Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Kematian Asisten Sutradara
Ilustrasi film, pembuatan film.(SHUTTERSTOCK/GRUSHO ANNA)

Kematian Asisten Sutradara Picu Desakan Perbaikan Kondisi Kerja di Industri Film Indonesia



Berita Baru, Jakarta – Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) mengungkapkan keprihatinan mendalam atas meninggalnya Rifqi Novara, seorang asisten sutradara dua, dalam kecelakaan lalu lintas pada Rabu (28/8/2024). Kecelakaan yang terjadi di daerah Mampang, Jakarta Selatan, ini diduga disebabkan oleh kelelahan kerja setelah Rifqi menyelesaikan proses praproduksi dengan rumah produksi tempatnya bekerja.

Ketua Umum SINDIKASI, Ikhsan Raharjo, menyatakan bahwa insiden tragis ini merupakan pengingat pentingnya perbaikan kondisi kerja di industri film Indonesia. “Peristiwa kecelakaan yang menimpa Rifqi Novara menegaskan mendesaknya perbaikan kondisi kerja dalam ekosistem industri film kita. Salah satu isu krusial yang harus segera ditangani adalah praktik kerja berkepanjangan atau overwork yang sudah menjadi hal biasa di industri ini,” kata Ikhsan dalam siaran pers yang diterbitkan oleh Serikat Sindikasi pada Jumat (30/8/2024).

SINDIKASI bersama pihak keluarga Rifqi Novara telah melakukan kunjungan langsung ke Bandung untuk menyampaikan bela sungkawa serta menawarkan bantuan pendampingan hukum jika diperlukan. Berdasarkan informasi dari keluarga, Rifqi mengalami kecelakaan tunggal saat perjalanan pulang setelah bekerja hingga larut malam. Keluarga dan rekan kerja menduga kecelakaan tersebut dipicu oleh kelelahan yang dialaminya.

Ikhsan menyoroti bahwa kecelakaan kerja dalam industri film bukanlah hal baru. Namun, insiden semacam ini sering kali tidak terdokumentasi dengan baik dan kurang mendapat perhatian dari publik maupun pemerintah. Dalam kertas posisi bertajuk “#Sepakatdi14: Advokasi Pembatasan Waktu Kerja dan Perlindungan Hak Pekerja Film Indonesia,” yang dirilis oleh SINDIKASI bersama Indonesia Cinematographers Society (ICS) pada tahun 2022, disebutkan bahwa para pekerja film di Indonesia kerap bekerja selama 16-20 jam per hari, meningkatkan risiko kesehatan serius seperti serangan jantung iskemik atau stroke.

“Normalisasi terhadap praktik overwork dan minimnya perlindungan hak pekerja merupakan tantangan besar dalam upaya memperbaiki kondisi kerja di industri film,” tambah Ikhsan, yang juga merupakan penulis kertas posisi tersebut. Ia menegaskan bahwa pemerintah sejauh ini masih pasif dalam menangani masalah ini, yang seharusnya menjadi prioritas untuk memastikan keselamatan dan kesejahteraan pekerja.

Sebagai langkah konkret, SINDIKASI saat ini tengah merancang pembentukan Komite Pekerja Film. Komite ini akan menjadi wadah bagi para pekerja film untuk berserikat dan memperjuangkan perbaikan kondisi kerja secara kolektif. Ikhsan juga menyebut bahwa SINDIKASI berencana membangun jejaring dengan serikat pekerja film di negara lain seperti Korea Selatan, Belanda, dan Australia untuk mendukung upaya ini.

Pengalaman tujuh tahun SINDIKASI dalam mengadvokasi pekerja industri kreatif, termasuk perfilman, akan menjadi modal penting dalam strategi perbaikan kondisi kerja di masa depan. “Masalah yang dihadapi oleh pekerja film Indonesia adalah masalah sistemik yang tidak bisa diselesaikan oleh satu-dua organisasi saja. Oleh karena itu, SINDIKASI juga membuka peluang diskusi dengan organisasi profesi perfilman dan pemangku kepentingan lainnya untuk bersama-sama mencari solusi,” tutup Ikhsan.