Noam Chomsky: Manusia Mendekati Titik Paling Berbahaya dalam Sejarah
Berita Baru, Internasional – Ahli bahasa, filsuf, dan aktivis asal Amerika, Noam Chomsky, memperingatkan bahwa kita tengah “mendekati titik paling berbahaya dalam sejarah manusia.” Hal ini diungkapkan intelektual tersebut dalam sebuah wawancara dengan The New Statesman.
Kesimpulan Noam itu merangkum berbagai isu yang tengah dihadapi umat manusia saat ini. Mulai dari ancaman krisis iklim yang terus menggerogoti bumi hingga kemungkinan adanya perang nuklir. Noam menyebutkan, problem bumi hari-hari ini dapat memicu kehancuran yang akan dihadapi umat manusia.
Noam Chomsky: Trump dan perubahan iklim
Perubahan iklim menjadi salah satu topik yang dibahas dalam wawancara tersebut, sekaligus topik dari karya terbarunya berjudul The Precipice: Neoliberalism, the Pandemic, and the Urgent Need for Radical Change, dimana ia merangkum fenomena penting mencakup Trumpisme, ikatan penting antara pemanasan global dan kapitalisme, dampak kebijakan Trump terhadap manusia dan lingkungan hidup, serta dinamika kapitalisme neoliberal, rasisme, dan kekerasan polisi.
Menyinggung kebijakan Amerika dalam problem krisis iklim, Noam menganggap bumi tak dapat diselamatkan melalui cara yang didesain negara-negara kapitalis seperti Amerika Serikat, bahkan dengan penetapan kebijakan pengurangan produksi karbon.
Kebijakan tak efektif
“Tidak ada orang lain selain Donald Trump yang berbuat lebih banyak untuk mencoba mendorong umat manusia menuju kepunahan,” tegas Noam, seryaa menyoroti kebijakan Trump yang fokus pada pemaksimalan bahan bakar fosil.
Selain itu, Noam mencatat geliat Partai Republik yang mendedikasikan kebijakan “untuk memblokir setiap langkah sekecil apapun menuju mitigasi bencana iklim.” Hal ini juga terkait dengan dukungan Kristen nasionalis dan supremasi kulit putih yang menurut Noam tengah dibangun di sana.
“Biden tidak memiliki progres yang hebat tetapi dia memiliki beberapa program untuk menangani bencana iklim,” ujar Noam. Namun, pihak lawan yang dihadapi juga berat, mengingat adanya kerja sama antara negara dengan pebisnis khususnya di perusahaan batubara.
Penggunaan batubara juga menjadi problem besar bagi lingkungan hidup, termasuk di Indonesia. Ini karena batubara berkonstribusi pada emisi gas rumah kaca yang kian memicu perubahan iklim. Pertemuan negara ekonomi maju dalam ajang G20 di Indonesia tahun ini membahas beragam topik, termasuk transisi energi.
Namun dikutip dari Mongabay, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Zenzi Suhadi menilai masih adanya kepentingan ekonomi sebagai prioritas dalam G20. Diperlukan kerja bersama guna mengawal dan memastikan solusi yang akan diambil terkait isu lingkungan dalam G20 tak hanya berdsarkan kepentingan bisnis.
Selain krisis iklim, Noam juga berbagi pandangan mengenai krisis kemanusiaan dan perang di Ukraina dan Afghanistan, kebijakan luar negeri Amerika, partai buruh dan demokratik di Amerika, dan Brexit. Dengarkan wawancara selengkapnya melalui video di bawah ini.