Monitoring Bansos COVID-19 DKI Jakarta, SPRI: Data Bermasalah, Bantuan Belum Sesuai Kebutuhan
Berita Baru, Jakarta – Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejak 10 April 2020 untuk memutus mata rantai penyebaran virus corona tipe 2 (SARS-CoV-2) penyebab Covid-19. PSBB tahap pertama tersebut mulanya diterapkan selama 14 hari atau sampai Kamis (23/4).
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kemudian memperpanjang PSBB tahap kedua sejak 24 April 2020 sampai tanggal 22 Mei 2020. Perpanjangan tersebut dilakukan selama 28 hari.
“Kami putuskan untuk memperpanjang pelaksanaan PSBB. Diperpanjang 28 hari”. Kata Anies dalam sebuah jumpa pers pada Rabu (22/4) silam.
Konsekwensi atas penerapan PSBB tersebut, Pemprov DKI telah menyalurkan bantuan sosial (Bansos) dengan target 1,2 juta keluarga penerima manfaat (KPM). Bahkan untuk tahap berikutnya direncanakan penambahan sekitar 600.000 KPM baru yang bersumber dari tenaga kerja yang terkena PHK.
Sementara itu, Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) telah melakukan monitoring atau audit sosial terhadap proses penyaluran bantuan sosial (Bansos) yang dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta. Temuan tersebut disampaikan dalam diskusi bertajuk Peran Warga Miskin dalam Monitoring Bansos COVID-19, yang diselenggarakan oleh SPRI, Seknas FITRA, dan International Budget Partnership (IBP) Indonesia pada Selasa (5/5) sore.
Tampak hadir dalam diskusi tersebut yaitu Kepala Kantor Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya Teguh Nugroho, Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta Idris Ahmad, dan Mulyana salah satu warga miskin kota. Diskusi secara online ini diikuti oleh sekitar 50 peserta yang tergabung melalui aplikasi Zoom sejak pukul 15.00 WIB.
Menurut Sekjen SPRI Dika Moehammad, mereka telah melakukan monitoring terhadap 2000 responden. Selama proses monitoring, SPRI masih menemukan berbagai masalah terkait data penerima manfaat, dimana orang yang berhak mendapatkan bantuan justru tidak masuk dalam data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS). Sebaliknya, orang yang tidak masuk kategori miskin, justru terdata sebagai penerima Bansos.
Terkait permalasahan data tersebut, lanjut Dika, dirinya minta kepada Ombudsman dan Komisi E DPRD DKI agar mendorong Pemprov untuk membuat keputusan resmi, khususnya terkait permintaan kepada warga untuk membantu pembaruan maupun pengusulan data penerima manfaat Bansos.
“Kalau tidak ada permintaan atau kebijakan resmi dari Pemda, maka inisiatif warga mendata atau memperbarui data penerima manfaat di tingkat RT/RW dan kelurahan, akan sia-sia belaka”. Ujar Dika.
Di sisi lain, SPRI juga menemukan bahwa nilai bantuan yang diterima warga belum sesuai dengan yang diharapkan, serta bentuk bantuan tidak mencukupi kebutuhan hidup mereka dalam satu keluarga. Akibatnya warga tetap beraktivitas untuk bekerja agar bisa memenuhi kebutuhan tersebut.
Dika juga menyoroti kualitas bantuan yang tidak mempertimbangkan keseimbangan gizi masyarakat. Menurutnya, Pemprov harus memberikan bantuan yang dapat mendukung kebutuhan gizi masyarakat agar tidak rentan terkena penyakit.
“Saya minta kepada Pemprov untuk mengumumkan nilai bantuan yang akan diterima oleh warga, supaya tidak simpang siur. Kemudian manfaat bantuan harus mendukung pemenuhan gizi. Serta bantuan perlu didorong agar lebih tepat waktu dan berdampak terhadap ekonomi lokal warga”. Tegasnya.
Mulyana, salah satu warga miskin kota menuturkan bahwa di tempatnya masih banyak warga kurang mampu tidak mendapatkan Bansos. Ironisnya, ada warga yang masuk kategori mampu justru masuk dalam daftar penerima.
“Ada tetangga yang tidak miskin, justru mampu, sudah tidak tinggal lagi di Jakarta, tapi datanya masih ada sebagai penerima bansos”. Keluh Mulyana.
Ibu rumah tangga tersebut yang tinggal di belakang pasar induk Kramat Jati, Jakarta Timur tersebut menuturkan bahwa selama ini warga kesulitan untuk mengadukan keluhan yang dihadapi di lapangan. Sebagian besar warga tidak tahu harus mengadu kemana, ketika pengurus RT, RW dan Kelurahan sudah tidak merespon keluhan mereka.