Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Kemala | Cerpen: Halim Bahriz
Ilustrasi cerpen: Johnmckieart

Kemala | Cerpen: Halim Bahriz



“Setidaknya, lebih dari lima menit aku menyaksikan Mala, dengan berdebar! la tampak sulit tertidur: kembang-kempis perutnya, caranya memainkan tangan dan meletakan kaki, terlihat ganjil. Aku mulai tidak sanggup mengintip gelagat Mala lebih lama ketika secara tiba-tiba ia berjalan ke arah pintu, kemudian diam dan menjadi siluet di ambang balkon. Berpose persis seekor anjing! Bahkan ia memperdengarkan gonggongan tak bertenaga, tertahan, lengkap dengan gerak-gerik leher, juga kepala, yang bikin bergidik.”

“Kau harus menyaksikannya sendiri,” desak suster Bertha. Tentu saja, aku menolak ajakannya dan memilih segera kembali ke kamar, tapi paranoia antik itu urung menjadi sekadar triller rohani. Hanya berselang kurang dari delapan menit, dua suster lain turut menyaksikan. Kejadian ganjil tersebut pun berakhir sebagai kegawatan misterius, yang pada hari-hari setelahnya, diselidiki secara serius.

Keputusan ini menyebabkan Mala diperlakukan seperti seorang kriminil dengan kejahatan mistik yang dianggap menular. Pagi yang biasanya berisi riang anak-anak, mendadak penuh dengan desas-desus. Para suster membicarakannya, telinga-telinga mengkloningnya, tapi di luar asrama, tak seorang pun mendengar bahwa ada gadis kecil telah kerasukan roh sesosok anjing.

Aku turut mendengar gosip horor itu beranak-pinak dan mendadak terjeda tepat ketika Mala mulai menuruni anak tangga dengan perlahan kemudian menuju ruang sarapan yang telah kosong. Ia peroleh limpahan antusiasme yang membidik. Anak-anak berlarian seperti biasa. Beberapa yang lain juga mengusili Mala seperti biasa. Namun para suster beku dalam pose dioramik, menyusun koreografi tatapan yang terlalu dramatis untuk mula hari yang masih terlalu polos. Sepanjang lorong, mewarisi kekhusyukan via dolorosa, tanpa sepasang pun mata seorang Kristen.

Sejak pagi itu Mala mendapat pengawasan khusus. Reputasinya sebagai manusia tulen sepenuhnya luntur. Kamarnya dipisahkan dari kamar-kamar lain, bahkan ruang yang dijadikan kamar baru buatnya terhitung kelewat besar untuk menaruh ranjang dan seorang gadis kecil yang sebetapa pun dianggap mengidap bahaya, ia hanyalah sosok belia rentan yang secara alami tidak dirancang untuk gaya hidup soliter. Selazimnya nasib aib yang bocor, Mala dianggap menanggung dosa, menjadi momen untuk menyebut nama Tuhan seraya mengayunkan isyarat salib untuk memohon perlindungan.

Sebetulnya tak semulai bayi ia tinggal di panti, seperti kebanyakan dari kami, yang konon adalah anak-anak yang selamat dari upaya-upaya aborsi. Mala datang saat usianya, mungkin, sudah beranjak tujuh tahun. Sejak kedatangannya, gelagat muram gadis kecil itu memang melampaui ciri seorang pendiam, bahkan satu-satunya kata yang dengan cukup lancar ia ucapkan cumalah namanya sendiri. Selebihnya, untuk merespon percakapan, ia memakai anggukan atau menggeleng dengan wajah yang selalu tertunduk.

Mala mengerti apa yang kami, atau teman-temannya katakan kepadanya, bahkan lebih baik jika dibandingkan yang sebaliknya. Kami kesulitan memahami isyarat-isyarat Mala. Kami hampir selalu berkomunikasi dengan mengkondisikan ia bisa menjawab dengan mengangguk atau menggeleng.

Ia memang punya catatan buruk dalam hal membaca atau menghapal, dan selama tinggal di asrama, tak sekali pun aku melihatnya menulis kalimat, bahkan sebuah kata. Lembaran-lemabaran bukunya hanya berisi huruf M, yang canggung, diriuhi memori corat-coret yang gentar, tebal-gemetar, yang mengesankan dengan kuat bahwa ia mengerahkan begitu banyak tenaga; lebih seperti hasrat menggurat ketimbang menulis atau menorehkan sebuah garis.

Teman-teman Mala cukup sering menertawakan ketika kertasnya sobek karena ia terlalu kuat menekan pensil. Setiap pelajaran tulis-menulis berlangsung, entah sejak kapan, mereka seolah terbiasa menunggu momen terulangnya adegan yang sesungguhnya pahit itu. Sampai ia dipindahkan ke sebuah panti rehabilitasi khusus yang menangani beragam keganjilan psikosis, Mala tidak pernah berhasil menuliskan namanya sendiri.

***

Sekira dua pekan setelah kejadian malam itu, Mala kembali menggegerkan para penghuni panti. Ia mengencingi meja sarapan, juga melukai sejumlah anak yang bahkan tak sedang mengusilinya. Selang sehari, aku ditugaskan menelusuri masa lalu gadis pemurung itu. Sebetulnya aku ingin, dan sangat mungkin menolak mandat tersebut, tapi setelah menimbang ulang dengan lebih tenang, sebaiknya aku menerimanya.

Aku menemui seorang bernama Lasinta, istri Wijaya Mirdad: satu-satunya nama yang kami temukan dalam arsip yayasan dan tertera sebagai seseorang yang membawa Mala ke panti asuhan. Dia tinggal bersama dua anak seumuran Mala di sebuah rumah yang terbilang mapan. Ketika aku datang ke sana, keluarga mereka sedang dirundung suasana berkabung.

Kami bercakap-cakap di beranda lantai dua yang sore itu melimpahi kami dengan pemandangan sehampar ladang tebu yang sedang berbunga. “Hari ke-37,” ujar perempuan yang tampak terhormat di hadapanku, ia memberitahukan usia kematian suaminya.

“Kami turut berbela sungkawa,” timpalku, seraya bersilekas mengajukan permohonan maaf kalau kedatanganku mengganggu keluarganya dengan urusan yang tak mengenakkan. Aku juga mengatakan bisa kembali pada hari yang lebih nyaman untuk membicarakan hal-hal yang tidak nyaman.

“Terlambat, suster,” sahutnya, “tidak ada lagi waktu yang pas. Akan lebih baik jika anda datang sebelum suami saya meninggal, dia yang membawa Kemala ke rumah ini, dialah yang menemukan gadis malang itu. Dia pula yang mengantar Kemala ke panti asuhan anda.”

“Menemukan?” tanyaku.

“Betul.”

Kemudian ia berpejam sejenak, menarik napas cukup dalam, dan kembali membuka matanya dengan sedikit melotot, lalu kuceritakan sejumlah peristiwa di panti asuhan selama lamunan yang menajam itu.

“Kala itu,” ia melanjutkan, “memasuki musim tebang tebu, dan kebetulan, sebagian besar pekerja kami berasal dari kampung pesisir yang agak jauh, tempat Kemala konon dilahirkan. Mereka menggunjingkan ibunya sembari bekerja.”

“Tentang keganjilan?”

“Ya, tapi tak seperti yang anda bayangkan. Ibu gadis kecil malang tersebut pemabuk berat. Seorang Kristen yang hidup sebatang kara dan tak bergaul dengan tetangga di sekitarnya. Rumahnya berpagar tinggi, memelihara anjing yang cukup besar. Kemala mereka gunjingkan sebagai hasil persetubuhan sang ibu dan anjing peliharaannya. Ada yang bilang itu bagian dari ritus aliran sesat.”

Nyonya Lasi, yang tatapannya menajam jauh ke hamparan ladang, mulai menangis. Aku diam beberapa saat dan kembali memancing cerita lebih lengkap tepat ketika ibu angkat Mala itu membagi senyum kecil yang sedih kepadaku.

“Dan anda percaya?”

“Tidak, tentu saja, tidak. Saya justru berpikiran bahwa Kemala adalah hasil perselingkuhan suami saya sendiri.”

Aku kembali terdiam, tak berhasil mendapat timpalan yang pas.

“Bahkan hingga suami saya yang kebetulan akan menjenguk salah seorang pekerja kami yang sakit keras, dan menemukan Kemala berjalan sendirian malam-malam di tengah jalan desa sambil tersedu-sedu dan ketampakan anak itu memang seaneh yang orang-orang ceritakan, kami tak bisa menemukan satu alasan khusus untuk merasa wajar mempercayai gosip mistis semacam itu.”

“Tapi beberapa pekerja anda menceritakan bahwa mereka pernah melihat ibu Mala berguling-guling bersama anjing.”

“Tidak. Itu tak menjamin apa-apa. Saya kira anda luput menangkap sebab intinya. Kemala tinggal di kampung muslim, dan sebagian besar penduduknya tak mengenyam bangku sekolah, juga hampir tidak pernah bepergian terlampau jauh, bahkan masih cukup banyak yang seumur hidup tak sekali pun mengunjungi kota kabupaten. Mereka tidak mengerti sisi kewajaran peristiwa yang telah dilihatnya. Bergulingan bersama piaraan sendiri bukanlah hal aneh, suster, tapi omongan itu tak sepenuhnya keliru.”

“Karena tak pernah ada yang tahu siapa ayah Mala?”

“Itulah sumber awal pergunjingan.”

“Kenapa nyonya kelihatannya sukar mempercayai rumor itu?”

“Suster, saya menempuh pendidikan kedokteran hampir 7 tahun dan tidak pernah tahu ada kasus aneh seperti itu. Orang-orang juga menceritakan bahwa Ibu Kemala sesekali bepergian, mungkin saja ia bercinta atau diperkosa seseorang saat mabuk. Sebetulnya, kenyataan yang sulit saya tolak adalah kejadian setelah suami saya memboyongnya ke rumah ini, setelah kami, atas persetujuan warga setempat, bersepakat menyerahkan ibu Kemala ke rumah sakit jiwa. Perempuan malang itu mengalami depresi akut.”

“Apakah ibu Mala juga memperlihatkan, maaf, tabiat binatang?”

“Tidak. Tidak. Saya sebetulnya terkejut dengan cerita anda dan ingin tak percaya.”

Mendengar pengakuan itu, aku mulai terguncang, sebab mulai kumengerti alurnya. “Nyonya, apakah anjing itu… tidak, tidak mungkin.”

“Ya. Itulah yang terjadi. Anjing itu mendatangi rumah kami dengan rutin, dan tentu saja, cerita orang-orang mengkondisikan keluarga kami dalam semacam kerentanan paranoia. Terlebih lagi, setiap kali Kemala menangis, ia seperti sedang memanggil anjingnya. Ketika tetangga mulai tak tahan dengan gonggongan yang sangat mengganggu, terutama malam hari, cerita-cerita aneh berkembang kian tak karuan. Kami sempat mengungsikan ia ke sejumlah rumah pekerja, tapi anjing itu selalu datang, seakan-akan tahu, di mana Kemala kami titipkan. Saya dan suami, diam-diam, lama-kelamaan, menyimpan rasa percaya yang campur aduk — antara sedih, tidak tega, dan keinginan memutuskan hal paling adil buat Kemala.”

“Apakah atas alasan itu suami anda mengantarnya ke panti asuhan kami?”

“Dengan berat hati, suster. Kami tidak tega melihat Kemala mendapatkan perlakuan yang rasanya tidak adil di lingkungan kami, meskipun dalam buruknya kualitas dan kemerataan pendidikan, mereka juga tidak bisa dipersalahkan.”

“Seburuk perlakuan kami, kah?”

“Suster, dalam ajaran yang kami percayai, anjing tergolong binatang yang dihindari. Orang-orang melarang anak-anak mereka bermain bersama Kemala, tak jarang kami dengar orangtua membentaki mereka. Suami saya tak sekejam orang-orang. Ia hanya membilas diri sebanyak 7 kali, ini aturan penyucian dalam agama kami, jika terkena liur atau saat Kemala ngompol dalam pangkuannya. Bisa anda bayangkan, ketika pergaulan, cara yang kami anggap manjur untuk memulihkan anak seperti Kemala, tumbuh melampaui trauma, adalah jalan mulus yang justru menyumbang rasa keterbuangan lebih dalam lagi.”

“Nyonya, apakah saat itu Mala sudah mampu berbicara?”

“Tidak. Hampir dua tahun kami merawatnya, ia tak sekali pun memanggil kami, mama atau papa. Kami yang menamainya Kemala. Kami tidak pernah tahu, siapa nama anak itu sebenarnya.”

“Di asrama kami merawat beberapa anjing, tapi kami tak pernah melihat seekor anjing yang secara khusus datang untuk Mala.”

“Orang-orang membunuhnya, suster, dan suami saya adalah salah seorang yang pada hari itu meninggalkan rumah dengan membawa senapan.”

***

 Beberapa bulan usai penelusuran yang tidak menghasilkan sekalimat pun simpulan meyakinkan berakhir dalam sebuah kesepakatan mengirimkan Mala ke rumah sakit jiwa, saluran National Geographic, menayangkan dokumentar tentang keseharian gadis malang tersebut. Ia tidak lagi berjalan dengan tegak, sepenuhnya bergerak seperti anjing, bahkan bisa melompati bangku taman setinggi lutut orang dewasa. Ia juga tampak tak kesusahan berlarian di sepanjang pedestrian.

Scene yang diputar berulang sebagai latar narasi wawancara itu direkam jelang pemindahan Mala ke panti rehabilitasi yang cukup jauh di utara, kampung cukup terpencil yang secara khusus diperuntukkan bagi mereka yang mengalami gangguan prilaku.

Tiga tahun kemudian, hari ini, aku berkunjung ke sana, setelah mengalami copy-paste mimpi buruk nyaris sepekan — di dalamnya: Mala selalu mengencingi bayi menangis dalam kandang babi.

Kampung itu memiliki pemandangan menentramkan, lembah penuh bunga liar, seakan menyimpan waktu yang tua; garis-garis tanaman ladang menghampari terjal lereng. Orang-orang memanen wortel dan brokoli. Aku bisa mencium segar bau tanah bercampur dengan bau kentang. Langit terlihat lebih biru. Sesekali, aku dengar tiga atau lima kaok burung pecah dalam rimbunan. Sejumlah hewan yang sedang digembalakan riang berkejaran di keluasan padang yang menguning, tapi yang menakjubkan adalah angin, yang membuat tetumbuhan kecil, sisa daun pada ranting pohon, tampak serupa adegan bercakap-cakap yang mengharukan. Kecuali bangunan utama yang berfungsi sebagai semacam balai kota, tempatku berdiri dan menunggu saat ini, semua atap dan tulang rumah terbuat dari batang kayu, bambu, dan anyaman jerami, mungkin daun tebu.

Di ujung lain jalan setapak yang cukup panjang, tampak mirip temali pipih yang dibentangkan pada cekungan landai, seseorang bergerak ke arahku. Mungkin Mala. Ya, memang Mala. Seiring berkurangnya jarak, terlihat cukup jelas sebekas tabiat dari caranya berjalan; telapak kakinya agak mengatup, selain jempol tangan, keempat jarinya saling menempel. Rautnya tak banyak berubah. Ia masih si gadis kecil yang dulu, tapi caranya tersenyum sangatlah ramah, jauh dari kesan seorang pemurung. Ia mengenaliku.

“Halo…” sapanya, seraya mengulurkan tangan.

Kuterima uluran tangan itu dengan sedikit sisa rasa takut. “Apa kabar? Lama sekali tak jumpa.”

“Rasanya belum lama,” balasnya dengan sigap dan lancar. “Saya baik. Sangat baik. Suster sendiri, apa kabar?”

“Puji Tuhan, baik.”

Mala, lalu mengajakku menuju kandang sapi, sembari bercerita tentang tempatnya tinggal sekarang.

“Setiap orang memilih sendiri tugas yang diinginkannya. Saya kebagian memerah sapi, karena ketika datang, saya tak tahu harus memilih apa. Tapi saya menikmati kesibukan ini. Bau susu membuat saya merasa tenang.”

“Ya, aku bisa melihatnya, kebahagiaanmu.”

“Semua orang di sini bahagia, suster.”

Tiba-tiba, seekor anjing mendekat ke arah kami, ia mengusap leher anjing itu. “Namanya juga Mala,” ujarnya, dengan enteng, seraya membagi riang wajah ke arahku.

Mala mengajariku cara memerah susu. Ia terbahak-bahak ketika melihatku yang agak canggung mengurut puting-puting sapi, yang tiba-tiba menjerit saat air susu memercik ke wajahku. Dalam spontanitas, aku merasa mendapat jalan untuk menanyakan hal terpenting yang merupakan alasan paling keras kenapa aku masih merasa perlu menemuinya.

“Kau masih melakukannya?” ujarku. Seketika tangannya beku dan tatapan matanya beralih ke mataku. Dalam kesan agak tergopoh-gopoh, Mala memindahi hasil perahan dan begitu saja meninggalkanku dalam kandang, ia berjalan ke arah segelondong kayu. Kami duduk bersampingan di situ; sebuah kampung kecil yang menawan menghampar hampir seluruhnya di hadapan kami.

“Saya memang tak bisa mengingat semua orang, semua wajah, dan semua kejadian, tapi saya tak mungkin lupa dengan anggapan banyak orang tentang diri saya. Bagaimana dan siapa saya bagi diri saya sendiri. Saya masih melakukannya, dengan rasa sedih, dalam kemarahan yang hampa. Suster…”

Aku bersilekas memeluk Mala. “Tak apa. Tak apa. Kami semua bersalah. Begini sudah cukup. Jangan sakiti siapa pun. Juga dirimu sendiri. Aku senang kau masih mengingatku.”

Mala menyambut perkataanku dengan senyum kecil. Serupa jendela yang baru saja terbuka di pagi hari.

“Rasanya mustahil melupakanmu, suster.”

Untuk sesaat, kami saling diam, langit sekan-akan sedang mengembalikan rupa angkasa di atas panti asuhan kami dulu. Mala masih senyum-senyum sendiri, dua bola matanya menjelma rekah teratai di sebuah kolam yang sedang bermimpi. Memandanginya, membuatku merasakan waktu yang pelan, juga kesimpulan yang yakin, bahwa Mala telah memberikan apa yang belum sempat kumintakan secara terbuka. Sejak sore itu, aku rasa, tak ada yang lebih mengagumkan selain sebuah kesalahan yang dimaafkan.


Halim Bahriz, tinggal di Lumajang, Jawa Timur. Dua naskah pertunjukannya mendapat Rawayan Awards (Dewan Kesenian Jakarta: 2017). Pemenang pertama sayembara penulisan The 4th Asean Literary Festival dan esai seni rupa Kemendikbud (2019). Mengikuti Residensi Penulis Indonesia (2018). Debut buku puisinya, Igauan Seismograf, masuk longlist Kusala Sastra Khatulistiwa 2019.