang maling.
***
Sigam tidak percaya—demi cinta ia lupa segalanya—ia telah mencuri rakit Tumenggung dan ia lebih tidak percaya untuk mengembalikan rakit itu lalu ditukar dengan perahu. Dalam perjalanan mendayung, ia terus-terusan menggelengkan kepala sambil berharap Tumenggung tidak sedang menodongkan bedil ke kepalanya. Ia berdoa, semoga Tumenggung belum tahu jika rakitnya telah dicuri.
Sampai di tempat perahu dan rakit itu dibariskan, Sigam meloncat ke sebuah perahu yang dilihatnya besar. Sebelum melarikan diri, Sigam takut jika ternyata perahu itu juga tidak kuat untuk mengangkut ia dan Sinar Sinum beserta babi dan semua barang yang dirasa perlu itu. Karena tidak ingin gagal lagi, Sigam meloncat ke darat, mencuri pandang ke kediaman Tumenggung. Merasa aman, Sigam mencoba mencari sesuatu yang berat untuk dicoba pada perahu. Jatuhlah pilihannya pada batu. Ia memindahkannya dan menaikkan beberapa sambil membayangkan berat yang melebihi muatan semula. Setelah yakin, Sigam mendayung perahu dan menjatuhkan batu-batu itu ke dalam sungai. Ia lega karena usahanya berjalan tanpa diketahui oleh siapa pun.
Sambil bersenandung, Sigam membayangkan sebentar lagi ia akan pergi jauh bersama Sinar Sinum untuk mendapatkan apa yang semestinya harus dibayar atas usahanya.
***
Karena lama menunggu Sigam tidak kembali, Sinar Sinum teringat pada memak. Terutama ia ingat saat mengemas semua barang, memak sedang menyiapkan ayam bakar untuk makan. Merasa perutnya bergetar karena lapar, udara yang dihirup pun seperti menerbangkan aroma masakan ayam bakar memak telah siap.
“Kau juga mencium aromanya?” tanya Sinar Sinum pada anak babi yang diguncang-guncangkan tubuhnya. “Kita memang saling memahami,” seru Sinar Sinum.
Ketika ingin melangkah, Sinar Sinum ragu karena teringat Sigam yang bersumpah akan segera menemuinya lagi dengan perahu lebih besar, maka Sinar Sinum berdiam, meminta pada anak babi untuk sedikit bersabar. Namun rasa lapar tak dapat dibendung, ia telah gemetaran dengan wajah pucat.
“Sepertinya kita harus mengambil keputusan,” bisik Sinar Sinum pada anak babi.
Seolah berbicara serius untuk memecahkan masalah penting, Sinar Sinum mendapat ide ketika anak babi menguik-nguik. Ia berkesimpulan untuk berhitung dalam hati dan berpikir jika hitungannya sampai pada angka tertentu—sesungguhnya hitungan itu tidak beraturan—maka ia akan memutuskan untuk pulang, menemui memak yang mungkin sudah menunggunya untuk makan bersama. Dan nanti, ketika perutnya sudah tidak begetar, ia akan kembali meneumi Sigam di tempat ia meninggalkan semua barang-barangnya.
“Kau memang hebat, karena setelah kupikir-pikir, kita juga bisa membujuk memak untuk ikut bertualang, bagaimana?” Babi itu menguik. Sinar Sinum tersenyum.
***
Mereka bergerak seperti macan, melompat dan siap menerkam. Kuju jantan telah tajam, bedil telah tak tahan ingin saling meletus menghabisi nyawa seorang dalam incaran. Hingga tampak rumput bergoyang, mereka siaga memasang kuda-kuda. Begitu siap, mereka malah terkejut sebab yang muncul dari semak bergoyang, ialah Sinar Sinum si wajah manis dengan anak babi di dekapannya.
Sinar Sinum yang bingung karena dirangkul lalu diamankan, diserang banyak pertanyaan tentang ia yang tidak diapa-apakan. Sinar Sinum tidak habis pikir bahwa orang-orang telah menjadi aneh. Meski begitu, ia mencoba tetap tenang dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun untuk menghindari keanehan-keanehan lain, sebelum ia mengetahui sebab semua ini. Sementara sebagian dari orang terus bergerak dan sebagian lain mengiring Sinar Sinum untuk sampai ke sudong, mereka masih dengan rasa penasaran pada Sinar Sinum yang diam dan pucat.
Beberapa saat ketika memak meraung-raung lalu memeluk Sinar Sinum dengan tangisan tiada henti, terdengar letusan bedil dan kalimat-kalimat kasar yang mengutuk dari kejauhan. Memak serta orang-orang yang mengantar Sinar Sinum terkejut, lebih penasaran, mereka berlari ke arah suara, meninggalkan Sinar Sinum yang diam melihat ayam belum dibakar oleh memak. Sinar Sinum cemberut serta kesal sebab terpaksa harus menahan rasa lapar.
Sampai di sana, seorang bujang telah diikat pada sebatang pohon dengan bekas luka tembak di kaki. Wajahnya memelas, meminta belas kasih.
“Ia kami tembak saat menaikkan keranjang ke perahu,” teriak salah seorang pada memak yang baru muncul. Memak tak tega melihatnya, pelan-pelan memak mundur lalu kembali ke sudong, ia memeluk Sinar Sinum yang hampir pingsan menahan rasa lapar.
Beri Hanna lahir di Bangko. Bergiat di Kamar Kata Karanganyar dan Tilik Sarira. Bukunya akan terbit “Menukam Tambo”.