Kasus Korupsi Ekspor CPO Disebut Rugikan Negara Rp18,3 Triliun
Berita Baru, Jakarta – Kasus dugaan korupsi terkait pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) yang melibatkan lima orang terdakwa disebut telah merugikan negara sejumlah Rp18.359.698.998.925 (Rp18,3 triliun).
Hal itu terungkap saat jaksa penuntut umum membacakan surat dakwaan mantan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Indra Sari Wisnu Wardhana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (31/8/2022).
“Yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara yaitu merugikan keuangan negara sejumlah Rp6.047.645.700.000,00 dan merugikan perekonomian negara sejumlah Rp12.312.053.298.925,00,” ujar jaksa saat membacakan surat dakwaan, Rabu (24/8/2022) lalu.
Lima terdakwa yang diadili dalam perkara ini ialah Indra Sari Wisnu Wardhana. Kemudian Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor.
Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari Stanley MA; General Manager (GM) Bagian General Affair PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang.
Kemudian penasihat Kebijakan/Analis pada Independent Research & Advisory Indonesia (IRAI) dan Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei, MBA, CFA.
Indra Sari bersama-sama dengan empat terdakwa lainnya disebut telah memperkaya sejumlah korporasi. Yakni perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Grup Wilmar yaitu PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Multimas Nabati Asahan, PT Sinar Alam Permai, PT Multimas Nabati Sulawesi, PT Wilmar Bioenergi Indonesia seluruhnya sejumlah Rp1.693.219.882.064.
Kemudian perusahan-perusahaan yang tergabung dalam Grup Musim Mas yaitu PT Musim Mas, PT Musim Mas – Fuji, PT Intibenua Perkasatama, PT Agro Makmur Raya, PT Megasurya Mas, PT Wira Inno Mas seluruhnya sejumlah Rp626.630.516.604.
Lalu perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Grup Permata Hijau yaitu dari PT Permata Hijau Palm Oleo, PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Permata Hijau Sawit, dan PT Pelita Agung Agrindustri seluruhnya sejumlah Rp124.418.318.216.
Dalam surat dakwaan, Menteri Perdagangan saat itu Muhammad Lutfi meminta Lin Che Wei membantu mengurus kelangkaan minyak goreng. Lutfi menghubungi langsung Lin Che Wei.
“Meskipun terdakwa Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei merupakan Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian namun terdakwa tidak pernah mendapat penugasan/penunjukan sebagai advisor atau analisis pada Kementerian Perdagangan, namun demikian terdakwa diikutkan dalam pembahasan kelangkaan minyak goreng yang dilakukan Kementerian Perdagangan berdasarkan hubungan pertemanan saja,” tutur jaksa.
“Dan untuk itu ia tidak memperoleh fee dari bantuan yang diberikan tersebut karena sejak awal tidak memiliki kontrak kerja maupun MoU dengan Kementerian Perdagangan,” sambungnya.
Pada 14 Januari 2022, Lutfi, Indra Sari, Oke Nurwan beserta tim Kemendag bersama Lin Che Wei menggelar rapat melalui zoom terkait masalah kelangkaan minyak goreng dan tidak terjangkaunya minyak goreng dengan penyusunan skenario untuk melakukan stabilisasi dan ketersediaan stok minyak goreng dan bahan baku minyak goreng.
Skenario dimaksud berupa:
- Apabila harga CPO di Kawasan Pelabuhan Berikat (KPB) Dumai atau Belawan sebesar Rp14.000-an, opsi yang diambil berupa pemberian subsidi minyak goreng melalui BPDPKS.
- Apabila harga CPO di KPB Dumai atau Belawan sebesar Rp15.000-an, melalui DMO dan DPO.
- Apabila harga CPO di KPB Dumai atau Belawan di atas Rp17.000, B-30 bisa disesuaikan menjadi B-25 atau B-20.
“Selanjutnya terdakwa mengusulkan mengenai besaran DMO 20 persen melalui diskresi Mendag dengan mengadakan joint konsorsium dan kebun berkewajiban untuk mensuplai CPO sesuai luasan lahan dan usulan tersebut diterima oleh Muhammad Lutfi,” kata jaksa.
“Kemudian Indra Sari Wisnu Wardhana mengatakan ‘saya ga akan bunyikan angka 20 persen pak, kan kita yang potong, kita kasih tahu lisan saja pak, kalau tulis jadi masalah kita nanti’,” lanjut jaksa.
Dalam kasus ini kelima terdakwa didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.