Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Cinta Pertama dan Peri Ayana | Cerpen: Baron YN
Ilustrasi: Paula Rego

Cinta Pertama dan Peri Ayana | Cerpen: Baron YN



Kami berpisah karena ia memercayai keberadaan peri. Kami bertemu lagi tujuh tahun kemudian, pada Minggu sore, saat aku ke kios buku mencari materi desain grafis.

Aku di rak paling belakang, mengernyitkan kening sambil membuka-buka buku. Lalu, suara perempuan membuyarkan fokusku, mencuri perhatianku.

“Apakah ada buku sihir pengubah nasib?”

“Kami tak punya buku itu. Kami bahkan ragu apakah ada buku semacam itu.”

“Seseorang kelak akan menulisnya!”

Aku melongok dan terkejut saat mengetahui bahwa suara yang mengusikku berasal dari bibir Nirmala; aku ingat manisnya bibir itu saat kukecup di bawah rimbun pohon mangga, di bukit belakang SD Negeri.

Ia semakin cantik, walau mengenakan kemeja motif kotak, celana jeans, dan sepatu converse. Rambutnya sepundak, dengan poni miring yang akan menutupi mata kanan saat tertiup angin dari kipas di dinding.

Yang membuatku tidak terkejut adalah buku yang ia cari; sihir pengubah nasib. Mendengar itu membuatku geli sendiri.

Ia memang menyukai sihir, seekor naga, pangeran, peri, dan istana. Ia pernah bercerita bahwa sejak kecil, menjelang tidur, ibunya selalu menceritakan kisah-kisah ajaib dari buku-buku dongeng koleksinya.

Dan ketika berumur delapan tahun, ia memecah celengan babi, membelanjakan tabungan untuk membeli buku-buku karangan HC Andersen, Oscar Wilde, dan Grimm Brothers. Terbayangkan bukan betapa dongeng di kepalanya bagai kerak noda abadi di lantai kamar mandi.

Aku mengenalnya di UKS sekolah. Pada jam pulang sekolah, aku tersandung batu dan terjerembab di parkiran. Lenganku berlumpur dan berdarah dan itu membuat kakiku melangkah ke UKS, dengan harapan menemukan obat merah di sana. Aku menemukannya sepaket dengan Nirmala, perempuan yang akan kucintai dan kemudian aku benci–aku memanggilnya Mala.

Sementara Mala menyeka debu meja UKS, aku duduk di tepian kasur membersihkan lumpur dengan kapas.

“Bersihkan dulu dengan air,” katanya. Ia lalu mengeluarkan botol minum dari tas, memberikannya kepadaku.

“Pakai alkohol dulu,” katanya lagi, setelah lenganku bersih.

“Kau membuatku kesulitan!”

“Itu prosedur standar!”

Setelah menghela napas, ia berjinjit untuk membuka rak dinding, mengambil sebotol alkohol, kemudian duduk di sampingku. Bau badannya menyenangkan, seperti permen karet Yosan. Seandainya ia permen karet, aku tentu mengunyah dan meniupnya menjadi balon.

Ia merawat lukaku. Saat tangan kami bersentuhan, hangat kulitnya dari tanganku berpindah ke dadaku, mendekam di sana, kemudian berbisik lirih pada jantungku, “Tuanmu sedang jatuh cinta!” Saat itulah si jantung berdegup kencang tak terkendali dan aku berharap Mala perempuan tuli.

Semenjak itu, aku menjadi bodoh. Tapi, bukankah selain fantasi, cinta juga dibangun dari kebodohan?

Bayangkan saja, pembaca yang budiman, aku meminta jadwal piket anak-anak PMR kepada kawanku untuk mengetahui hari piket Mala. Dan setiap ia berjaga, aku melukai diri sendiri, entah dengan batu, pisau cutter, ataupun gunting. Aku lalu menemuinya di UKS dengan darah hanya untuk berbicara dengannya di waktu yang sama, dari minggu ke minggu, bulan ke bulan, dan aku tak tahu kapan berakhirnya.

Namun, ia suatu saat berkata, “Kenapa kau melukai diri sendiri?”

“Apa maksudmu?”

“Kau tahu maksudku. Tiga minggu berturut-turut aku mengikutimu dan melihatmu melukai diri sendiri. Apa yang ada di kepalamu?”

Ia lalu menggempurku dengan banyak pertanyaan yang membuatku terpojok dan gelagapan. Kau tahu, pembaca yang budiman, Ayahku pernah bilang, jangan memutuskan apapun saat marah atau sedih, jangan mengatakan apapun saat gelagapan. Sebab semuanya akan kacau-balau.

Aku tak mau kacau-balau. Karena itu, aku diam dan berulang-ulang menarik napas saat Mala terus mencecarku. Mulutnya terkatup seketika saat aku bertanya, “Kenapa mengikutiku? Tiga minggu, lho. Kau bermaksud menculikku?”

“Itu tak mungkin terjadi!”

“Apa yang mungkin terjadi?”

Giliran ia yang gelagapan dengan wajah serupa tomat.

“Kau bodoh!” serunya. Ia memungut tas di lantai, meninggalkanku.

Kau tahu, pembaca yang budiman, aku ini ya nggak jelek-jelek amat. Mala adalah perempuan ketiga yang kudekati saat SMA. Maksudku, aku hafal gelagat perempuan yang jatuh hati kepada lelaki. Tiga minggu mengikutiku, itu cinta yang keterlaluan.

Setelah keluar dari gerbang sekolah, aku melihat Mala di jembatan penyeberangan, duduk di anak tangga terbawah sambil bertopang dagu. Wajah kusutnya mengingatkanku pada jemuran setengah kering. Ia lalu membuang muka saat aku menepikan motor.

Raungan mesin, lengkingan klakson, dan jeritan para pemarah di jalan raya yang dilanda kemacetan membuat percakapan kami berlangsung dengan teriakkan-teriakkan. Tanpa segan, aku mengungkapkan perasaanku. Ia malah berulang-ulang menyeka pelupuk mata.

“Apa ada yang salah?”

Ia menggeleng. “Kau jangan lakukan kebodohan itu lagi!”

Darah di lutuku telah kering. Di bawah terik yang menggigit, aku mendekapnya dan mendengar seseorang di jalan raya bersuit-suit kepada kami.

Semenjak itu, kami berangkat dan pulang bersama dan kami saling berbagi cerita. Kepadaku, ia berkata bahwa namanya–Nirmala–diambil ibunya dari tokoh peri baik hati di majalah Bobo. Ia juga bercerita tentang dongeng-dongeng yang asing di telingaku.

Suatu siang di hari Minggu, aku diajaknya ke tempat dimana ia menghabiskan waktu untuk membaca buku dan bernyanyi. Kami ke puncak sebuah bukit di belakang SD Negeri, duduk di bawah rimbun pohon mangga yang berbuah. Dari situ, aku bisa melihat sungai di bawah bukit jernih airnya seperti cermin, memantulkan dahan-dahan, awan-awan, dan layang-layang yang terbang di langit.

Ia lalu mengatakan bahwa hijaunya bukit itu bukan karena dirawat manusia, melainkan dijaga oleh Ayana, peri kecil dari negeri lain yang di masa lampau disesatkan oleh badai saat akan pulang ke negerinya, lalu terdampar di bukit itu.

“Yang harus kita lakukan agar membuatnya selalu merawat bukit ini adalah dengan bernyanyi,”katanya.

“Aku bisa lakukan itu!”

Demikianlah, pembaca yang budiman, minggu demi minggu kami datang ke bukit itu dan bernyanyi bersama.

Namun, kami suatu saat menemukan daun pohon-pohon di bukit itu menguning, mencokelat, kemudian mati dan tanggal dari ranting dan berserakan di hamparan rumput yang mengering. Mala tampak terpukul, sorot matanya menyiratkan kesedihan.

Kami lalu bukan hanya bernyanyi, tetapi juga menari di bukit untuk Ayana, peri kecil penjaga bukit. Dan kami lakukan setiap siang sepulang sekolah, tapi bukit itu tak kunjung sembuh dan aku merasa jenuh. Kepadanya sepulang sekolah, aku mengatakan bahwa Ibuku sakit dan aku tak mungkin ikut ke bukit. Ia percaya.

Yang tak kusangka-sangka, ia datang malamnya ke rumahku dengan sekeranjang buah. Dan ia pulang setelah melihat Ibuku baik-baik saja.

“Kau semestinya tidak berbohong kepadaku!” katanya di sekolah. Aku menemuinya di belakang aula setelah membaca secarik kertas yang terselip di laci mejaku.

Aku terdiam, teringat pesan Ayahku.

“Kau tahu, bukit itu butuh kita!”

Itu pukulan telak yang membuat mulutku lepas kendali. “Kau tidak benar-benar meyakini keberadaan Ayana, bukan?”

Ia terdiam lama sekali dan mulai menangis terisak.

“Jadi selama ini kau anggap aku berkhayal?”

Belum sempat aku menjawab, ia meninggalkanku seorang diri di belakang aula, di tengah desir angin panas siang itu.

Kami tak pernah putus, berpisah begitu saja tak saling lihat dan tak saling sapa. Dan tak lama, aku memiliki penggantinya dan ia tak memiliki siapapun hingga kami sama-sama lulus.

***

Ia lalu meninggalkan penjaga kios itu, menghilang di balik rak buku. Aku tak tahu ia kemana dan aku tak mau ia tahu aku dimana. Karena itu, aku berjalan di antara rak-rak buku sambil menoleh kanan kiri, menuju pintu keluar. Betapa terkejutnya aku saat menabrak seorang perempuan, yang ternyata adalah ia; Nirmala.

Sambil berdiri, kami lalu menanyakan kabar masing-masing, sibuk apa, dan aku menyesal telah mengatakan, kau tambah cantik karena ia membalasnya dengan berkata, kau tak berubah.

Ia ternyata sedang meninjau kios itu, yang rencana akan ia pakai untuk acara bedah novel. Aku menahan tawa setelah ia menyebut judul: Cinta Pertama dan Peri Ayana.

“Seperti kereta.”

“Maksudnya?”

“Judulnya panjang sekali.”

Aku mengatakannya dengan sinis, tetapi ia malah tertawa-tawa; ia berubah sedangkan aku tidak. Tak dapat kupungkiri bahwa tawanya menyenangkan sekaligus menyiksa.

Ia memberiku novelnya dan aku membacanya malam hari. Kau tahu, pembaca yang budiman, isinya sama seperti yang baru saja kuceritakan kepadamu, tetapi bertele-tele.


Baron YN merupakan seorang buruh di Semarang. Beberapa cerpennya pernah dimuat  di media.