PBHI Sebut Pemilihan Ketua MA Harus Menjadi Momentum Reformasi Peradilan
Berita Baru, Jakarta – Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) menyerukan agar pemilihan Ketua Mahkamah Agung (MA) yang digelar pada Senin, 14 Oktober 2024, tidak hanya menjadi pergantian kepemimpinan biasa, tetapi juga momen penting untuk mendorong perbaikan dan reformasi peradilan di Indonesia. Dalam siaran pers yang dirilis pada Rabu (16/10/2024), PBHI menyoroti berbagai masalah sistemik dan struktural yang masih dihadapi oleh MA.
“Pemilihan Ketua MA harus menjadi momentum untuk menciptakan pengadilan yang bersih dan terpercaya. Saat ini, Mahkamah Agung menghadapi masalah birokrasi yang panjang, kurangnya keterbukaan informasi, dan rentannya praktik korupsi,” ungkap Gina Sabrina, Sekretaris PBHI, dalam siaran persnya yang terbit pada Rabu (16/10/2024).
Salah satu isu utama yang disoroti PBHI adalah keterlibatan sejumlah pejabat MA dalam kasus korupsi. Menurut data, sejak tahun 2010 hingga 2022, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menjerat 21 hakim sebagai tersangka kasus korupsi. Bahkan, dua Sekretaris MA berturut-turut, Nurhadi dan Hasbi Hasan, terjerat kasus suap dan gratifikasi.
“Keterlibatan pejabat tinggi MA dalam korupsi tidak hanya mencoreng lembaga, tetapi juga berdampak langsung pada para pencari keadilan. Praktik ini membuat ruang gerak MA semakin sempit karena terus dipanggil dan diperiksa oleh KPK,” tambah Gina.
PBHI juga menekankan pentingnya memastikan kesejahteraan hakim sebagai bagian dari reformasi peradilan untuk menutup celah terjadinya suap dan jual beli perkara. Gina mengingatkan bahwa Sekretaris MA memegang peran penting dalam hal pembinaan administrasi dan finansial hakim.
Terkait pemilihan Ketua MA, PBHI menegaskan agar seleksi dilakukan secara transparan dan akuntabel. “Pemilihan ini tidak boleh didasarkan pada kubu-kubu atau sekadar meneruskan kepemimpinan eksisting. Ketua MA yang terpilih harus membawa komitmen kuat untuk mereformasi sistem peradilan dan memastikan integritas lembaga ini,” tegas Gina.
PBHI menambahkan bahwa calon Ketua MA tidak boleh menjadi “titipan” dari rezim politik atau kelompok bisnis tertentu, melainkan harus memiliki rekam jejak yang baik dan dipercaya oleh publik. “Pemilihan Ketua MA bukan hanya urusan internal, tetapi merupakan momen krusial untuk memilih pemimpin yang akan membawa perubahan besar dalam sistem peradilan Indonesia,” tutup Gina.