Infrastruktur, Fondasi Ekonomi, dan Nasionalisme
Infrastruktur dalam perekonomian ibarat fondasi rumah. Sebuah rumah yang kokoh ditopang oleh fondasi yang kuat. Jika fondasinya rapuh maka rentan roboh. Apalagi jika yang datang adalah angin badai, banjir, gempa diiringi tsunami. Begitupun dengan infrastruktur, jika tak memadai maka ekonomi kita akan sulit bergerak. Bung Hatta dalam kumpulan pidato II, hal 29 berkata “jalan-jalan adalah pokok yang pertama untuk membangun ekonomi kita. Ekonomi tidak akan berjalan, jika jalan-jalan tidak dibangun atau yang rusak tidak segera diperbaiki.”
Lebih lanjut, Ahmad Erani Yustika (2020) mengatakan Infraktruktur seperti minyak pelicin ekonomi karena menambah akses kegiatan produksi (jalan usaha tani, irigasi, bendungan, listrik), mengurangi ongkos logistrik (jalan/tol, dermaga/pelabuhan, bandara), juga menurunkan disparitas keadilan pembangunan (antarwilayah, sektor, dan kelompok masyarakat). Cita-cita menjadi Indonesia emas atau maju (pertumbuhan di atas 7%, menciptakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya, mengurai ketimpangan, dan kemiskinan) mustahil akan terwujud jika pemerintah tidak serius dalam membangun infrastruktur.
Pemerintah beberapa tahun ini amatlah serius dalam membangun infrastruktur. Kita bisa lihat anggaran infrastruktur yang terus naik dari Rp157,4 triliun pada 2014 menjadi Rp384,8 triliun pada 2022 (RAPBN 2022). Pembangunan itu dilakukan untuk pembangunan jalan, jalur kereta api, bendungan, jalan tol, bandara, pelabuhan, irigasi, akses listrik, pembanguan Pos Lintas Batas Negara (PLBN), dan lainnya.
Alhasil, pembangunan ini mampu meningkatkan Indeks Kinerja Logistik (Logistik Performance Index) dari peringkat 63 pada 2016 menjadi peringkat 46 pada 2018. Selanjutnya indeks daya saing global Indonesia meningkat menjadi peringkat 45 tahun 2018 dan sedikit menurun pada 2019. Dampaknya pada 2018 investasi infrastruktur sebesar Rp157,8 triliun telah memberikan konstribusi pertumbuhan ekonomi sebesar 1,28% dengan nilai tambah yang dihasilkan Rp184,4 triliun (sumber: Renstra Kementerian PUPR 2020-2024).
Infrastruktur Memupuk Nasionalisme
Dari sekian banyak infrastruktur yang dibangun, ada 2 infrastruktur yang mengharukan, yakni dukungan pada akses listrik dan pembangunan PLBN. Listrik amatlah penting bagi perekonomian warga agar bisa tumbuh, aktivitas keseharian bisa lebih mudah dan efektif, terpenting anak-anak penerus bangsa bisa belajar dan membaca di malam hari.
Di awal pemerintahan Jokowi, masih ada lebih dari 12.000 desa yang belum teraliri oleh listrik dengan baik, bahkan 2.519 desa di antaranya belum memiliki akses listrik sama sekali. Sampai kuartal I 2021, rasio elektrifikasi terus naik dai 98,05% pada 2018 menjadi 99,28 persen dan rasio jumlah desa berlistrik mencapai 99,59%. Sementara jumlah desa yang belum teraliri listrik tinggal 346 desa (sumber: Siaran Pers Kementerian ESDM, 2021).
Kehadiran negara akhirnya dirasakan salah satunya di Pulau Bajo, sebuah pulau kecil di bagian utara Sumbawa, wilayah Desa Kwangko, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB). Mereka baru merasakan listrik pada 2016 dan mulai merata sejak 2017.
Selanjutnya, Pembangunan total dilakukan di beberapa Pos Lintas Batas Negara (PLBN), salah satunya adalah di Entikong, Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Sarawak, Malaysia. PLBN merupakan bangunan yang berfungsi sebagai gerbang keluar masuknya masyarakat dari Indonesia ke negara tetangga, atau pun sebaliknya. Dalam RPJMN 2015-2019 mengarahkan kawasan perbatasan sebagai halaman depan negara, yang berdaulat, berdaya saing, dan aman sentosa. Kebijakan ini ditempuh guna mengikis kesenjangan pembangunan berlangsung lama antara pusat dan pinggiran.
Sebelumnya, PLBN tersebut seperti pondok tua yang telah lama ditinggal. Sementara, PLBN dari Malaysia amatlah bagus. Sebagian masyarakat lebih bangga disebut warga Malaysia daripada Indonesia.
Namun semua berubah, pembangunan dimulai pada 2015 dan diresmikan pada akhir 2016. Jalan perbatasan sudah beraspal. Dulu jarak tempuh dari kabupaten ke kecamatan di wilayah Entikong membutuhkan waktu 8 jam, kini bisa ditempuh dengan 3-4 jam. Bangunannya kini telah megah, bahkan kini lebih keren dari Malaysia. Dengan adanya pembangunan tersebut masyarakat sangat bangga, tidak malu lagi sebagai Warga Negara Indonesia. PLBN bahkan berpotensi menjadi daerah wisata. Hal ini terbukti banyaknya warga dari Entikong, Pontianak, sampai Malaysia yang berfoto dan berswafoto di dekat tugu berupa taman, pilar, dan patung Garuda Pancasila. Padahal dulu, masyarakat Indonesia lebih senang berfoto di pos milik Malaysia.
Infraktruktur harus terus dibangun oleh pemerintah. Shi et.al (2017) menemukan bahwa investasi infrastruktur berupa jalan, jembatan, jalur kereta api, dan telekomunikasi menumbuhkan ekonomi china secara akseleratif. Pembangunan infrastruktur yang berkualitas haruslah memberikan dampak jangka pendek dan panjang (setidaknya hingga 30 tahun ke depan).
Namun, Pemerintah harus membangun dengan menetapkan prioritas apalagi di masa pandemi. APBN kita amatlah terbatas. Pembangunan ke depan haruslah ramah lingkungan dan minim korupsi sehingga mampu meningkatkan nilai tambah ekonomi (mengurai ketimpangan antarwilayah, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan). Rakyat harus terus diberikan harapan dengan fondasi ekonomi yang kokoh dan juga bangga memakai garuda di dadanya.
Penulis: Dwinda Rahman, pemerhati Kebijakan Fiskal dan Bisnis Keberlanjutan