Food Estate Dinilai Tidak Sesuai dengan Tujuan
Berita Baru, Jakarta – Wahana Linkungan Hidup (WALHI) Kalimantan Tengah menyoroti program KLHS untuk Food Estate. Hal itu disampaikan melalui keterangan tertulisnya yang ditandatangani empat lembaga Greenpeace Indonesia, IMPARSIAL dan WALHI, Rabu (17/2).
“Saat ini Kalimantan Tengah telah memasuki tahap pembahasan awal KLHS untuk Food Estate, sayangnya kami menangkap kesan bahwa KLHS hanya dijadikan justifikasi untuk pembukaan Food Estate,” terang Dhimas, ketua WALHI Kalteng.
Seharusnya, kata dia KLHS menjadi dasar dalam penyusunan kebijakan, rencana, dan program, bukan hanya menjadi tahapan administratif dalam sebuah proyek.
Di sisi lain, kata Dhimas, keterlibatan Kementerian Pertahanan dalam proyek Food Estate, terlebih ditambah pernyataan presiden Jokowi yang mengatakan akan melibatkan komponen cadangan (KOMCAD) dalam proyek pangan menambah problem tersendiri.
“Terbitnya Perpres yang melibatkan sipil dalam komponen cadangan (KOMCAD) juga menambah kompleksitas dan problem tersendiri. Bahkan dalam paparan kementerian PPN/BAPPENAS, konsep pengembangan food estate dikenal 2 mekanisme, militer dan non-militer,” lanjutnya.
Sebagaimana diketahui, arahan presiden RI pada Ratas Food Estate 23 September 2020, setidaknya ada 3 tujuan food estate; pertama, mengantisipasi krisis pangan akibat pandemi Covid-19. Kedua, mengantisipasi perubahan iklim, dan ketiga, mengurangi ketergantungan Impor.
Akan tetapi, kata Dhimas, ketiga alasan di atas justru menjadi tidak berdasar melihat fakta saat ini.
“Alasan Covid justru harusnya dijawab dengan desentralisasi produksi pangan, serta memberikan dukungan langsung pada petani, baik pada faktor produksi maupun ketersediaan lahan, mengingat ketimpangan kepemilikan lahan masih tinggi,” kata Dhimas.
Lanjut Dhimas, argumentasi perubahan iklim menjadi tidak berdasar, apabila merujuk catatan IPCC dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) Pemerintah Indonesia salah satu faktor penyumbang emisi terbesar berasal dari sektor AFOLU (Agriculture, Forestry, Other Land Use / Pertanian, Kehutanan, dan alih fungsi lahan lainnya).
Sedangkan untuk yang ketiga, argumentasi ketergantungan impor, justru menunjukkan ketidak konsistenan saat Omnibus Law disetujui justru melonggarkan hal ini, pada sisi lain proyek pangan skala luas belum pernah terbukti berhasil.
“Melihat kondisi saat ini, terlebih kita baru saja diingatkan bahwa pengabaian terhadap lingkungan hidup akan berbuah pada bencana ekologis, saatnya menghentikan proyek-proyek yang mengabaikan hak masyarakat dan lingkungan hidup,” pungkasnya.