Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP), Aryanto Nugroho. (Foto: Istimewa/Dok. PWYP)
Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP), Aryanto Nugroho. (Foto: Istimewa/Dok. PWYP)

Pemerintah Cabut 180 IUP, PWYP: Harus di-Blacklist Juga



Berita Baru, Jakarta – Pada hari Selasa, 15 Februari 2022, pemerintah melalui Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengumumkan pencabutan 180 Izin Usaha Pertambangan (IUP), meliputi 112 IUP mineral dan 68 IUP batu bara.

Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal, Kementerian Investasi/BKPM, Imam Soejoedi mengungkap pencabutan IUP berlaku kepada seluruh perusahaan yang tidak mengikuti aturan dan tidak memanfaatkan izin sebagaimana mestinya.

Menanggapi langkah tersebut, Publish What You Pay (PWYP) menilai memang sudah seharusnya pemerintah melakukan pencabutan IUP bagi perusahaan yang tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan/atau tidak memenuhi kewajiban.

“Pencabutan IUP yang tidak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau tidak memenuhi kewajiban, memang sudah seharusnya (bahkan wajib) dilakukan pemerintah,” kata Koordinator Nasional PWYP, Aryanto Nugroho saat dihubungi Beritabaru.co, Rabu (16/2).

Lebih lanjut Aryanto menegaskan ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah pasca pencabutan. Diantaranya, memastikan status lahan berada di kawasan hutan konservasi, hutan lindungan atau areal penggunaan lain (APL), termasuk statusnya dalam konteks tata ruang.

“Memastikan lahan tersebut apakah sudah ada bukaan lahan? meninggalkan lubang tambang misalnya? Pemerintah harus memastikan bahwa perusahaan yang dicabut tetap menjalankan kewajiban reklamasi-nya,” terangnya.

Hal lain yang harus menjadi perhatian pemerintah, kata Aryanto yaitu memastikan perusahaan-perusahaan yang dicabut izinnya juga telah menjalankan kewajiban keuangan (pajak & PNBP) atau kewajiban lainnya.

“Sebagaimana yang diatur undang-undang. Apakah ada pelanggaran perusahaan yang bisa dijerat dengan pidana korporasi, ini juga harus dilakukan pemerintah,” tuturnya.

Tidak hanya itu, Aryanto juga menyebut pemerintah perlu melakukan blacklist terhadap perusahaan-perusahan yang IUPnya dicabut. Termasuk blacklist terhadap Beneficial Ownership-nya (pemilik sebenarnya).

Sementara terkait rencana lelang kembali izin yang dicabut kepada pelaku usaha tambang baru, Aryanto memandang seharusnya belum menjadi prioritas oleh pemerintah. Ia mencontohkan tambang batu bara.

“Untuk batubara misalnya, (dalam konteks transisi energi), sudah seharusnya produksi kita dikendalikan bahkan dikurangi, sehingga tidak memerlukan eksplorasi atau pun eksploitasi baru,” ungkapnya.

Lahan dan hutan yang saat ini, kata Aryanto, dibebani pertambangan pun sudah terlalu banyak. Patut dicatat juga oleh pemerintah, salah satu penyebab deforestasi yang besar adalah penggunaan lahan dan hutan untuk pertambangan.

Bahkan Aryanto berpandangan, secara ekonomi sudah harus bergeser dari paradigma sektor ekstraktif sebagai sumber devisa untuk dialihkan ke green economy.

Ia menyebut, kapasitas pemerintah pusat (pasca kewenangan ditarik ke pusat semua) untuk membina dan mengawasi ribuan IUP di seluruh Indonesia saat ini sudah kesulitan. Misalnya jumlah Inspektur Tambang, PPNS, Anggaran Pengawasan dan lain sebagainya.

“Apalagi jika hendak ada lelang baru. Justru saat ini momentum yang tepat untuk dilakukan MORATORIUM IZIN PERTAMBANGAN MINERBA,” pungka Aryanto.