Paramadina Bicarakan Demokrasi Indonesia
Berita Baru, Jakarta – Universitas Paramadina gelar diskusi publik bertajuk ‘Demokrasi Indonesia Tanpa Humanisme?’, Selasa (1/11). Hadir sebagai pembicara pada diskusi tersebut, diantaranya Jaya Suprana (Pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan) dan Dr Sunaryo (Dosen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina).
Dalam kesempatan itu, Sunaryo memaparkan refleksi terhadap praktik demokrasi di Indonesia. Ia menyebut meksi pada masa awal para filosof tidak terlalu suka dengan demokrasi, namun dalam sejarah modern demokrasi dianggap sebuah sistem nilai yang mempunyai keburukan paling sedikit, dibanding yang lain. Itulah realitas modern, dan negara-negara kemudian didorong untuk menjadi lebih demokratis.
“Founding father Indonesia sejak awal mempunyai komitmen besar terhadap demokrasi kerakyatan yang diwakili oleh sila keempat Pancasila. Tapi kemudian demokrasi di Indonesia juga mengalami pasang surut mulai era demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi era orde baru dan demokrasi era reformasi saat ini,” katanya.
Demokrasi di alam reformasi, lanjut Sunaryo, menemukan format kebebasan dengan diizinkannya multi partai, kebebasan bersuara serta berserikat, dan lain-lain. Namun juga hadir aneka respon dan perilaku masyarakat-individu mulai dari hal baik sampai yang kasar, rendahan, dan nir etika seperti perilaku komunikasi di media sosial terkini.
“Untuk itu memang dibutuhkan tata aturan yang disepakati oleh semua pihak untuk tetap mengedepankan etika di ruang-ruang publik, dan hukuman bagi yang melontarkan hate speech keterlaluan. Seperti yang diterapkan di negara-negara maju. Indonesia perlu kesadaran semua pihak untuk membangun kesadaran beretika di alam demokrasi. itu yang masih absen,” jelasnya.
Lebih lanjut ia menuturkan, kemanusiaan adalah mahkota peradaban. Namun ide humanisme juga akhirnya dikritik karena dianggap kurang pemihakan terhadap aspek ekologi. Sejarah humanisme abad pertengahan pada manusia sebagai sentrum, dan teosentrisme sebagai pusat kebenaran juga dikritik. Terkait tafsir yang pasti dipahami secara keliru dan berbeda-beda.
“Peradaban manusia selalu mempunyai payung untuk membuat kehidupan menjadi lebih baik. Salah satu ukurannya dari sudut manusia termasuk tata kelola hidup bersama. Demokrasi adalah payung Kemanusiaan untuk membuat Kemanusiaan menjadi lebih baik. Memang, tidak ada sistem yang sempurna tetapi demokrasi adalah pilihan yang punya resiko paling kecil,” katanya.
Bagi Sunaryo, bangsa Indonesia saat ini cenderung fokus pada aspek prosedural dalam demokrasi. Hanya pada pelaksanaan pemilu dan parlemen di DPR tetapi kurang pada aspek demokrasi yang lebih substansial. Tetapi juga memihak Amartya Sen, yang menyatakan Asian Values-nya Lee Kuan Yew dan Mahathir Mohammad yang belum tentu cocok di belahan lain Asia.
“Dari beberapa komparasi, demokrasi justru punya kontribusi lebih positif terhadap kesejahteraan. Dapat memberikan kesempatan kepada semua orang terhadap apa yang menjadi interestnya,” kata Sunaryo.
Sementara Jaya Suprana, dalam kesempatan itu menegaskan bahwa kemanusiaan adalah mahkota peradaban. Apapun yang dilakukan manusia, jika tidak berorientasi pada kemanusiaan maka tidak akan jadi baik pada hasilnya. Dan dapat dipastikan berujung destruktif jika tidak dipayungi oleh kemanusiaan. Baik ekonomi, politik, sosial budaya, dan agama.
“Agama bahkan pernah dimanfaatkan bukan untuk kemanusiaan,” terangnya.
Ia kemudian mengurai, cara manusia memahkotakan Kemanusiaan adalah seperti yang diajarkan oleh Cak Nun, satu di antara kearifan Islam yang dikagumi, adalah, Jihad al Nafs. Jihad atau peperangan melawan hawa nafsu. Yang diangkat dari kisah peperangan Uhud, ketika Nabi Muhammad memberikan nasehat kepada pasukan muslim, agar jangan lengah dan perang yang paling besar (Akbar) adalah perang melawan hawa nafsu.
“Salah satu tragedi kemanusiaan di Jakarta adalah ketika terjadi penggusuran terhadap warga Bukit Duri pada 28 September 2016. Di situ nampak bahwa bagi mereka yang miskin, maka pasti tidak bisa melawan. Berbeda ketika rencana penggusuran terjadi pada kaum yang berpunya. Di situlah sebetulnya ujian bagi Kemanusiaan kita. Termasuk ketika melakukan kebencian, penghinaan dan fitnah,” ujarnya.
Bagi Jaya Suprana, demokrasi, agama. hukum, ekonomi, politik tidak berada pada posisi yang salah. Yang salah adalah manusianya yang kehilangan Kemanusiaan. Sesungguhnya Kemanusiaan itu built in dalam Demokrasi dan Demokrasi built in dalam Kemanusiaan. Jihad melawan nafsu bisa berbentuk peradaban yang luar biasa indah. Karena estetika itu juga hal yang tidak kalah penting. Jihad al nafs juga untuk membentuk peradaban, bukan hanya untuk membangun demokrasi.
“Dari segi happiness index, kesejahteraan jelas berkorelasi dengan kebahagiaan, dan memberi pengaruh terhadap kesejahteraan. Sisi Happiness index, Kemanusiaan lebih objektif karena menunjukkan arah capaian pada kebahagiaan yang lebih substantif,” pungkasnya.