Gus Yahya: Menganggap Warga NU sebagai ‘Kebo’ adalah Sangat Menghina
Berita Baru, Jakarta – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Yahya Cholil Staquf, yang akrab disapa Gus Yahya, menolak dengan tegas anggapan yang merendahkan yang mengibaratkan warga Nahdlatul Ulama (NU) sebagai “kebo” yang dapat diarahkan dalam konteks Pemilihan Umum (Pemilu) mendatang. Menurutnya, pandangan semacam ini sangat menghina warga NU.
Dalam pernyataannya di Kantor PBNU, Jakarta Pusat, pada Sabtu (2/9/2023), Gus Yahya menekankan bahwa, “Sekarang mindset orang itu masih banyak ‘warga NU ini kebo-kebo yang disuruh ibunya ke sana ke mari gampang’. Itu anggapan yang menghina sekali kepada warga NU.”
Meskipun demikian, Gus Yahya tidak terkejut bahwa warga NU menjadi incaran banyak calon presiden dan calon wakil presiden, serta partai politik, di musim pemilu. Ini disebabkan oleh tingginya persentase warga yang mengidentifikasikan diri sebagai pengikut NU.
“Survei terakhir dari Alfara misalnya menyebutkan bahwa 59,2 persen mengaku sebagai pengikut NU. Jadi mereka itu identifying themselves sebagai warga NU,” jelasnya.
Gus Yahya meyakini bahwa warga NU adalah individu yang terdidik dan cerdas. Mereka mampu berpikir mandiri dan membuat keputusan berdasarkan kebutuhan dan keyakinan mereka sendiri.
Namun, Gus Yahya menegaskan bahwa PBNU tidak terlibat dalam dukungan terhadap salah satu pasangan calon presiden atau cawapres. “Soal sikap sudah saya sebutkan berulang kali, saya tegaskan sekali lagi di sini, tidak ada calon atas nama NU. Saya ulangi ya, tidak ada calon atas nama NU,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa preferensi politik adalah urusan individu dan organisasi keagamaan yang dipimpinnya tidak terlibat dalam ranah politik.
“Itu di luar domain kami sebagai organisasi keagamaan kemasyarakatan, yaitu domain parpol silakan, dan silakan berjuang untuk mendapatkan kepercayaan rakyat,” tambahnya.
Gus Yahya juga menyatakan bahwa dirinya dan anggota PBNU lainnya dapat memiliki preferensi politik yang berbeda. Hak ini harus dihormati sebagai bagian dari demokrasi.
“Saya sendiri sebagai ketum PBNU dan teman-teman di PBNU punya sikap yang sama, kami tidak mau warga ini harus dicocok-cocok idungnya diseret ke sana ke mari. Enggak mau,” ungkapnya.
Selain itu, PBNU akan mengadakan musyawarah nasional (munas) ulama dan konferensi besar (konbes) pada 18-20 September di Pondok Pesantren Al-Hamid, Cilangkap, Jakarta Timur.
Gus Yahya mengonfirmasi bahwa tidak akan ada panggung bagi calon presiden atau cawapres dalam dua agenda tersebut. Sebaliknya, PBNU akan lebih memilih mengundang ahli di luar NU yang memiliki pengetahuan tentang perkembangan teknologi terkini, seperti kecerdasan buatan (AI).
“Tidak ada, tidak ada [bacapres]. Jadi nanti ada mungkin kita nanti ada undang dari ahli di luar lingkungan NU apabila dibutuhkan, misalnya ada soal AI [kecerdasan buatan],” jelasnya.
Gus Yahya mengungkapkan bahwa tema utama dalam agenda tersebut adalah ‘Mendampingi Umat, Memenangi Masa Depan,’ yang mencerminkan komitmen NU untuk memberikan dukungan langsung kepada masyarakat di tingkat akar rumput.