Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Pemerintah Harus Konsisten Menjamin Kebebasan Sipil dan Otonomi Khusus di Papua
Foto Istimewa

Pemerintah Harus Konsisten Menjamin Kebebasan Sipil dan Otonomi Khusus di Papua



Berita Baru, Jakarta – Pemerintah dinilai inkonsisten dalam melaksanakan demokratisasi dan Otonomi Khusus (Otsus) di Papua. Akibatnya, Otsus gagal membawa keadilan sosial bagi penduduk Papua. Ruang-ruang publik untuk menyatakan pendapat dan kritik semakin ditutup. Kualitas demokrasi Papua masih jauh dari pencapaian keadilan, kesehatan, dan kesejahteraan bagi masyarakat Papua.

Demikian kesimpulan dalam diskusi virtual Weekend Talk oleh Koalisi Kemanusiaan Papua yang disiarkan melalui YouTube Public Virtue Institute, Minggu (4/7/2021).

Diskusi bertema Rendahnya Tingkat Kebebasan Sipil di Papua dan Inkonsistensi Otonomi Khusus menghadirkan Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Timothius Murib dan Ketua MRP Papua Barat Max Ahoren sebagai pembicara.

Turut menanggapi dalam diskusi itu Bupati Jayapura Mathius Awoitauw, Sekda Kota Jayapura Frans Pekey, Deputi Direktur Public Virtue Research Institute Anita Wahid, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid, koordinator AMAN Regional Papua Ludia Maya, dan Akademisi Universitas Cendrawasih Melkias Hetharia.

“Otsus ini belum menyentuh isu kekerasan dan isu HAM. Otsus ini juga harusnya mensejahterakan orang asli Papua. MRP mencatat bahwa demokrasi Papua masih buruk meski ada Otsus selama 20 tahun lebih. MRP menilai demokrasi Papua masih jauh dari harapan,” kata Ketua MRP Papua Timothius Murib.

Timothius mengusulkan pentingnya menggelar evaluasi menyeluruh terhadap Otsus, yakni evaluasi yang dapat menampung aspirasi masyarakat Papua di bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan ekonomi kerakyatan.

Hal senada disampaikan Bupati Jayapura Mathius Awoitauw. “Otsus hanya dirasakan di level pemerintah tingkat provinsi saja. Sementara di level kabupaten atau kota, kebijakan yang dia rasakan adalah yang bersumber dari UU Otonomi Daera, bukan Otsus,” kata Mathius. 

Mathius menjelaskan, dampak tidak berjalannya Otsus adalah sulitnya membuat regulasi perlindungan masyarakat adat. Di Jayapura, terdapat puluhan wilayah adat yang tidak teridentifikasi akibat tidak berjalannya kebijakan Otsus secara maksimal.

Dalam acara tersebut, akademisi Universitas Cendrawasih, Melkias Hetharia, mengatakan Otsus gagal memenuhi dua tujuannya , yakni pembangunan kesejahteraan rakyat Papua dan menyelesaikan kasus HAM masa lalu. 

“Pasal-pasal UU tersebut bersifat umum dan tidak operasional. Akibatnya, Otsus sulit untuk diterapkan begitu saja. Pengawasan dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sangat lemah. Peraturan turunan berupa Peraturan Daerah Provinsi atau Perdasi, dan Peraturan Daerah Khusus atau Perdasus kerap bertabrakan dengan peraturan menteri,” kata Melkias.

Dalam kesempatan yang sama, Sekda Kota Jayapura, Frans Pekey, melihat adanya inkonsistensi antara berbagai peraturan. Dalam kasus ini, jika ada perbedaan antara peraturan pusat dan Otsus, kerap kali yang ‘dikalahkan’.

“Jika terjadi inkonsistensi, cenderung dan senantiasa mengalahkan UU Otsus karena standar nasional dan peraturan sektoral,” kata dia.

Sementara itu, koordinator AMAN Regional Papua Ludia Maya berpendapat, MRP seharusnya menjadi keterwakilan masyarakat Papua dalam memberi masukan pada pemerintah pusat.

“Saya melihat MRP tidak aktif sampai ke akar rumput. Ada penjaringan aspirasi dalam MRP, tapi kami masyarakat adat tidak dilibatkan. Aspirasi ini tidak tahu juga apakah dibawa atau tidak,” kata Ludia.

Ruang dialog

Salah satu gagasan yang dilontarkan para pembicara dan penanggap di dalam forum tersebut adalah adanya ruang dialog antar berbagai elemen, terutama dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Menurut Deputi Direktur Public Virtue Research Institute, Anita Wahid, dialog seperti ini dilakukan oleh presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di masa kepemimpinannya.

“Gus Dur pada saat itu bersedia berdialog dengan langsung. Gus Dur mengajak dialog dengan semua orang dan kelompok, walaupun ada perbedaan. Dulu banyak kelompok yang menyatakan tidak percaya dengan pemerintah, tapi tetap didengar Gus Dur,” kata Anita Wahid.

Anita yang juga merupakan putri ketiga Gus Dur bercerita dari dialog tersebutlah Gus Dur berhasil membangun kesepakatan dengan warga Papua dan mengambil jalan tengah dengan menghasilkan UU Otonomi Khusus tersebut.

“Otsus ini buah konsensus di antara kelompok-kelompok tersebut. Jika ada kepentingan yang belum dijembatani, maka bisa diakomodasi lewat pasal-pasal turunan. Tapi sayangnya ini tidak (pernah) terjadi,” kata Anita.

Alih-alih berhasil, bagi Anita, implementasi Otsus sendiri jauh dari tujuan untuk mengembalikan hak masyarakat Papua. Perlindungan sosial, politik, ekonomi, yang menjadi sasaran Otsus menurutnya sangat kurang. Malahan yang berkembang saat ini adalah Otsus direduksi dengan hanya fokus pada masalah anggaran saja, padahal ini persoalan perlindungan sosial.

Anita menekankan yang perlu dilakukan pemerintah saat ini terhadap masyarakat Papua adalah memberikan keadilan. Sebab keadilan adalah syarat mutlak terciptanya perdamaian. “Seperti kata Gus Dur, perdamaian tanpa keadilan itu ilusi,” pungkasnya.

Sementara itu Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menegaskan bahwa kualitas demokrasi di Papua berada pada posisi terburuk dibanding provinsi lain. Bahkan, agenda pelaksanaan demokrasi di Papua mengalami pembalikan dengan kembalinya resentralisasi kekuasaan ke pusat.

“Yang sekarang terjadi adalah resentralisasi. Misalnya dalam mengelola sumber daya alam atau dalam pemekaran wilayah. Kita harus kembali ke semangat desentralisasi politik dan otonomi khusus. Pemerintah harus menghormati tiga lapis hak orang Papua: universal, kewargengaraan, dan adat. Itu semua harus dihormati lewat Otsus juga,” kata Usman.

Diskusi yang berlangsung selama 2,5 jam ini, dari pukul 13-15.30 WIB, mendapat respons positif dari peserta di platform YouTube. Sebagian penonton diskusi menyampaikan tanggapan dan pertanyaannya kepada pembicara melalui live chat, yang kemudian dibacakan oleh moderator Nurina Savitri dari Amnesty International Indonesia.