Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Ekonom INDEF Ramal Oligarki di Indonesia Akan Semakin Eksis
Sejumlah aktivis yang menamai diri mereka People Heist, melakukan aksi teatrikal di depan gedung DPR RI, Jakarta, Senin (04/10/21). (Foto: Detik.com)

Ekonom INDEF Ramal Oligarki di Indonesia Akan Semakin Eksis



Berita Baru, Jakarta – Oligarki menjadi trendsetter di Indonesia dalam kurun waktu 5-10 tahun terakhir. Oligarki sendiri dimengerti sebagai sebuah sistem yang bekerja dalam bisnis atau politik di Tanah Air. 

Dalam diskusi publik Catatan Awal Tahun 2023, Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Prof. Didin S Damanhuri meramal keberadaan oligarki tersebut ke depan.

“Dia akan menjadi lebih eksis pada 2023-2024 dan setelahnya, bekerja sebagai sebuah sistem,” kata Prof. Didin, Kamis (6/1).

Menurutnya, oligarki ditandai akan tumbuh subur dalam sebuah sistem politik yang tidak demokratis dengan mengendalikan kontrol ekonomi dan politik sebuah negara. Bukti bekerjanya oligarki adalah terjadinya koalisi gemuk di parlemen. 

“Dia bekerja dengan mengabaikan lembaga hukum dan partisipasi publik dalam proses legislasi, sebagaimana diminta oleh Undang-undang,” jelas Prof. Didin.

Pada kesempatan itu, ia menyebut bahwa sejarah telah mencatat oligarki pernah menggagalkan ‘Politik Benteng’ sehingga pemerintahan jatuh bangun dan demokrasi gagal mensejahterakan rakyat. 

Di era Orba, lanjut Didin, oligarki ekonomi dikontol Presiden Soeharto yang otoriter dan tidak demokratis. Meski 200 konglomerat ketika itu menguasai 62% PDB tetapi tidak sampai mendikte Politik.

Didin menilai Orba berhasil dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyat yang terjangkau dan stabil serta perekonomian relatif merata yaitu dengan rasio gini pengeluaran rata-rata 0,32.

Sementara itu, hal yang sebaliknya terjadi pada era reformasi. Dimana demokrasi politik berjalan namun substansinya (ekonomi dan politik) tidak berjalan. Sehingga oligarki ekonomi mampu mengendalikan politik.

Menurut Prof. Didin, kondisi itu memiliki dampak ketimpangan makin buruk. Dimana rasio gini pengeluaran rata-rata sekitar 0,39, sementara penguasaan aset oligarki ekonomi dibandingkan mayoritas penduduk sangat timpang.

“Harta 4 orang terkaya sama dengan harta 100 juta penduduk Indonesia paling miskin (credit Suisse). 1 % penduduk terkaya sama dengan 46,6% {DB dan 10% terkaya sama dengan 75,3% PDB,” jelasnya.

“Menurut index oligarki/Material Power Index (Jeffrey Winter), jumlah 40 orang terkaya rata-rata dibagi income per kapita pada 2014 = 678.000 kali. Pada 2018 meningkat 750.00 kali, pada 2020 menjadi 822.00 kali, 2022 menjadi 1.065.000 kali (Forbes data),” sambungnya.

Lebih lanjut ia mengurai terjadinya oligarki yang merajalela pada era reformasi. Salah satu sebabnya karena dibiarkan menjadi investor politik di semua tingkat pemilihan, mulai dari gubernur, walikota, bupati, hingga pemilihan presiden.

“Dengan semakin ofensifnya oligarki ekonomi, pada gilirannya akan menjauhkan proses transisi demokratisasi politik menuju demokrasi substansial. Maka Dibutuhkan reformasi mendasar sistem politik yang dapat menjamin tercapainya demokrasi ekonomi,” kata Prof. Didin.

Melihat keberadaan oligarki yang semakin mencengkram politik ekonomi Indonesia, Pro. Didin memandang perlu adanya political reform. Diantaranya, menekan ongkos proses politik berupa penyederhanaan prosedur kampanye.

Selain itu juga menghilangkan berbagai modus pemberian ‘mahar’ politik serta korupsi politik dalam setiap penentuan calon dalam Pilpres, Pileg dan Pilkada. 

“Sanksi berat harus disiapkan bukan hanya hukum, juga finansial, politik dan sanksi sosial. Dibutuhkan revisi UU Partai Politik dan UU lainnya yang menciptakan suburnya oligarki ekonomi dan politik,” pungkas Prof. Didin