Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Mari Kita Akhiri
(Fimela.com)

Mari Kita Akhiri



Mari Kita Akhiri

(Cerpen: Khumairah)


Di atas kertas putih itu, tertulis tiga kata yang menjadi tanda bahaya. Pena itu tiba-tiba menjauh. Ini kali kedua ia jatuh, namun pesakitan menyerbu untuk kesekian kalinya dalam waktu yang bersamaan. Pipinya basah airmata dan wajahnya telah menjelma kubangan air di jalan yang becek.

Sudah tiga purnama berlalu sejak ia memutuskan untuk pergi meneruskan studinya di kota istimewa Jogjakarta. Reva, perempuan berhijab itu hanya menyibukkan diri untuk merebahkan badannya sambil merenung. Meniti sudut-sudut langit kamar kosnya yang sudah bersarang. Matanya tak mengerling. Isi otaknya sudah penuh.

Lamunannya semakin membatu. Perempuan itu berubah menjadi pemurung. Jarang berbicara dan hanya sedikit tersenyum ketika disapa oleh teman-temannya. Suatu saat temannya bertanya, kamu kenapa? Reva hanya menjawab datar bahwa ia baik-baik saja.

Tentu semua orang yang mendengarnya tidak akan percaya. Bayangkan saja seorang perempuan yang suka bercerita tentang pantai, film, buku, makanan dan lelaki yang ia kagumi tiba-tiba hanya mampu mengucapkan kalimat “aku baik-baik saja”.

Bahkan pernah ia tidak makan seharian dan mengatakan bahwa ia tidak lapar. Justru itu yang aneh. Tak ayal lagi, ia sedang berada dalam pesta kekalutan yang luar biasa. Dan tak seorang pun ia undang.

“Katakan, kamu ingin apa?” tanya laki-laki berambut ikal dan berkacamata itu. 

“Kenapa tiba-tiba?” jawabnya heran. 

“Silakan bercerita, saya ada waktu senggang selama satu jam sebelum pertemuan komunitas di seberang stasiun. Tidak bisa saya lewatkan.” 

“Saya akan berbicara sedikit, sembari menunggu satu putung rokok samian habis. Setelah itu, silakan pergi penuhi undangannya. Saya dengar kabar bahwa ada perbaikan jalan menuju stasiun. Pasti jalanan macet.” 

Dengan cepat Reva membuat keputusan. Semua temannya tahu, bahwa ia sangat merindukan lelaki itu. Reva sangat hafal kebiasaan laki-laki itu.

Ia takkan melewatkan satu putung rokok untuk dihisapnya. Apalagi di depan meja sudah tersedia kopi Kintamani Bali kesukaannya. Melewatkan rokok sama saja melewati berlian yang jatuh di pinggir jalan. Sangat mustahil.

Setelah lelaki itu pindah tempat tinggal, Reva menangisinya setiap malam. Tapi mengapa kesempatan langka itu ia sia-siakan dan memilih mengatur waktu mundur pertemuan mereka dengan seputung rokok kretek?

Reva mengawali percakapan dengan dingin di tengah suasana lengang dan hening. “Siapa yang menyuruh menemui saya? Randy? Kemal? apa Mega?” 

“Baik saya tidak akan bertele-tele. Bara rokok saya semakin besar. Ini tidak akan lama,” ia jawab tenang sambil menyeret asbak di sebelah kirinya.

“Saya mendengarnya sendiri, tidak dari Randy, Kemal, dan Mega. Lima bulan lalu saya yang menitipkanmu di tempat itu. Kan sudah saya bilang, jangan terlalu gegabah. Apa yang terjadi sekarang, saya harus datang ke kota ini hanya karna hatimu tak mau menerima. Lagi-lagi saya yang harus bertanggung jawab.”

Sungguh jawaban di luar dugaan. Reva bukan hanya terkejut, ia sempat membelalakkan matanya yang belok hingga rasanya ingin menggelundung dan jatuh tepat di cangkir kopi lelaki itu, ia tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban yang sama sekali tak pernah mampir di pikirannya. 

“Saya tidak meminta samian datang ke kota ini. Toh, samian sudah lulus. Bukan lagi waktunya mengurus anak orang, apalagi saya, apa samian kira saya kader yang ingin diperhatikan dan dimanja-manja? Bukannya samian mau pergi jauh? Kenapa masih mau putar balik ke sini?”

“Rokok saya sudah habis. Tetap saya akan tepati janji.  Saya masih punya waktu tujuh puluh dua jam di kota ini. Kabari saya jika memang benar-benar mau bicara. Ingat, pertemuan kita bukan apa-apa. Jadi pikirkanlah untuk nasibmu saja, kampus ini bukan milik nenek moyangmu. Saya tidak akan menunggu, sekadar memberitahu”.

Laki-laki itu perlahan menghilang dalam gelap. Reva hanya dapat menghela napas. Pertemuan kali ini memang benar-benar di luar perkiraannya.

Memang, laki-laki yang pernah ia cintai itu yang mengantarnya berladang di tempatnya berproses. Sikap dinginnya tak mengurangi rasa pedulinya terhadap Reva, meski hal itu hanya sebatas teman, antara senior dan junior.

Laki-laki itu hanya berusaha profesional. Tidak ingin dikata kakak yang sombong atau acuh. Tapi juga tidak ingin memberi harapan semu kepada orang-orang yang sedang mengaguminya.

Semua dia lakukan karna memang ingin membantu adiknya meniti di atas jembatan berduri. Bukan untuk menuju taman bunga bersama, bukan untuk membuka ladang baru berdua.

Hal itu yang membuat Reva rindu sekaligus benci. Kebaikannya mengaburkan Reva memilih jalan yang mana. Entah ia harus melanjutkan perjalanan berkabut dan dingin atau ia harus berbalik arah ke tempat yang lebih cerah dan lebih hangat?

Malam semakin larut, lampu di teras warung sudah mati. Telah menjadi salah satu keunikan warung kopi Joglo di bantaran sungai Bedadung kota tua itu. Pertanda warung akan tutup dalam sepuluh menit.

Warung itu sepi dan tutup lebih awal. Tempatnya sunyi, cocok untuk pasangan yang ingin menyelesaikan masalah atau ingin mengakhiri hubungan. Reva masih terdiam, menunggui dua cangkir kopi yang sudah dingin. Menatap kejauhan lamat-lamat. 

Kau pilih mana, tumbuhnya cinta karna dipaksa atau tumbuhnya cinta karna terbiasa?

Kau pilih mana, tumbuhnya cinta karna dipaksa atau tumbuhnya cinta karna terbiasa? Hanya dua pertanyaan berat yang disampaikan oleh laki-laki berjaket abu kehitaman itu kepada Reva, sebelum akhirnya mereka berpisah. 

Sesampainya di kos, ia memutar kembali memori yang baru saja ia alami. Termasuk dua pertanyaan itu. Reva tak bisa tidur meski matanya sudah sayup-sayup ingin memejam. Telunjuknya masih mengetuk meja berkali-kali.

Pertanyaan itu benar-benar mengikis konsentrasi dan ketenangannya. Sedikit ingin mengeluh dan banyak mengumpat. Itu yang sedang ia rasakan. Setelah pertemuan itu, entah mana lagi yang harus diingat Reva, kenangan bahagia ataukah kenangan sedihnya. 

“Cinta karna dipaksa? Hah. Tahu apa dia soal cinta. Ini bukan paksaan. Ini kemauanku untuk menjalani. Kalau pun aku tidak suka, kenapa ia harus susah payah ke sini? Untuk apa dia memberitahu jika dia akan pulang tiga hari mendatang?” Reva terus mendatangkan tanda tanya di dalam kepalanya. 

Jam dinding terus berputar, hari sudah pagi. Reva masih belum memutus kegelisahannya, ia tak mau melewatkan barang sedetik. Padahal kesempatan bertemunya masih tersisa dua hari.

Seketika Reva ingat sesuatu, dia sempat menuliskan cerita-cerita lamanya dalam sebuah buku kecil bersampul merah muda. Segala kenangan yang ia ciptakan sendiri bersama laki-laki itu dalam dunia khayalnya. Kata demi kata. Halaman demi halaman. Lembar demi lembar. Mungkinkah memori itu dapat memecahkan misteri yang kini menjarah pikirannya? 

***

Laki-laki yang ia sayangi itu selalu mendukung kegiatan adik-adiknya di kampus. Kali pertama Reva bertemu dengannya kala gerimis di warung kopi dekat fakultas, ia sedang bercengkrama dengan teman-temannya dan mahasiswa baru yang sedang kebingungan memilih organisasi apa yang akan mereka jalani selama menjadi mahasiswa.

“Kamu jangan milih organisasi banyak-banyak. Nanti mabok.” Begitulah kalimat candaan yang masih lekat dalam ingatan perempuan berparas manis itu. Semua tergelak. Tak terkecuali Reva. Melihat reaksi Reva yang sedari tadi menguping pembicaraan, teman lelaki itu memanggilnya. 

“Sini, Dek. Kamu satu fakultas dengan mereka ini, kan?” Lelaki gondrong itu menunjuk teman-teman baru Reva.

“Iya, Kak. Boleh gabung ya hehe….” Reva pelan-pelan mendekatinya sambil menenteng kursi plastik yang ia duduki. 

Laki-laki itu memulai pembicaraan. “Namanya siapa?”

“Reva Anistiara.” 

“Hobimu apa?” Laki-laki itu langsung menembak tanpa basa-basi menanyakan alamat dan alasanku memilih universitas mereka. Sepertinya ia sudah tidak tertarik dengan prosedur atau urutan pertanyaan mendasar riwayat hidup untuk mahasiswa baru.

Mungkin, ia berpikir bahwa pertanyaan seperti kamu tinggal di mana, alamat kosmu apa, nomor handphonemu berapa dan lain-lain dapat ia temukan tanpa harus meminta. Mungkin ia berpikir bahwa mereka akan bertemu lagi suatu saat. Tapi semua hanyalah kemungkinan. 

“Saya suka menulis, Kak. Menulis berita,” jawab Reva singkat dan jelas. 

“Oh, kalau begitu kita bisa saling berdiskusi. Saya juga menyukai jurnalistik. Akan saya antar kamu ke organisasi pers mahasiswa kampus ini yang paling top dan keren. Kamu ikut itu saja ya.” 

Semenjak pertemuan itu, mereka mulai sering berdiskusi. Meramu malam dengan membedah berita-berita terbaru. Mereka suka mengkritik tulisan yang sembarangan dan tidak berdasar. Mereka juga akan mencaci judul yang menggelikan, yang hanya mementingkan eksistensi tanpa memikirkan subtansi. Begitu kiranya.

Itu sudah terjadi setahun lalu. Saat cita masih bertahta di perapian. Dan tentu, semuanya sudah berlalu.

***

“Saya ingin bicara.” Begitulah pesan yang akhirnya Reva layangkan pada lelaki itu. Begitulah keputusan Reva setelah memikirkan pertanyaan itu semalam suntuk. 

“Kita bertemu di mana? Silakan kamu saja yang memilih,” jawab lelaki itu. 

Reva dengan perasaan yang gelisah pun membalas, “Kafe Kolong pukul tujuh malam, saya tunggu.”

Entah apa yang akan dibicarakan Reva pada malam pertemuan nanti. Malam pertemuan terakhirnya sebelum lelaki itu berangkat menuju terminal. Malam pertemuan terakhir, kesempatan Reva mengeluarkan segala yang mengendap dalam hatinya selama puluhan purnama.

Apa sebenarnya yang sedang dikejarnya. Padahal ia tahu, lelaki itu masih akan pergi besok lusa. Mengapa tidak ia pikirkan lebih dahulu pembicaraan apa yang akan dia sampaikan. Reva segera menutup kelambu kamarnya.

Udara semakin dingin. Raut mukanya tetap datar. Tidak mudah untuk ditafsir. Segera ia mematikan lampu dan mengaktifkan alarm. Besok adalah hari penentuan. 

Malam pun tiba, pertemuan mereka akan segera terlaksana. Reva menggunakan baju blous putih tulang dengan kerudung merah muda nuansa pastel. Ia harus menutupi kegelisahannya, setidaknya dari penampilannya. Sekaligus ingin memberi kesan perpisahan yang sedikit manis. 

“Saya sudah di tempat. Bangku nomor 5, sudah saya pesankan coklat panas kesukaanmu. Ini bukan apa-apa, waktu saya tidak banyak untuk malam ini.” Begitulah pesan yang diterima Reva saat ia baru tiba di parkiran.

“Baik, tunggu sebentar,” jawab Reva singkat. 

Reva semakin penasaran, mengapa sikapnya berubah manis seperti itu. Apakah dia ingin merayakan perpisahan berwujud sikapnya itu? Atau memang tak ingin berlama-lama. 

Mereka bertemu, tanpa berjabat tangan. Suasana tetap mencekam meski mereka saat ini sedang diiringi lagu reggae Jamaica. 

“Sebenarnya apa yang ingin samian katakan?” Reva bertekad memulai percakapan. 

“Bagaimana organisasimu? Kamu jadi resign?”

Suasana kembali hening. Reva terdiam. 

“Saya cuma eman sama kamu, bakat hebat seharusnya ditekuni. Mengapa tidak mencari jalan lain? Kan organisasi jurnalistik tidak hanya satu di kampus kita. Janganlah disia-siakan,” tandas laki-laki itu.

Reva tetap hening.

“Mengapa tak menjawab? Menunggu saya nyalakan rokok dulu baru mau bicara?” lelaki itu terus mengejar dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak biasa dia bicarakan selama ini.

“Bukan ini kan maksud pertemuan kita?” akhirnya Reva angkat bicara. 

“Maksudmu apa?”

“Silakan katakan selagi kita masih bertatap muka.”

“Saya ingin melamarmu.”

Sungguh! Bukan hal itu yang perempuan itu harapkan. Mencintainya sudah menjadi kelelahan terbesar baginya. 

“Berhenti membual.”

Tiba-tiba lelaki itu meminta selembar kertas dan pena pada pelayan kafe yang sedang lewat. 

“Tulis sekarang, apa keinginanmu. Kurasa kamu hanya tidak sanggup berkata-kata karna terkejut. Lakukan sesuai dengan kebiasaanmu, Va.”

Perempuan itu akan mulai menulis. Ia meminta orang yang sedang duduk di hadapannya memejamkan mata. Ada banyak yang ingin ia sampaikan, tapi seketika pena terasa asing dan ingin menjauh. Ia angkat tangannya dan berakhir meletakkan pena itu di samping cangkirnya. 

“Mari kita akhiri.” Kalimat yang tak disangka-sangka akan keluar dari bibirnya yang basah. 

Sontak lelaki itu membuka mata. Ternyata Reva sudah meninggalkan bangku itu, tanpa berpamitan dan berjabat tangan. 

Kini, lelaki itu hanya bisa menatap Reva dari kejauhan. Ia melihatnya berjalan agak cepat dengan mengusap pipinya. Sedang cincin masih tersimpan rapi dalam saku jaket hitamnya. (*)

Dalam suasana hening menunggu pandemi mereda,

Jember, 28 Maret 2020