Kapal China Ada di Laut Natuna Utara, PB PMII Sarankan Pemerintah Evaluasi Kerjasama dengan China
Berita Baru, Jakarta – Kehadiran kapal China di laut Natuna Utara membuat nelayan Indonesia resah dan takut. Bagaimana tidak, kapal yang terlihat oleh nelayan adalah kapal perang.
Oleh karena itu, Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) meminta agar pemerintah segera mengambil tindakan. Pemerintah harus mempertanyakan kepada China. Apa maksud dan tujuan mengirim kapal perang untuk patroli di laut Natuna Utara.
“Kali ini pemerintah harus banar-benar tegas terhadap China. Karena ini sangat mengganggu psikologis nelayan kita yang sudah ketakutan dalam mencari mata pencahariannya,” ungkap Wasekjend Bidang Maritim dan Pengelolaan Kawasan Perbatasan PB PMII, Joni Satriawan.
Dia mejelaskan, bahwa apa yang dilakukan oleh China di laut Natuna Utara itu melanggar hukum laut Internasional atau Unclos 1982. Dalam Unclos tersebut secara jelas diterangkan bahwa kapal militer suatu negara dilarang untuk berpatroli di ZEE negara lain.
Joni juga menyinggung terkait klaim China atas laut Natuna Utara sebagai bagian dari wilayah tangkap mereka. Klaim tersebut, lanjutnya, telah digugurkan oleh pengadilan Arbitase di Belanda pada 12 Juli 2016 lalu.
“Artinya dunia ini mengakui bahwa laut Natuna Utara yang diklaim China berada dalam kedaulatan Indonesia. Itu jelas,” sambung pemuda kelahiran Sumbawa ini.
Joni juga mendorong agar pemerintah segera membawa persoalan ini ke Asean High Council. Jika langkah tersebut juga tidak menemukan titik temu, maka pemerintah Indonesia harus lebih berani mengambil sikap. Pemerintah harus mengevaluasi hubungan kerjasama disemua leading sektor antara Indonesia dengan China.
Sebab, percuma saja membangun kerjasama jika kedaulatan suatu negara ingin dirampas oleh negara yang menjadi mitranya.
Selain itu, Joni juga mengingatkan sejumlah poin dari lima fokus utama pembangunan maritim untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Lima fokus utama tersebut disampaikan Presiden Jokowi pada Konferensi Tingkat Tinggi ke 9 East Asia Summit pada 13 November 2014 di Myanmar.
Diantaranya, menjaga sumber daya laut dan menciptakan kedaulatan pangan laut dengan menempatkan nelayan pada pilar utama.
“Tidak mungkin dapat menempatkan nelayan pada pilar utama kalau nelayan sendiri takut untuk melaut karena merasa keselamatannya terancam,” kesalnya.
Selanjutnya ada juga poin yang menyinggung tentang upaya dalam penanganan sumber konflik, sengketa wilayah hingga pelanggaran kedaulatan.
“Berharap kepada Presiden dan seluruh kementerian dan lembaga terkait untuk benar-benar menjalankan lima fokus utama yang disampaikan pada Konferensi Tingkat Tinggi ke 9 itu. Terhitung sejak 2014, berarti sudah sekitar tujuh tahun. Tapi sengketa wilayah dan pelanggaran kedaulatan masih terjadi. Ini PR kita bersama yang harus segera diselesaikan,” pungkasnya.