KPAI Kritik Solusi SKPD soal 3 Siswa SD di Tarakan Tidak Naik Kelas Tiga Kali
Berita Baru, Jakarta – Kasus tiga siswa Sekolah Dasar (SD) di Tarakan yang tidak naik kelas tiga kali secara berturut-berturut mendapat respons Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
KPAI menilai solusi dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait tiga siswa SD itu belum berpihak pada kepentingan anak.
Komisioner KPAI Retno Listyarti mengatakan, pihaknya bersama Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi melakukan forum group discussion (FGD) dengan SKPD atau disebut rapat koordinasi di kantor wali kota Tarakan pada beberapa waktu lalu.
“Sayangnya, dalam FGD tersebut, solusi yang muncul dari SKPD justru belum berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak,” kata Retno dalam siaran persnya, Sabtu (27/11).
Menurutnya, ada tiga usulan yang dipaparkan oleh SKPD. Pertama, kenaikan kelas bisa dilakukan jika ada surat rekomendasi dari Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi yang memerintahkan sekolah menaikkan kelas ketiga anak itu.
Padahal, menurut Retno, kenaikan kelas merupakan kewenangan sekolah dan dewan guru. Dia mengatakan Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi dan KPAI, tak punya wewenang untuk menentukan naik kelas atau tidaknya peserta didik.
“Selain itu usulan kenaikan kelas justru dikemukakan sendiri oleh kepala dinas pendidikan kota Tarakan saat tim gabungan pengawasan ke sekolah,” papar Retno.
Kedua, kenaikan kelas dapat dilakukan dengan syarat tertentu, yakni cabut gugatan. Menurut Retno, pencabutan gugatan maupun rencana remedial untuk kenaikan kelas dapat dilakukan pihak sekolah dengan duduk bareng bersama orang tua peserta didik.
“Dapat dibicarakan secara kekeluargaan, pendekatan untuk mencairkan suasana harus dilakukan semua pihak, bicara kepentingan terbaik bagi anak harus dengan nurani dan perspektif perlindungan anak,” ujarnya.
Ketiga, usulan perwakilan inspektorat Tarakan mengatakan bahwa akar masalahnya adalah keputusan Kementerian Agama yang memasukkan Saksi Yehuwa ke dalam pendidikan agama Kristen.
Retno menyampaikan perwakilan dari inspektorat Tarakan meminta pihaknya bersama Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi mengirim surat kepada Kementerian Agama untuk mencabut kebijakan bahwa Saksi Yehuwa masuk dalam pendidikan agama Kristen.
“Jika ingin Saksi Yehuwa diakomodir, maka diminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi serta KPAI bersurat pada Presiden agar mengusulkan Saksi Yehuwa menjadi agama resmi negara yang ke-7,” ungkap Retno.
Retno menyatakan, semua itu bukan kewenangan KPAI serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi.
“Usulan ini pun jelas menunjukkan bahwa penyelesaian masalah kakak beradik yang tidak naik kelas 3 kali sama sekali bukan didasarkan pada kepentingan terbaik bagi anak,” tegas Retno.
Lebih lanjut, ia menjelaskan penyebab ketiga anak itu tak naik kelas selama tiga tahun berturut-turut. Retno mengatakan tak naik kelas pertama terjadi pada 2018/2019. Lalu, ketiga anak itu sempat dikeluarkan dari sekolah selama sekitar 3 bulan.
Alasannya, tidak naik kelas pertama lantaran absensi tak memenuhi syarat. Ada sekitar 90 hari sehingga ketiga anak dianggap tak hadir tanpa keterangan.
“Padahal ketidakhadiran mereka karena sempat dikeluarkan dari sekolah selama tiga bulan,” ucap Retno.
Lalu, keputusan tak naik kelas yang kedua kali terjadi pada 2019/2020. Penyebabnya, nilai agama dari ketiga anak itu nol.
“Hal ini disebabkan ketiganya tidak mendapatkan pelajaran agama, sekolah beralasan tidak ada guru agama untuk Saksi Yehuwa,” ujar Retno.
Kemudian, tiga anak tak naik kelas untuk ketiga kalinya terjadi pada 2020/2021. Hal ini disebabkan nilai agama yang tidak tuntas, sedangkan nilai seluruh mata pelajaran lain sangat bagus.
Menurut Retno, ketiga anak itu mengaku selalu mengikuti semua proses pembelajaran pendidikan agama Kristen di sekolah. Bahkan, nilai mereka selalu tinggi.
“Namun, saat nilai praktek, ketiga anak tidak bersedia menyanyikan lagu rohani yang ditentukan gurunya karena bertentangan dengan akidahnya, dan meminta bisa mengganti lagu yang sesuai dengan akidahnya,” jelas Retno.
Merespons perlakuan ini, orang tua ketiga anak tersebut lantas melakukan perlawanan hukum. Mereka menggugat keputusan sekolah ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan selalu menang. Namun, pihak sekolah selalu memiliki alasan untuk tidak menaikkan ketiga anak itu.