KontraS Sebut Demokrasi Ambruk pada Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf
Berita Baru, Jakarta – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) berperan besar atas situasi demokrasi di Indonesia yang disebut makin ambruk.
Penilaian itu disampaikan KontraS saat memperingati tiga tahun kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf Amin yang jatuh kemarin, 20 Oktober 2022.
“Presiden Jokowi berperan besar dalam membuat demokrasi ambruk dengan melakukan pembiaran terhadap berkembangnya wacana tiga periode dan perpanjangan masa jabatan dengan berlindung di balik dalih demokrasi,” ujar Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti dalam keterangan tertulis, Kamis (20/10).
Menurut Fatia, ambisi tiga periode dan wacana perpanjangan masa jabatan presiden secara tidak langsung mengindikasikan bahwa Indonesia berada dalam tren autocratic legalism.
Fatia menjelaskan, meskipun presiden dipilih melalui mekanisme demokratis seperti Pemilu, tetapi selama periode kepemimpinannya, ia berusaha melakukan berbagai strategi untuk merusak konstitusi demokrasi.
“Beberapa opini publik menduga bahwa wacana perpanjangan masa jabatan presiden akan dikonsolidasikan untuk diambil yakni amandemen konstitusi untuk memperkenankan masa jabatan presiden lebih dari dua periode,” tutur Fatia.
“Bila peristiwa tersebut memang benar akan terjadi, Indonesia dapat dianggap bukan lagi menganut sistem negara hukum (rechtsstaat) melainkan menganut sistem negara kekuasaan (machtstaat),” sambungnya.
Fatia mengatakan suatu kekuasaan negara harus bersandar pada kehendak rakyat terbanyak. Rakyat, lanjut dia, memiliki otoritas untuk membatasi, mengubah, ataupun mencabut mandat kekuasaan.
“Wacana penundaan pemilu tidak hanya menyalahi konstitusi, namun hal ini juga jelas melanggar hak konstitusional,” ucapnya.
Lebih lanjut, Fatia berujar dalam tiga tahun ini terus terjadi penyempitan ruang kebebasan sipil. Hal itu ditunjukkan dengan penggunaan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk membungkam warga sipil.
“Presiden semacam merestui situasi yang terus memburuk. Represi terus-menerus dilanjutkan terhadap mereka yang kritis baik dalam ranah publik ataupun digital, bahkan aktornya tidak hanya berasal dari aparat,” tutur Fatia.
“Begitu pun serangan dan kriminalisasi terhadap pembela HAM semakin membuat mereka dalam kerentanan,” sambungnya.