Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Dunia Minke dan Nasionalisme Bertumbuh
Sampul buku Bumi Manusia karya Pramoedya Anata Toer

Dunia Minke dan Nasionalisme Bertumbuh



Raudal Tanjung Banua, Author at Kurungbuka.com

Opini : Raudal Tanjung Banua

Sastrawan dan anggota grup Kuncen Pantai Barat, tinggal di Bantul, Yogyakarta


Minke merupakan tokoh utama novel Pramoedya Ananta Toer dalam korpus Tetralogi Pulau Buru. Berlatar belakang terbentuknya nasionalisme Hindia-Belanda awal abad ke-20, Minke bermuka-muka dengan segenap persoalan dan situasi negeri jajahan. Dalam Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa, ia bergaul rapat dengan Nyai Ontosoroh, perempuan pribumi yang maju pikirannya, cerdas dan idealis, pemilik perusahaan peternakan besar di Wonokromo, Surabaya, Boerderij Buitenzorg—dari mana sang nyai beroleh nama.

Kedua tokoh utama bumi putra ini, bahu-membahu, bekerja sama dan bertukar pikiran, seputar “bumi manusia dengan segala persoalannya”. Melalui pendidikan formal di satu sisi, serta pembelajaran otodidak di sisi lain, Minke dan Nyai Ontosoroh seolah menetas dari cangkang kegelapan. Mereka menjadi manusia baru yang tersadarkan. Dari situ mereka menyadari ketimpangan dan ketidakadilan pemerintah kolonial terhadap sesama manusia, khususnya kaum pribumi.

Tak ada persamaan hak dan kesetaraan hukum antara warga kulit putih dan kulit berwarna, membuat pribumi terdiskriminasi, bahkan kerap dikriminalisasi. Contohnya Nyai Ontosoroh sendiri. Pengadilan putih memutuskan bahwa ia tak berhak atas Annelies, anak yang ia lahirkan dan ia besarkan. Sebab perkawinannya dengan Herman Mellema dianggap tidak sah. Begitu pula perkawinan Minke dengan Annelies. Pengadilan keukueh menyebutnya juffrow (nona) padahal seharusnya mevrouw (nyonya). Bahkan Annelies dipaksa dipulangkan ke Belanda. Melalui kongkalingkong hukum, perusahaan Boerderij Buitenzorg pun disita.

Bukan Pilihan Populer

Dalam situasi akut tersebut, Minke, representasi kaum terpelajar bumi putra, mencoba merumuskan jatidirinya. Tanpa basa-basi, ia temukan kata kunci “djaman kemadjoean” pada modernitas; alaf baru yang mengandalkan nalar dan ilmu pengetahuan untuk maju. Pendidikan membuatnya pandai membaca dan menulis. Ia tahu perkembangan dunia luar dan merasakan manfaat teknologi yang memintas ruang dan waktu. Situasi ini ia pandang berbeda jauh dengan dunia nenek moyang, khususnya masyarakat feodal Jawa tempat ia berasal. Ia berusaha melepas atribut ke-Jawa-annya demi merengkuh fajar baru peradaban Eropa.

Akan tetapi ternyata modernisasi punya ironinya sendiri. Penguasa Eropa tak hanya kalap menerapkan hukum dan undang-undang, juga buruk menjalankan birokrasi dan administrasi modern. Birokrasi membusuk sebab kerap digunakan sebagai tameng untuk memeras dan mengeruk keuntungan pribadi. Pejabat seperti direktur pabrik gula berbuat sewenang-wenang. Suap-menyuap dan korupsi, jadi keseharian.

Bahkan anak perempuan dikorbankan demi jabatan. Nasib sial itu dialami Sanikem. Ia diserahkan ayahnya, Sastrotomo, jurutulis pabrik tebu, sebagai nyai Tuan Administratur alias Tuan Besar Kuasa pabrik gula Tulangan. Hal sama dialami Surati, anak Sastro Kassier. Sanikem inilah yang kelak dikenal sebagai Nyai Ontosoroh. Dan sang Administratur adalah Herman Mellema, alegori peradaban Eropa: mengajarkan sejumlah hal baik pada pribumi, tapi sekaligus menoreh luka tak tersembuhkan.

Dari sinilah Minke balik mempertanyakan janji keselamatan yang dibawa kaum kulit putih, sembari melirik bangsa sendiri yang kukuh dengan sikap feodalnya. Sikap yang melempangkan jalan bagi priayi bangsanya untuk jadi bagian dari dunia kolonial. Nyatalah, kolonialisme dan feodalisme telah bersekutu membentuk watak koloni bangsa jajahan.

Di antara dua “isme” problematis itu, pada akhirnya, Minke harus merumuskan jatidiri bangsanya, melalui dua “isme” lain yang bernilai positif dan produktif: humanisme dan nasionalisme. Lewat kesadaran kemanusiaan dan kebangsaan, sengkarut besar yang ditimbulkan dua “isme” sebelumnya—kolonialisme, feodalisme—mulai menemui kanal.

Semua harus dihadapi dan dikelola Minke yang sudah terlanjur terbuka matanya oleh fajar baik akal budi. Meski jelas itu bukan pilihan populer saat itu. Humanisme dan nasionalisme adalah liyan bahkan hantu yang menggedor pintu politik konservatif kolonial dan menggoyang sikap fanatik kaum feodal atas struktur sosial yang mapan.

Untunglah Minke beroleh dukungan penuh dari pelbagai kalangan, mulai keluarga dekat sampai masyarakat Eropa tercerahkan. Sebutlah Nyai Ontosoroh yang berwibawa dan berjiwa pendidik. Juga sang Ibunda dengan kasih sayang khas perempuan Jawa, nrimo, tapi tegar dan ikhlas. Tentu Annelies, gadis cantik dan pekerja keras, secara satir disebut mengalahkan Sri Ratu Wilhelmina. Dialah yang membangkitkan gairah jiwa muda Minke meski sebentar, sebelum “bunga akhir abad” itu direnggut paksa oleh pengadilan kulit putih!

Di sisi lain ada Darsam, blater Madura yang siap melindunginya, serta kawan-kawan Eropa yang wataknya tak bisa digeneralisasi semua buruk. Ada Jean Marais, pelukis Prancis dan mantan kombatan Kompeni; pasangan suami istri Telinga di pemondokan; sang guru sastra yang humanis, Magda Peters; asisten Residen Herbert de la Croix beserta dua putrinya, Sarah dan Miriam de la Croix. Juga Kommer, Neijman dan Ter Haar, dan sahabat-sahabat lain dalam lanjutan Bumi Manusia: Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah atau Rumah Kaca.

Tentu saja relasi itu mengalami pasang-surut. Tapi yang pasti, Minke telah bertekad menempuh satu jalan dengan mempertaruhkan idealisme yang ia punyai. Jalan Minke pun bukan jalur populer sebagaimana umumnya lulusan HBS waktu itu: jadi pangrehpraja, pejabat atau pengusaha. Alih-alih Minke memilih bertungkus-lumus dengan kesunyian dunia tulis-menulis! Betapa pun awal abad ke-20 itu, dunia tulis-menulis sedang mengalami musim seminya sendiri, seiring bertumbuhnya penerbitan pers.

Namun dalam dunia baru tersebut, peran serta bumi putra sangat terbatas. Dalam hal ini, boleh dikata Minke adalah “Sang Pemula” (mengingatkan kita pada R.M. Tirto Adhi Soerjo, dalam buku Pram lainnya berjudul sama). Apalagi corak kepenulisan Minke berorientasi pengentasan bangsa luar-dalam (nasionalism), dan di sisi lain mengusung visi kemanusiaan (humanism). Dengan demikian, pena Minke berhadapan dengan ketimpangan hukum kolonial dan tatanan hirarkis kaum feodal.

Nasionalisme Bertumbuh

Apa yang dilakukan Minke mengalami proses inkubasi dan pergulatan tiada henti. Tak sebatas pendidikan formal. Ia menambah pengetahuan melalui pengajaran informal lewat interaksi aktif dengan “anak semua bangsa”. Siapa pun bisa ia anggap guru, bukan hanya kalangan Eropa. Mulai Panji Darman anak angkat pendeta, Tronodongso petani penolak kebun tebu, Khouw Ah Soe dan Ang San Mei, sinkeh pelarian; Prinses, gadis Maluku, Piah pembantu rumah tangga, para petani Banten, dan seterusnya.

Dari pergaulan itu ia mendidik dan dididik. Ia belajar dari tiap sosok yang ia apresiasi; mengambil intisari cerita mereka tentang Aceh, Filipina, Eropa, Cina atau Jepang. Sembari itu ia menggambleng orang untuk sadar keadaan bangsanya melalui tulisan dan persyarikatan.

Dalam menulis, mulanya Minke mendapat dukungan penuh dan simpati dari para guru, kawan dan direktur sekolahnya. Sebagai penulis pemula, ia masih mendapat sambutan eforia sebagai anak HBS berbakat. Namun ingat, setiap penulis yang mematangkan dirinya dengan ideologi keberpihakan dan keadilan, niscaya akan mengalami keterasingan dari tepuk-sorai orang banyak. Bahkan keterasingan dari komunitas sendiri yang tak steril dari relasi kapital dan kekuasaan. Dalam konteks sekarang bisa saja disebut pumpunan oligarki.

Inilah yang kemudian dialami Minke. Ia bertengkar dengan Jean Marais karena sejauh itu ia bersikukuh menulis dalam bahasa Belanda, bukan bahasa Melayu sebagaimana disarankan Jean. Ia pilih bahasa Belanda dengan sasaran ideologis tertentu. Barulah seiring kesadaran nasionalismenya, ia mulai memilih bahasa Melayu. Hal itu yang membuatnya saya kira menjadi tokoh manusiawi; dan justru dari sinilah kita bisa melihat proses bertumbuhnya nasionalisme dalam seorang anak-jati, bukan sebagai sim-salabim.

Dalam Anak Semua Bangsa, Minke bertengkar, jika bukan berseberangan, dengan Maarten Nijman. Nijman merupakan Kepala Redaksi surat kabar S.N. v/d D, di ruang mana karangan awal Minke dimuat.  Apa sebab? Ternyata koran tersebut terhubung dengan pabrik gula Tulangan yang dikritik Minke. Nijman menolak tulisannya dan membela sistem pabrik. Minke marah besar dan merobek-robek hasil “turba” di Tulangan.

Di kemudian hari ia bisa menghadapi perlakuan sejenis dengan lebih tenang. Ia jadi matang dan bisa bersikap diplomatis. Termasuk saat berhadapan dengan Tuan Pangemanann yang menangkapnya dalam Jejak Langkah. Ia bertanggung jawab atas surat kabar Medan yang menyerang Gubernur Jenderal Idenburg.

Ini lagi-lagi menunjukkan bahwa nasionalisme terbentuk melalui proses panjang. Menyakitkan memang, penuh pengorbanan. Sebagaimana disebut Tan Malaka,”Terbentur, terbentur, terbentuk.” Bukan sekali jadi. Atau yang dialami Muhammad Yamin, di mana awalnya ia menyebut “Sumatera tanah air beta” dalam sandjak-nya. Lalu bermetamorfosa jadi “Indonesia tumpah darahku” ketika nasionalisme bertumbuh dalam dirinya.

Sekecil apa pun, upaya pembelajaran merupakan keniscayaan bagi tumbuh-kembangnya kualitas nasionalisme seseorang atau sekelompok orang. Betapa pentingnya proses tersebut dapat dilihat dari tokoh utama novel Rasa Merdika yang terbit tahun 1924. Menurut Chambert-Loir, sebagaimana dirujuk Ben Anderson, tokoh utama novel itu sama sekali tak mengerti apa arti kata ‘sosialisme’, toh ia merasakan kelesuan luar biasa dalam kenyataan organisasi sosial yang melingkupinya dan ia merasa butuh memperluas cakrawalanya melalui dua metode: bepergian dan membaca (Anderson, 1999: 43).

Narasi di atas bisa analog dengan situasi Hindia-Belanda awal abad ke-20, di mana moncernya politik liberal dan gencarnya modernisasi, membuat orang mengetahui watak asli kolonial. Namun baru pada tahap tahu dan merasakan. Dalam istilah Edward Said (2001: 153), semua itu baru menjadi “ide-ide yang telah diterima (idees recues)”, namun belum ada yang fasih mengartikulasikannya. Kaum terdidik lalu tampil mengartikulasikannya dengan menulis di surat kabar, sehingga gagasan tentang politik etis misalnya, tersemaikan.

Dalam situasi itulah, metode bepergian dan membaca dapat dipandang sebagai proses signifikan memperluas cakrawala pengetahuan. Dari situ gagasan-gagasan dipropagandakan dan disemaikan secara anonim. Lantas diulangi tanpa penisbatan dan kembali menjadi “ide-ide yang diterima” dengan tambah bernas dan matang; dieksplorasi lagi secara transformatif. Begitulah waham nasionalisme bertumbuh dalam siklus kontinuitas ala Edward Said.

Karena itu, ide-ide terbuka pada era kita kini mesti direspon. Bukan dengan mendengungkannya ala buzzer, alih-alih membuat idenya kabur. Tapi perlu inisiatif pihak terdidik menautkan dan mengartikulasikannya dengan baik. Niscaya itu bisa menjadi modal sosial menghadapi soal-soal aktual. Contohnya Muktamar Pemikiran Buya Syafii Maarif yang diselenggarakan Maarif Institut di Solo, November 2022 lalu.

Pembicara Prof. Dr. M. Amin Abdullah menyatakan takjub pada wilayah Indonesia. Bayangkan, jarak Sabang-Merauke 8.514 km. Bandingkan dengan jarak London-Ankara (3.485 km) dan Madrid-Moskowa (3.444 km). Atau London-Makkah (6.201 km) dan Kairo-Johannesburg (Afrika Utara-Selatan) 8.350 km. Ia menyarankan perlu pertukaran (residensi) antar komunitas, misalnya masyarakat Jombang ke Tarutung atau sebaliknya. Harapannya, Islam-Kristen, Jawa-Batak, berinteraksi langsung serta bersinergi membaca situasi.

Menurut hemat saya, ketakjuban dan ajakan Amin Abdullah ini bisa diletakkan dalam kerangka bepergian dan membaca di atas tadi. Sebuah cara paling sederhana menjaga dan menumbuhkan kualitas nasionalisme kita.

Nasionalisme bertumbuh, inilah agaknya hal menarik untuk dicermati dari dunia Minke. Segala pembelajaran ia jalani dengan tekun dan tabah demi kualitas pribadinya sebagai anak bangsa yang beradab. Tak seorang pun serta-merta berada di puncak purna memahami “bumi manusia dengan segala persoalannya”. Itu semua diperoleh melalui tahapan pembelajaran, sikap siaga seorang terdidik merespon lingkungan dan sejarahnya.

Sekilas seolah ada celah dari tiap tahapan yang membuka peluang seseorang untuk kompromistis. Tapi sebenarnya tidak. Sebab tahapan demi tahapan itu dibangun di atas landasan kemanusiaan dan kebangsaan sebagai prasyarat utama. Proses bukan untuk menggoyahkan pendirian, melainkan menguatkan capaian sebelumnya. Itulah yang amat baik ditunjukkan Pramoedya Ananta Toer melalui sosok dan dunia Minke.

Hanya dengan begitu nasionalisme menjadi organik, bukan dicekoki dari luar, ujug-ujug, musiman, apalagi mendekati fanatik buta. Kita butuh nasionalisme kritis, berdialektika, sebagai antitesis dari nasionalisme “harga mati”. Lewat cara ini sosok Minke tetap hidup, abadi, jauh ke luar fiksi. Meski kolonialisme dan feodalisme di masa lalu, kapitalisme dan fanatisme di masa kini, ingin terus memberengus sosok ideal semacam ini berkali-kali.