Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Koalisi Masyarakat Sipil Desak Pemerintah Tinjau Ulang Revisi UU TNI
(Foto: Istimewa)

Koalisi Masyarakat Sipil Desak Pemerintah Tinjau Ulang Revisi UU TNI



Berita Baru, Jakarta Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak pemerintah agar meninjau ulang revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (revisi UU TNI).

Menurut keterangan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, Selasa (9/5/2023), revisi UU TNI seharusnya tidak menjadi agenda utama yang harus segera dilakukan pemerintah.

Menurut Koalisi yang beranggotakan 18 organisasi, revisi tersebut tidak memperkuat agenda reformasi TNI, melainkan justru menjadi kemunduran reformasi TNI. Koalisi menilai TNI harus menjadi alat pertahanan negara yang profesional dan tidak boleh digunakan untuk kepentingan politik tertentu.

“Kami menandang pemerintah sebaiknya meninjau ulang agenda revisi UU TNI, mengingat hal ini bukan merupakan agenda yang urgen untuk dilakukan saat ini,” katanya.

Salah satu anggota Koalisi, Centra Initiative, Al Araf, mengungkapkan bahwa ada enam poin dari draf perubahan UU TNI yang membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum, dan hak asasi manusia.

Pertama, perluasan fungsi TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan dan keamanan negara. Menurut Al Araf, hal ini akan membahayakan demokrasi karena militer dapat digunakan untuk menghadapi masyarakat jika dinilai sebagai ancaman keamanan negara.

“Membahayakan demokrasi karena militer dapat digunakan untuk menghadapi masyarakat jika dinilai mereka sebagai ancaman keamanan negara,” ujarnya.

Kedua, pencabutan kewenangan Presiden untuk pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI. Hal ini membuat TNI dapat menggerakkan operasi militer selain perang tanpa melalui keputusan presiden dengan dalih menghadapi masalah keamanan dalam negeri.

Menurut Al Araf, hal ini tentu melanggar prinsip supremasi sipil sebagai prinsip dasar dalam negara demokrasi dalam menata hubungan sipil-militer yang demokratis.

Ketiga, adanya perluasan dan penambahan jenis-jenis Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Ada 19 jenis OMSP dari yang sebelumnya hanya 14 jenis OMPS TNI.

Menurut Al Araf, beberapa penambahan tersebut tidak berkaitan dengan kompetensi militer, seperti penanggulangan narkotika, prekursor, dan zat adiktif lainnya, serta dalam upaya mendukung pembangunan nasional.

Al Araf menilai bahwa perluasan dan penambahan cakupan OMSP akan mendorong keterlibatan TNI yang semakin luas pada ranah sipil dan keamanan negeri, termasuk untuk mengamankan proyek-proyek pembangunan pemerintah. OMSP juga dipandang dapat menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia dan merusak prinsip-prinsip demokrasi dan negara hukum.