Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Cuti Lebaran 2023 Dimajukan, Sekjen Opsi Ungkap Dampak Negatif Terhadap Pekerja

Cuti Lebaran 2023 Dimajukan, Sekjen Opsi Ungkap Dampak Negatif Terhadap Pekerja



Berita Baru, Jakarta – Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Sekjen Opsi), Timboel Siregar soroti keputusan pemerintah yang menambah jumlah hari libur Lebaran dan memajukan cuti bersama.

Diketahui, cuti bersama sesuai SKB 3 menteri dari tanggal 21 sampai tanggal 26 April, diubah oleh pemerintah berdasarkan rapat kabinet yaitu menjadi 7 hari yang dimulai 19 April hingga 25 April, dan pada 26 April sudah mulai masuk kerja.

Cuti bersama tersebut dimajukan dengan alasan untuk menghindari terjadinya penumpukan mudik yang luar biasa. Dengan keputusan baru itu, para pekerja memiliki 4 hari waktu mudik, yaitu mulai dari tanggal 18 sore, 19, 20 dan 21 April. 

Timboel Siregar menilai penambahan dan pergeseran maju cuti bersama ini memiliki dampak terhadap pekerja. Pertama, berdampak terhadap pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) bagi pekerja.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (4) Permenaker no. 6 tahun 2016 tentang THT mengamanatkan THR wajib dibayarkan paling lambat 7 hari sebelum Hari Raya (H-7). Dengan kebijakan baru itu, tahun ini H-7 tepat pada tanggal 15 April yang jatuh pada hari sabtu. 

“Dengan memajukan cuti bersama mulai tanggal 19 April maka kesempatan pekerja melaporkan pelanggaran pembayaran THR menjadi lebih sempit yaitu hanya dua hari (tanggal 17 dan 18 April)” kata Timboel Siregar dalam keterangnya, Senin (27/3).

“Tanggal 16 April adalah hari minggu, hari libur bagi sebagian besar perusahaan dan aparat Pemerintah. Mulai 19 April perusahaan sudah tutup karena cuti bersama sehingga pihak Pengawas atau Posko THR tidak bisa melakukan penegakan hukum,” sambungnya.

Oleh sebab itu, waktu yang sempit dalam proses pelaporan pelanggaran pembayaran THR ini dan respon dari Pemerintah (Pengawas Ketenagakerjaan atau Posko THR) atas pelanggaran tersebut, akan lebih mempersulit pekerja untuk memperoleh THR sebelum Hari Raya Idul Fitri. 

Kedua, dengan dimajukannya cuti bersama tanggal 19 April berarti semakin banyak cuti tahunan bagi pekerja yang dipotong karena cuti bersama. Pada hakekatnya penentuan cuti tahunan itu ada pada pekerja berdasarkan kebutuhan. 

“Saya nilai seharusnya Pemerintah memberikan kebijakan atas keputusan memajukan cuti bersama ini yaitu menetapkan H-14 sebagai batas akhir pemberian THR kepada pekerja, agar ada proses pelaporan oleh pekerja yang tidak dibayarkan THRnya, demikian juga pengawas dan Posko THR akan memiliki waktu yang cukup untuk melakukan penegakkan hukum,” terang Timboel Siregar.

Ia melihat, selama ini seringkali ada beberapa modus pengusaha terkait pembayaran THR, yang biasa dilakukan menjelang bulan puasa dan Idul Fitri. Mulai dari melakukan PHK pekerja sebulan sebelum pembayaran THR, membayar THR hanya sebagian, tidak membayar THR sama sekali, membayar secara mencicil dan atau menggantikan dengan bahan makanan serta membayar THR setelah Idul Fitri, dsb.

“Praktek-praktek tersebut harus bisa ditangani oleh Pengawas Ketenagakerjaan sehingga hak pekerja atas THR bisa diperoleh sebelum Hari Raya Idul Fitri,” tegasnya.

Demikian juga dengan ditambahnya cuti bersama, lanjut Timboel Siregar, seharusnya penambahan cuti bersama tersebut tidak memotong hak cuti tahunan pekerja swasta. 

Ia mengaku, sejauh ini ada perbedaan perlakuan antara karyawan di lingkungan Pemerintah dan swasta. Kalau karyawan Pemerintah maka cuti bersama tidak memotong cuti tahunannya, sementara untuk pekerja swasta cuti bersama memotong cuti tahunannya. 

“Pemerintah seharusnya menjamin perlakuan yang sama untuk seluruh pekerja, baik di Pemerintahan maupun swasta,” tuturnya.

Oleh karena itu, Timboel Siregar berharap Pemerintah cq. Kementerian Ketenagakerjaan dan Dinas-dinas Tenaga Kerja seluruh Indonesia serius menangani masalah THR tahun ini, yang memang menjadi hak normatif pada pekerja. 

“Selama ini persoalan THR kerap kali gagal diselesaikan karena lemahnya pengawas ketenagakerjaan. Pelanggaran THR harusnya menjadi ranah pengawas ketenagakerjaan, bukan menjadi perselisihan hubungan industrial yang bisa berperkara tahunan sampai Mahkamah Agung,” pungkasnya.