Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Demokrasi Pemilu di Indonesia Alami Kemunduran

Demokrasi Pemilu di Indonesia Alami Kemunduran



Berita Baru, Jakarta – Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES Wijayanto menjelaskan bahwa dari perspektif normatif tentang Pemilu maka itu artinya berbicara ihwal demokrasi. Pemilu adalah satu mekanisme demokrasi untuk memilih pemimpin. 

“Pemilu muncul dari dua pemikiran yang penting dalam ilmu politik yang bertentangan tapi coba didamaikan,” kata Wijayanto dalam diskusi publik bertajuk ‘Popularitas Partai di Sosial Media, Apa Kata Big Data’ yang digelae  Continuum Big Data dan LP3ES, Minggu (25/6) lalu.

Dua pemikirang yang dimaksud Wijayanto, pertama bahwa dalam demokrasi setiap warga negara berhak dalam proses pengambilan keputusan politik. 

“Namun di sisi lain dalam negara demokrasi seperti di masa Yunani atau Athena di mana warga negaranya hanya 5.000 itu tidak mungkin setiap warga negara terlibat dalam setiap pengambilan keputusan politik. Maka kemudian dibentuklah sistem Pemilu,” terangnya.

Oleh karenanya kemudian pemilu digunakan sebagai cara bagi warga negara untuk menunjukkan kedaulatannya dan mengambil keputusan politik memilih dan memandatkan kepada wakil rakyat atau pada  pemimpin.    

“Sayangnya, saat ini pemilu di Indonesia ditempatkan dalam konteks kemunduran demokrasi sebagaimana telah muncul banyak catatan tentang pemilu yang berlangsung dalam suasana yang hampir ditunda, dan hampir jadi 3 periode petahana presiden,” tuturnya.

Namun saat ini, Wijayanto melihat pemilu diiringi dengan cawe-cawe presiden yang aktif memberikan dukungannya kepada dua capres. Hal itu menimbulkan pertanyaan dan protes publik. 

“Padahal salah satu ciri dari pemilu yang demokratis adalah, kita tidak bisa tahu di awal siapa pemenangnya. Menjadi menurun kualitas demokrasi bila siapa pemenang telah diketahui lebih dulu,” katanya.

Pada kesempatan itu, Wijayanto juga memberikan opini terkait riset popularitas partai, tetapi ada satu hal penting, bahwa pemilu seharusnya membicarakan masalah-masalah yang dialami warga negara. Lalu dibicarakan juga apa solusinya. 

“Dari perbicangan riset Continuum yang ada nampaknya kita terjebak pada perbincangan tentang ‘pacuan kuda’. Kemudian tentang koalisi antar partai, jadi isunya elitis sekali,” katanya.

Menurut Wijayanto, dirinya belum melihat misalnya PDIP menjadi populer karena menawarkan program pajak progresif (progressive tax) di mana para orang kaya dikenakan pajak tinggi dan orang miskin akan mendapat subsidi negara, sebagaimana di Eropa. 

“Atau PDIP menjadi terkenal misalnya karena punya konsep terobosan untuk atasi climate change atau kerusakan lingkungan. Atau Nasdem menjadi terkenal karena punya konsep jitu bagaimana mengatasi lapangan kerja. Atau misalnya generasi Z dan milenial yang kini akan semakin sulit mendapatkan rumah tinggal yang layak,” katanya.

Bahkan, saat ini tidak mendengar itu semua dari partai-partai yang bersaing. Yang muncul hanya PKS Nasdem PDIP terkenal karena mendukung bacapres-bacapres Anies atau Ganjar Pranowo. Dengan demikian perbincangannya berkisar pada elit yang ada. Atau populer nya karena ada kasus korupsi pada menteri-menteri yang berasal dari partai. 

“Seharusnya mendekati pemilu 2204 yang sisa 7 bulan lagi, ada solusi atau konsep apa yang dapat didengar publik untuk berbagai macam masalah bangsa mulai dari HAM, Kemiskinan, lapangan pekerjaan, isu lingkungan dan isu isu pro publik lainnya,” ujarnya.

Sementara itu, dari sisi Empirik, partai-partai yang mendapat cocktail effect karena mendukung Anies Baswedan seperti Nasdem dan PKS, menjadi menarik karena rupanya partai Demokrat tidak banyak mendapat imbas dari cocktail effect. 

Faktornya tentu kira-kira karena Demokrat atau AHY tidak segera dideklarasikan sebagai cawapres, yang akhirnya terjadilah pertemuan AHY dan Puan Maharani. 

Dijelaskan, dari analisa google trend, memang antara PKS dan PDIP Gerindra Nasdem dan Demokrat, terlihat PIDP yang paling populer lalu disusul oleh Nasdem. Jadi data Continuum INDEF tidak terlalu berbeda. 

“Sementara PKS menyodok di tempat ketiga baru Gerindra dan Demokrat memang yang paling rendah. Maka dari itu dari sisi riil politik kita bisa mengerti kegalauan partai Demokrat,” pungkasnya.