Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Komnas Perempuan
Komnas Perempuan meluncurkan laporan Pemantauan Femisida 2024. (Foto: MI/Ihfa Firdausya)

Komnas Perempuan Luncurkan Pemantauan Femisida 2024: 290 Kasus Femisida Ditemukan



Berita Baru, Jakarta — Bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) yang diperingati setiap 10 Desember, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam siaran persnya yang terbit pada Kamis (12/12/2024), meluncurkan hasil pemantauan pembunuhan berbasis gender atau femisida untuk periode 1 Oktober 2023 hingga 31 Oktober 2024. Pemantauan ini dilakukan melalui analisis 33.225 pemberitaan media online, yang mengidentifikasi 290 kasus femisida di Indonesia.

Komisioner Komnas Perempuan, Retty Ratnawati, menjelaskan bahwa peluncuran ini merupakan bagian dari Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP). “Ketersediaan data tentang kasus femisida merupakan hal yang penting sebagai pintu masuk proses analisis kerentanan perempuan, agar selanjutnya dapat diambil langkah-langkah pencegahan, penanganan adil gender, dan pemulihan untuk korban. Karenanya, Komnas Perempuan menginisiasi pemantauan data sekunder berupa pantauan media kasus pembunuhan terhadap perempuan ini,” ujar Retty.

Hasil pemantauan menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat mencatat kasus femisida tertinggi di Indonesia. Jenis femisida intim, yakni pembunuhan yang dilakukan oleh suami atau pasangan intim, mendominasi dengan angka 26% atau 71 kasus dari total kasus femisida. Disusul kasus yang dilakukan pacar (17%), anggota keluarga (11%), dan pengguna layanan seksual (6%). Komnas Perempuan juga menggarisbawahi bahwa pembunuhan ini sering kali dilakukan dengan menggunakan benda-benda di sekitar lokasi kejadian, seperti batu, bambu, palu, balok, kain, sabuk, atau tali. Beberapa kasus menunjukkan tingkat kekerasan yang tinggi, termasuk mutilasi, penelanjangan, serta kekerasan seksual sebelum, selama, atau sesudah kematian korban.

Komisioner Siti Aminah Tardi menegaskan bahwa alasan utama pelaku melakukan femisida adalah cemburu, penolakan hubungan seksual, masalah finansial, dan kekerasan seksual. “Kita harus hati-hati dengan narasi cemburu yang digunakan untuk menjustifikasi tindakan para pelaku femisida dan menempatkan korban sebagai pihak yang memprovokasi. Apa pun alasannya, tidak dibenarkan menyakiti sampai membunuh orang lain,” kata Siti Aminah.

Selain itu, Komnas Perempuan mencatat adanya perkembangan signifikan dalam pemahaman publik terkait femisida. Istilah “femisida” mulai diadopsi media massa, diikuti dengan munculnya berbagai inisiatif masyarakat sipil untuk mengenali dan mengkampanyekan penghapusan femisida. Contohnya adalah kampanye di media sosial, permohonan wawancara dari wartawan, serta penelitian mengenai femisida di Indonesia.

Namun, Komisioner Rainy Hutabarat menyoroti bahwa konstruksi berita media massa terkait kasus femisida masih belum berperspektif gender dan korban. Menurutnya, pemberitaan belum mengadopsi konsep femisida sebagai pembunuhan berbasis relasi kuasa, dan narasi dalam berita sering kali bias dan cenderung menyalahkan korban. “Relasi kuasa antara pelaku dan korban masih kurang digali, demikian juga femisida yang ditandai konflik dengan pasangan intim tak dilengkapi eskalasi konflik dan adanya kekerasan berulang,” tegas Rainy.

Berdasarkan temuan ini, Komnas Perempuan merekomendasikan kepada Biro Pusat Statistik (BPS) untuk melakukan pendataan terpilah femisida sesuai standar United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) dan UN Women. Selain itu, Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan diminta membangun sistem data berbasis gender terkait kasus pembunuhan atau penganiayaan yang menyebabkan kematian. Komnas Perempuan juga mendorong hakim untuk mengintegrasikan indikator femisida sebagai alasan pemberatan dalam putusan pengadilan dan meminta aparat penegak hukum untuk mengajukan restitusi kepada pelaku, yang kemudian disalurkan kepada ahli waris korban.

“Kami merekomendasikan agar pola pengajuan restitusi dalam kasus femisida intim di Surabaya diadopsi pada kasus lainnya,” tambah Siti Aminah, merujuk pada inisiatif pengajuan restitusi di Kejaksaan Negeri Surabaya yang melibatkan amicus curiae dari LBH Bandung dan LBH Fahmina dalam kasus femisida di Kuningan.

Selain itu, Komnas Perempuan mendorong Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) untuk membangun sistem penilaian tingkat kebahayaan dalam kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) guna mencegah eskalasi kekerasan yang dapat berujung pada femisida. Komnas Perempuan juga merekomendasikan Kemen-PPPA untuk memfasilitasi fasilitas pemulihan bagi keluarga korban femisida, terutama bagi anak-anak yang menjadi saksi kekerasan tersebut.

Komnas Perempuan mengacu pada rekomendasi Pelapor Khusus PBB untuk Kekerasan terhadap Perempuan, Dubravka Simonic, yang mengusulkan pembentukan “Femicide Watch” atau pengawasan femisida secara nasional. Setiap 25 November, data dan pencapaian pencegahan femisida harus dilaporkan sebagai bagian dari peringatan Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan.

“Pengumpulan dan publikasi data statistik femisida harus dilakukan secara rutin. Ini bukan hanya untuk penguatan kebijakan, tetapi juga bagian dari pengawalan kasus agar keluarga korban memperoleh keadilan dan pemulihan yang layak,” tegas Retty Ratnawati. Peluncuran pemantauan femisida ini diharapkan menjadi langkah awal untuk mendorong pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat luas agar lebih peduli terhadap kasus pembunuhan berbasis gender. Harapannya, keadilan bagi para korban dan keluarganya dapat terwujud, serta pencegahan kasus serupa di masa depan dapat dilakukan secara lebih efektif.