Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Koalisi Nasional Desak Pemerintah Libatkan Disabilitas dalam Penyusunan Aturan Turunan UU TPKS

Koalisi Nasional Desak Pemerintah Libatkan Disabilitas dalam Penyusunan Aturan Turunan UU TPKS



Berita Baru, Jakarta – Koalisi Nasional Organisasi Penyandang Disabilitas mendesak pemerintah untuk lebih melibatkan masyarakat sipil dan disabilitas dalam penyusunan aturan turunan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). 

Koalisi Nasional Organisasi Penyandang Disabilitas untuk Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menilai, hingga saat ini penyusunan aturan turunan UU TPKS masih belum inklusif, sejak diundangkan pasa 9 Mei 2022 lalu.

“Ruang partisipasi dalam proses penyusunan aturan turunan UU TPKS masih dibatasi. Alhasil, kelompok masyarakat sipil dan disabilitas nyaris tidak pernah berkesempatan untuk menyampaikan usulan,” demikian menurut Koalisi Nasional Organisasi Penyandang Disabilitas, sebagaimana dikutip dari keterangan persnya, Selasa (27/6).

“Padahal, keterlibatan aktif kelompok disabilitas sangat diperlukan karena organisasi maupun pendamping disabilitas masih menghadapi banyak hambatan dalam mendampingi korban kekerasan seksual dengan disabilitas,” ujarnya.

Tidak hanya itu, koalisi juga melihat masih banyak aparat penegak hukum yang tidak berperspektif disabilitas sehingga proses penanganan kasus cenderung diskriminatif dan tidak aksesibel. 

“Kondisi tersebut membuat organisasi disabilitas mendorong keseriusan pemerintah dalam membangun ruang penyusunan aturan turunan kebijakan yang lebih demokratis dan inklusif,” katanya.

Kekerasan Seksual Masih Marak

UU TPKS sudah disahkan pada 9 Mei 2022 lalu. Pengesahan tersebut adalah sebuah langkah yang patut diapresiasi dan dirayakan, sebab begitu panjang jalan yang telah ditempuh dalam memperjuangkan aturan hukum mengenai kekerasan seksual itu.

“Kendati demikian, sudah satu tahun berlalu sejak UU TPKS disahkan; kasus kekerasan seksual tidak kunjung mereda. Malah, temuan dan laporan kasus semakin marak terjadi,” katanya.

Koalisi Nasional Organisasi Penyandang Disabilitas mencatat, dari total 3.422 kasus kekerasan berbasis gender yang diterima oleh Komnas Perempuan, 65% atau sekitar 2.228 di antaranya adalah kasus yang memuat kekerasan seksual. 

Tidak hanya terjadi di ranah personal, peningkatan kekerasan seksual ini juga terjadi di ranah publik dan Negara. “Hal itu membuat Koalisi Nasional Organisasi Penyandang Disabilitas menilai, perlu segera ada penyusunan aturan turunan dari UU TPKS,” tegasnya.

Dijelaskan, Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual mengamanatkan lima Peraturan Pemerintah dan lima Peraturan Presiden sebagai turunan atau aturan pelaksana. Namun, KemenPPPA dan 13 kementerian / lembaga terkait memandang perlunya simplifikasi aturan tersebut. 

“Dengan demikian, turunan atau aturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022, berubah menjadi tiga Peraturan Pemerintah dan empat Peraturan Presiden. Ketentuan tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023 juncto Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Presiden Tahun 2023,” katanya.

Disebutkan, keputusan tersebut diambil dengan harapan, ketujuh turunan atau aturan tersebut dapat selesai di bulan Juni 2023. Sayangnya, jaringan masyarakat sipil dan disabilitas justru dibatasi ruang partisipasinya.

“Bukan hanya oleh KemenPPPA dan Kementerian Hukum dan HAM selaku leading sector, tapi juga oleh K/L terkait lainnya,” demikian kata Koalisi Nasional Organisasi Penyandang Disabilitas untuk Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Hambatan Organisasi dan Pendamping Disabilitas

Sementara itu, disisi yang lain organisasi dan/atau pendamping disabilitas kerap menghadapi hambatan dan kesulitan saat mendampingi korban kekerasan seksual dengan disabilitas. Hambatan tersebut terjadi di tingkat pusat maupun daerah. 

Mulai dari tiadanya akomodasi yang layak bagi korban disabilitas, tidak tersedianya juru bahasa, hingga aparat penegak hukum yang tidak berperspektif disabilitas. Hal itu berujung pada penanganan yang diskriminatif dan tidak aksesibel.

“Selain itu, tindak kekerasan seksual jadi rentan ditemukan di Panti-Panti Sosial dan Rumah Sakit Jiwa. Pendamping dengan disabilitas juga kurang mendapatkan perlindungan, sehingga dalam beberapa kasus, pendamping kerap diancam atau mendapatkan tekanan,” tuturnya.

Pembatasan Ruang Partisipasi Disabilitas

Koalisi Nasional Organisasi Penyandang Disabilitas melihat, masyarakat sipil dan disabilitas tidak banyak dilibatkan dalam proses-proses penyusunan aturan turunan UU TPKS. Salah satu buktinya, mereka tidak dilibatkan dalam proses pembentukan Peraturan Presiden terkait Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) PPA. 

“Memang, mereka pernah diundang untuk memberikan usulan, tapi undangan tersebut disampaikan hanya beberapa jam sebelum acara dilaksanakan. Selain itu, tidak ada pemberian draf dari rancangan yang akan dibahas. Kondisi itu membuat partisipasi kelompok disabilitas seakan hanya yang penting hadir dan ada,” tuturnya.

Padahal, salah satu perwujudan dari pemerintahan yang demokratis adalah partisipasi masyarakat. Hal itu sejalan dengan prinsip pemerintah demokrasi, yaitu adanya keterbukaan dalam semua proses penyusunan suatu aturan perundangan. Artinya, transparansi harus hadir sejak perencanaan, penyusunan, pembahasan, sampai dengan pengesahan dan penetapan.

Disebutkan dalam pasal 5 huruf g juncto Pasal 95 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, setiap proses pembentukan Peraturan Perundangan harus transparan dan terbuka. 

Ini agar seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan. Hal tersebut juga dikuatkan oleh Yurisprudensi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. 

“Partisipasi masyarakat dalam suatu peraturan harus bermakna, sehingga nantinya produk hukum yang telah tersusun dengan sempurna secara formil secara materiil juga memenuhi rasa keadilan yang dikehendaki masyarakat,” katanya.

Oleh karena itu, mereka menekankan agar ruang dialektika penyusunan aturan bukan hanya tentang perbincangan hal-hal teknis dan administratif. “Lebih dari itu, proses penyusunan Peraturan Pemerintah atau pun Peraturan Presiden di mana pun itu adalah ruang yang pada akhirnya memproyeksikan ‘nasib korban kekerasan seksual,” pungkas koalisi.

Dengan demikian, Koalisi Nasional Organisasi Penyandang Disabilitas mendorong adanya pelibatan organisasi disabilitas dalam semua proses aturan turunan UU TPKS. Bukan hanya di tahap penyusunan, tetapi juga pada seluruh tahap sampai nantinya peraturan pelaksana tersebut sah diundangkan.