Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate usai pertemuan dengan Dewan Pers dan Task Force Media Sustainability di Kantor Kementerian Kominfo, Jakarta Pusat, Senin (21/3). (Foto: AYH)
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate usai pertemuan dengan Dewan Pers dan Task Force Media Sustainability di Kantor Kementerian Kominfo, Jakarta Pusat, Senin (21/3). (Foto: AYH)

Bertemu Dewan Pers, Menkominfo Bahas Draf Aturan Publisher Right



Berita Baru, Jakarta – Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate hari ini bertemu dengan perwakilan anggota Dewan Pers dan Task Force Media Sustainability di Ruang Menteri Lantai 7 Kementerian Kominfo, Jakarta Pusat, Senin (21/3).

Dalam keterangannya disebut, pertemuan tersebut untuk menindaklanjuti arahan Presiden Joko Widodo dalam puncak acara Peringatan Hari Pers Nasional 9 Februari 2022 lalu, yang memberikan dukungan atas perumusan regulasi hak penerbit atau publisher rights.  

Materi Johnny G. Plate mengajak semua pihak untuk meningkatkan kerja sama penyiapan regulasi hak penerbit untuk menghadirkan konvergensi industri media di Indonesia. “Publisher rights bukan untuk mengatasi dominasi di saat munculnya new comer over the top,” ungkapnya usai pertemuan.

“Tapi untuk membangun satu konvergensi industri media untuk menjaga agar lapangan usaha lebih berimbang, agar bisa hidup bersama-sama, yang saling memperkuat antara konvensional media dengan new comer over the top,” sambung Johnny G. Plate.

Menurut Menteri Johnny, Dewan Pers dan konstituen telah bekerja sama dengan Universitas Padjadjaran untuk menyusun naskah akademik berkaitan dengan regulasi hak penerbit. Menkominfo menyatakan naskah akademik tersebut ditargetkan rampung dalam dua minggu ke depan.

“Dalam rapat bersama Dewan Pers dan konstituen Dewan Pers, masih ada beberapa hal yang harus perlu disempurnakan. Mudah-mudahan dalam dua minggu kedepan kita bisa menyelesaikan naskah akademiknya,” ujarnya.

Dari naskah akademik tersebut, Menteri Johnny menyatakan akan mengusulkan langsung kepada Presiden Joko Widodo untuk meminta hak inisiatif mengusulkan payung hukum berkaitan dengan publisher rights yang relevan.

“Termasuk pilihan payung hukumnya yang paling relevan dengan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Karena yang terkait dengan publisher rights dan digital tersebar di banyak undang-undang,” jelasnya.

Menkominfo menjelaskan salah satu alternatif pengaturan hak penerbit dengan mengaitkan pada  payung hukum yang sudah ada. Menteri Johnny menyebutkan beberapa regulasi yang sudah ada antara lain Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, maupun Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

“Jika pilihan dalam bentuk undang-undang, tentu akan berkoordinasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Apakah undang-undang baru atau revisi terhadap berbagai undang-undang? Untuk sementara ini, pilihan teknis yang paling mungkin adalah dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden, ini yang sedang kita exercise draft perundang-undangannya dalam bentuk dua payung ini,” jelasnya.

Mengenai target implementasi payung hukum publisher rights, Menteri Johnny menegaskan hal itu akan bergantung pada pilihan yang diusulkan.

“Apakah dalam bentuk undang-undang atau peraturan turunannya. Sehingga nanti kita akan lihat payung hukum mana yang bisa kita selesaikan dengan cepat. Namun itu juga yang diimplementasikan dan mempunyai landasan hukum yang kuat,” jelasnya.

Sementara itu, Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Internasional Dewan Pers, Agus Sudibyo menjelaskan, implementasi payung hukum publisher right tidak hanya menjadi kebutuhan di Indonesia.

Kebutuhan itu, tegas Agus Sudibyo, telah menjadi fenomena global baik di Eropa, Australia, Kanada dan beberapa negara lain yang mengadopsi publisher right dalam konteks nasional.

“Jadi regulasi ini bukan regulasi yang menegaskan sikap anti-platform (digital), bukan sikap menutup diri dari transformasi digital. Tetapi untuk menciptakan sistem media yang seimbang dan setara,” tandasnya.

Menurut Agus Sudibyo, jika ada kolaborasi antara media publisher dengan platform digital maka sejauh mungkin kolaborasi saling menguntungkan dan saling menghidupi.

“Yang lebih penting lagi adalah bagaimana kolaborasi ini berkontribusi besar terhadap upaya untuk membangun good journalism, good content dan ruang publik yang beradab. Selama ini ada problem di situ, di mana soal liability tanggung jawab platform ada beberapa pertanyaan, sekarang dengan regulasi ini coba diatur,” jelasnya.

Melalui kolaborasi tersebut, Agus Sudibyo menjelaskan tentang kesetaraan perlakuan kepada industri media dan platform digital. Menurutnya, ketika industri media massa ketika membuat kesalahan dalam pemberitaan maupun konten, maka ada undang-undang yang mengatur seperti Undang-Undang Pers dan Undang-Undang Penyiaran.

“Jadi intinya media massa bertanggung jawab atas konten yang mereka sebarkan. Kami juga ingin platform global juga bertanggung jawab atas konten yang turut mereka sebarkan, meskipun itu bukan mereka yang membuat konten. Jadi similarity equality antara publisher dan platform ini yang ditekankan dalam undang-undang ini,” ujarnya.

Agus Sudibyo juga menegaskan semangat implementasi publisher right ditujukan untuk menciptakan iklim usaha yang setara dan kondusif.

“Serta tanggung jawab yang setara dan juga kemudian bagaimana kedua belah pihak dalam kolaborasinya sama-sama berkontribusi terhadap good journalism, terhadap ruang publik yang beradab dan beretika tentu dalam konteks Indonesia ruang publik yang sesuai dengan nilai-nilai NKRI, Pancasila, dan lain-lain,” pungkasnya.