Gagalnya Welfare State & lahirnya Neo-Otoritarianisme di Rezim Jokowi
Opini : Muhammad Khafid Ainul Yaqin
(Ketua Biro Komunikasi Pemerintah dan Kebijakan Publik PC PMII Pasuruan)
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dianggap dan diharap mampu menjadi manifestasi pemimpin negara yang mampu membawa agenda-agenda Reformasi. Jokowi yang dipercaya sebagai representasi dari ”wong cilik”, seharusnya mampu menjadi pemain utama dalam mengantarkan Indonesia menjadi Negara Kesejahteraan (Welfare state). Sebuah pemerintahan yang akan menjamin hak-hak warga negara untuk memperoleh pelayanan sosial.
Secara yuridis, dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 disebutkan memiliki semangat ke arah pembentukan negara dengan model welfare state. Berikut beberapa tujuan yang hendak dicapai: 1) Mengontrol dan memberdayakan sumber daya sosial ekonomi untuk kepentingan publik; 2) Menjamin distribusi kekayaan secara adil dan merata; 3) Mengurangi kemiskinan; 4) Menyediakan asuransi sosial (pendidikan dan kesehatan) bagi masyarakat miskin; 5) Menyediakan subsisdi untuk layanan sosial dasar bagi disadvantage people; dan 6) Memberi proteksi sosial bagi setiap warga negara.
Realitasnya, pemerintahan Jokowi belum mampu mewujudkan negara dengan model welfare state. Banyak sekali masalah-masalah yang ada, alih-alih diselesaikan, justru selama ini hanya ditutup-tutupi. Banyak program pemerintah yang diwacanakan untuk menyejahterakan masyarakat, hasilnya ternyata berbanding terbalik.
Pertama. Hilirisasi nikel. Alih-alih menyejahterakan, program ini justru memicu masifnya kekerasan dan intimidasi, hingga kriminalisasi terhadap warga yang mempertahankan ruang hidupnya. Lahan-lahan warga dicaplok, sumber air dan air laut tercemar, kemiskinan meningkat dan masih banyak yang lainnya. Sebagaimana yang terjadi di Pulau Obi, Halmahera Selatan dan di Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara (Laporan Jaringan Advokasi Tambang Tahun 2023). Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada kuartal III-2023 menyebutkan, pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah memang mencapai 13,06 persen secara tahunan atau year on year (yoy). Sedangkan Persentase penduduk miskin pada Maret 2023 sebesar 12,41%, naik 0,11% dari September 2022, dan naik 0,08% dari Maret 2022.
Kedua. Food estate. Hasil investigasi tempo tahun 2023 menjelaskan, Greenpeace Indonesia menemukan kegagalan atas proyek lumbung pangan yang diterapkan di wilayah hutan, lahan gambut, dan di wilayah adat di Kalimantan Tengah. Juru Kampanye Hutan Greenpeace, Arie Rompas mengatakan, kegagalan itu berupa tanaman singkong di Kalimantan Tengah, yang berada di Kabupaten Gunung Mas. Luas lahan yang disiapkan 31.719 hektare untuk lahan singkong. Temuan Greenpeace, setengah dari luas lahan itu sudah dicakup berbagai izin penggunaan lahan pribadi maupun fasilitas umum.
Ketiga. Masalah jaminan kesehatan. Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Desentralisasi Kesehatan Kementerian Kesehatan Yuli Farianti mengatakan, fenomena pembatasan layanan oleh fasilitas kesehatan (Faskes) disebabkan berbagai faktor, baik dari sisi regulasi maupun manajemen faskes. Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra menuturkan, 700 pengaduan terkait layanan kesehatan ke Ombudsman RI pada 2021-2022 menunjukkan ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan sejumlah faskes. Padahal, hak memperoleh layanan kesehatan sudah dijamin konstitusi dalam Pasal 28 H Undang-Undang Dasar 1945.
Keempat. Masalah pemerataan kekayaan nasional. Lembaga Keuangan Swiss pada tahun 2017, merilis hasil riset mengenai ketimpangan kekayaan di berbagai negara. Ternyata, Indonesia masuk dalam 9 besar negara dengan kekayaan tidak merata. Hanya 1% saja orang terkaya di Indonesia sudah menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Hal ini juga didukung dengan adanya kebijakan Pemerintah yang pro kapitalistik, misalnya seperti revisi UU Minerba, UU Cipta Kerja, hingga Revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP).
Kelima. Menurunnya kualitas pendidikan di Indonesia. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim dalam acara perilisan PISA 2022, menyampaikan bahwa peringkat Indonesia naik 5-6 posisi dibanding PISA 2018. Namun, terjadi penurunan skor pada pada masing-masing subjek penilaian kemampuan membaca, matematika, dan sains. Pada subjek kemampuan membaca, Indonesia catatkan skor rata-rata 359, terpaut 117 poin dari skor rata-rata global di angka 476, dan turun 12 poin dari edisi sebelumnya. Selanjutnya pada subjek kemampuan matematika, skor rata-rata Indonesia turun 13 poin menjadi 366, dari skor di edisi sebelumnya yang sebesar 379. pada subjek kemampuan sains, Indonesia memperoleh skor rata-rata 383 di subjek ini, terpaut 102 poin dari skor rata-rata global. Hasil ini kembali menyamai torehan skor pada PISA 2009.
Keenam. Memburuknya penanganan korupsi di Indonesia. Persepsi Korupsi yang baru saja dirilis Transparency International Indonesia menyebutkan bahwa skor pada tahun 2023 mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Indonesia memperoleh skor 34 dan peringkatnya merosot dari 110 menjadi 115. Jika ditarik ke belakang, skor IPK Indonesia saat ini sama dengan saat pertama kali Presiden Jokowi menjabat sebagai Presiden pada tahun 2014. Fakta ini menegaskan bahwa selama sembilan tahun masa pemerintahan Jokowi tidak memiliki kontribusi berarti dalam agenda pemberantasan korupsi, bahkan cenderung membawa kemunduran bagi pemberantasan korupsi.
Menyadari itu semua, Presiden Jokowi justru sibuk dengan penyalahgunaan kekeuasaan untuk mendukung salah satu Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres). Putusan MK 90 tahun 2023 yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres, disinyalir terdapat peran Jokowi sebagai ayah sekaligus kakak ipar dari Ketua MK Anwar Usman. Meski kemudian Anwar Usman dinyatakan melanggar kode etik dan dipecat sebagai ketua MK, Jokowi tidak bersikap layaknya pemimpin negara. Ia malah ikut melakukan kampanye terselubung untuk anaknya di berbagai daerah. Lebih-lebih dengan menyalahgunakan kekuasan sebagai Presiden.
Berdasar penjelasan di atas, penulis ingin memberikan sebuah apresiasi (Baca: Kritik) kepada Presiden Jokowi. Bahwa predikat yang cocok untuk Rezim Jokowi sebagai pemerintahan ”Neo-Otoritarianisme”. Furio Cerutti dalam Conceptualizing Politics: An Introduction to Political Philosophy menyebut otoritarianisme sebagai bentuk pemerintahan dengan adanya sentralisasi kekuasaan pada satu orang atau kelompok tertentu, serta dicirikan dengan kebebasan politik yang terbatas. Otoritarianisme ini pernah ada di Indonesia Era Orde Baru. Sedangkan Neo-Otoritarianisme atau otoritarianisme gaya baru hadir dengan cara memperkuat pengaruh kekuasaan terhadap rakyat sehingga terlihat tak memiliki kekurangan.