Menjelma Mata Pisau | Sajak-Sajak Saifa Abidillah
Menjelma Mata Pisau
Dunia adalah ancaman,
dan aku ingin membunuh dunia ini
dengan tanganku sendiri.
Kukumpulkan bara api neraka,
telah kutanam baik-baik
di jantungku yang berbatu.
Mataku semerah mata naga,
dan jari-jariku
telah menjelma mata pisau.
Di tangan kananku,
tidak menyimpan semangkuk air telaga
untuk memadamkan neraka
—aku bukan Robiah, atau Teresa,
atau Maria yang penuh cinta.
Aku adalah kemegahan peradaban,
di mana kebencian
dibangun sebaik-baiknya.
Ketidakadilan menjelma pusat kota
yang dicintai banyak orang,
dan aku hidup
sebagai kebusukan sebuah bangsa
Aku bangga dengan diriku sendiri,
taring dimulutku
siap melenyapkan
kebaikan-kebaikan busuk dunia ini.
Kening Ibu
Tidak ada pulang paling nyaman,
kecuali pada rumah ibadah
di kampungku; kening ibu.
Ibu adalah rumah ibadah,
tempat aku pulang
dan menemui Tuhan dengan lapang.
Dan di mata ibu, seorang anak
tidak layak dewasa—
Sepanjang ibu masih ada,
dan kata bijak layak dikonsumsi,
aku adalah anak-anak yang
ketika bermain di petang mambang
harus pulang
pada kening yang hening;
Bening mata yang menyala
di malam buta—seperti kata,
seperti doa yang menggoda.
Ehipassiko
tanpa pun harus berjalan
menuju hutan
aku telah di hutan
sebelum puisi ini dituliskan
Di Mangunan
Mungkin hanya di Mangunan,
pohon-pohon tampak seperti bukan hutan.
Jalan setapak yang angun,
barangkali seperti derap kakimu yang santun.
Kita mendaki, dan berharap sampai di ketinggian
dan matamu menyapu awan yang ngungun
di selatan, di kejauhan.
Mulut kita terkunci, tak ada mesti dipercakapkan.
Dan angin yang tak begitu rimbun
mengetuk-ngetuk celah kayu
tempat persinggahan kita
dan memulai kisah cinta kita yang rabun.
Mungkin pada mulanya adalah tertegun,
kemudian pertemuan yang tidak direncanakan
lengkap dengan ransel persisahan yang tidak
diinginkan.
“Tak ada kedamaian macam begini,” katamu.
“Kelak ketika kita dipertemukan kembali,
aku ingin mengajakmu ke tempat ini.”
Saifa Abidillah. Tulisannya pernah dipublikasikan di media lokal dan nasional, Seperti Koran Tempo, Indo Pos, Suara Merdeka, Kedaulan Rakyat, Pikiran Rakyat, Merapi, Minggu Pos, Basabasi, Kurungbuka, Beritabaru, dll. Dan pernah mengikuti beberapa bunga rampai, Bersepeda ke Bulan (Indo Pos, 2014), Nun (Indo Pos, 2015), Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia Jilid III (2015), Negeri Laut (2015), Negeri Awan (2016), Ketam Ladam Rumah Ingatan (2016), Pasic Karam (2016). puisi tunggalnya adalah, Pada Sayap Kuda Terbang (Cantrik, 2017), Kuil Bawah Laut (Basabasi, 2021)