Menyusutnya Ruang Digital: Ancaman Terhadap Kebebasan Sipil di Indonesia
Berita Baru, Jakarta – Penyempitan ruang gerak masyarakat sipil kini tidak hanya terjadi di ranah fisik, tetapi juga merambah ke ruang digital. Fenomena ini terlihat dari berbagai bentuk pembatasan, seperti pemblokiran akses internet di Papua, kriminalisasi menggunakan UU ITE, kekerasan berbasis gender online, hingga peretasan terhadap aktivis. Padahal, ruang digital memainkan peran vital dalam menjaga demokrasi, menciptakan ruang untuk diskusi publik, dan menjadi wadah bagi masyarakat menyampaikan informasi serta opini.
Peneliti PSHK, Violla Reininda, menilai penyempitan ruang kebebasan digital ini diakibatkan oleh regulasi tata kelola internet di Indonesia yang cenderung membatasi kebebasan berekspresi. Dari analisis terhadap 10 regulasi terkait, PSHK menemukan bahwa 54,4% regulasi fokus pada keamanan digital, sementara hanya 28,1% yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi dan 17,5% mengatur akses internet.
“Regulasi yang ada belum mendasari nilainya pada prinsip kebebasan, melainkan menitikberatkan pada kepentingan negara dan keamanan. Padahal, dalam pengaturan sistem komunikasi elektronik, kebebasan serta hak atas informasi seharusnya menjadi dasar pengaturan,” ungkap Violla dalam acara “Forum Dengar Rakyat: Ciptakan Ruang Aman, Reformasi Pengaturan Ruang Digital!” yang digelar oleh SAFEnet dan PSHK pada Selasa, 16 Oktober 2024, di Jakarta.
Violla juga menegaskan bahwa tata kelola internet bukan sekadar isu sektoral, tetapi terdapat hubungan antara berbagai norma dalam satu undang-undang dengan undang-undang lainnya. Ia menambahkan, beberapa regulasi yang sudah berusia lebih dari lima tahun perlu diperbarui agar relevan dengan perkembangan pemanfaatan ruang digital saat ini.
Dalam beberapa tahun terakhir, pola kasus pelanggaran hak digital di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Mulai dari kriminalisasi menggunakan pasal-pasal karet yang terkait dengan distribusi informasi mengandung unsur SARA, pencemaran nama baik, ujaran kebencian, hingga pembatasan hak akses informasi melalui sensor, pemblokiran, atau pelambatan internet.
“Pengguna internet juga menghadapi ancaman tidak hanya dari aktor negara, tetapi juga dari sesama pengguna atau kelompok buzzer dalam bentuk doxxing, pelecehan online, pelecehan seksual, dan kekerasan berbasis gender online (KBGO),” tegas Violla.
Selain Violla, narasumber lain yang turut hadir dalam forum tersebut adalah Peneliti SAFEnet Shinta Ressmy, Staf Advokasi & Riset LBH Press Gema Gita Persada, serta Akademisi Monash University Ika Idris. Diskusi ini dapat disaksikan ulang di kanal YouTube SAFEnet Voice.