Bercinta di Atas Kota | Cerpen: Dealova Nyala Safitri
Jika malam, kota akhir-akhir ini sangat lengang. Jalanan tidak banyak kendaraan. Asap knalpot jadi lebih berkurang. Di mana-mana ada pembatasan. Lampu untuk penerangan jalan, dimatikan. Yang menyala hanya lampu-lampu dari pemilik toko atau rumah-rumah penduduk.
Jenny melihat pemandangan itu dari balik jendela, di dalam kamar hotel lantai tiga. Dinyalakannya sebatang rokok dan kemudian mengisapnya pelan-pelan. Ia selalu suka kamar hotel yang membiarkan orang-orang merokok.
Ia menatap remang-remang kota sambil membayangkan suatu hari apa yang terjadi jika kemudian wabah yang melanda kota ini semakin menjadi-jadi. Semua orang bertahan hidup dengan kecemasan yang berlebihan.
Orang-orang miskin cemas karena tidak punya lahan pekerjaan. Semuanya dibatasi oleh pemerintah. Mereka disuruh berdiam di rumah tanpa ada bantuan apa pun. Mereka cemas karena esok hari tidak punya makanan lagi. Orang-orang kaya cemas karena bisnisnya mungkin akan bangkrut. Mereka juga cemas karena tempatnya tidak lagi aman. Mereka selalu membayangkan kalau suatu hari akan ada kericuhan, perampasan harta, yang dilakukan oleh orang-orang miskin.
Kota itu akhirnya menjadi pusat kericuhan. Manusia sudah mirip anai-anai yang bertebaran, bertabrakan, bercampur dalam kasak-kusuk yang tak pernah terselesaikan.
“Sayang, iniku tegang lagi.” Kata seorang lelaki yang usianya sekitar tiga puluh lima tahunan, yang sekarang duduk di atas kasur. Ia berbicara seperti anak kecil yang sedang manja. Ia bilang ‘iniku’ sambil menatap kemaluannya yang mulai berdiri lagi.
Lamunan Jenny pecah.
“Waktu kita sudah habis, Om.” Balas Jenny sambil tak peduli. Ia masih mengisap rokoknya dan menatap jalan raya. Sesekali ia mengembuskan asap rokok itu kuat-kuat, seperti juga mengembuskan masalah besar yang ditanggungnya.
“Ayolah, Sayang. Sebentar saja.”
Jenny bergeming.
Lelaki itu duduk di kasur. Ia tahu betul Jenny orangnya profesional. Ia tadi hanya membayar dua juta, yang artinya cuma untuk dua jam. Tarif segitu sudah tergolong mahal kalau untuk ukuran orang biasa. Maksudnya, Jenny bukanlah artis, seleb, dan lain sebagainya. Apalagi ia juga masih mahasiswa.
Lelaki itu sadar dengan peraturan Jenny dan sekarang ia tidak bisa memaksanya begitu saja.
“Waktunya sudah habis, Om. Ini aku masih di sini cuma untuk menghabiskan rokok.” Dan menikmati pemandangan kota yang tampak suram. Kalau sudah begini, Jenny benar-benar seperti putri. Ia makin tampak menarik. Tatapan matanya juga makin teduh. Siapa pun, yakin siapa pun, akan takluk dengan tatapan mata itu.
“Ya, kecuali Om mau bayar lebih, aku siap.” Jenny mengusik. Melirik. “Gimana, Om?”
Laki-laki itu melemparkan tubuhnya kembali ke kasur. Burungnya mencuat ke atas. Suatu pemandangan yang biasa Jenny temukan. Laki-laki memang selalu seperti itu.
“Jangan panggil aku Om lagi dong, Sayang.” Rengeknya, lalu sambil menyetujui penawaran Jenny. Ia membayarnya untuk satu jam lagi.
“Aku masih ingin sama kamu.” Sungguh, di hadapan perempuan, laki-laki selalu tampak seperti bocah, minta nenen, minta dipeluk, minta dimanja.
Jenny tersenyum simpul. Jahat. Tapi juga manis.
***
Jenny melucuti kembali pakaiannya. Satu per satu. Baju ia tanggalkan, hingga yang terlihat bra berwarna abu-abu. Celana jeans ia copot lagi, hingga yang tersisa hanya celana dalam. Ya, ia suka memakai celana jeans. Ia punya alasan tersendiri. Ia tidak ingin terlihat menor kalau sedang di berada di luar pekerjaannya.
Dari situ tubuh sexy-nya kelihatan jelas. Ia menunjukkan kelasnya sebagai pelacur. Tatapannya yang, aduh, siapa pun yang melihatnya akan terpikat itu, kembali menusuk laki-laki yang tergolek di kasur tadi.
“Kamu makin cantik, Sayang.” Ucap si laki-laki.
“Tentu saja.” Jenny melangkah ke arah kasur. Ia menatap lelaki itu dalam-dalam. “Menurutmu, apa yang menyebabkan aku cantik?”
“Semuanya. Semuanya. Ya, semuanya.”
“Hmmm? Kamu gugup?”
“Maksudku, ya, semuanya. Apalagi tatapanmu ini.”
Jenny tersenyum simpul. Terlihat jahat. Tapi manis. “Terima kasih, Mas Vino.”
“Nah, gitu dong, Cantik. Tidak perlu panggil Om lagi.” Lelaki itu, ya lelaki yang bernama Vino itu, mengembuskan napas. Ia menyadari setelah memberikan sejumlah uang, Jenny tidak memanggilnya Om lagi. Ia tidak jengkel. Ia malah gemes.
Sungguh tidak bisa dipercaya, Vino bisa diperdaya perempuan yang usianya baru menginjak dua puluh dua tahun itu. Tapi memang, walaupun usianya segitu, Jenny tampak begitu dewasa, anggun, dan mengagumkan.
Jenny menaruh telapak tangannya di dada Vino, lalu ia juga merebahkan kepalanya di sana. Di dada bidang itu, Jenny tak pernah membayangkan itu adalah kekasihnya. Ia tidak mau membawa perasaannya ketika bekerja.
Pada malam itu, dua orang bergumul, bercinta di kamar hotel lantai tiga, bercinta di atas kota.
***
Vino melihat jam tangannya. “Sayang, waktu kita masih sisa lima puluh menit. Tapi aku sudah lelah.”
“Bahkan menggerakkan jari saja kamu sudah tidak mampu.” Jenny terbahak.
“Iya.” Vino juga terbahak, tapi terdengar lemas. Ia memeluk Jenny erat. Jenny membiarkan pelukan itu, ya karena waktunya belum habis. Ia tidak akan menolak ajakan siapa pun yang membayarnya sesuai harga.
“Dasar laki-laki. Selalu lebih kuat omongannya ketimbang kelaminnya.”
“Jenny, i love you.”
“Hmmm?”
“I love you.”
Jenny tahu ini cuma pekerjaannya. Mendengar rayuan sudah menjadi makanan sehari-hari. Ia tidak akan baper, sekalipun itu terdengar sangat-sangat romantis. Malahan, biasanya yang terbawa suasana adalah pihak laki-laki. Beberapa dari pelanggannya ingin menjadi suami bagi Jenny yang padahal dari mereka ada yang sudah beristri. Mulut laki-laki memang jarang bisa diandalkan.
“Jenny, i love you.”
“Jenny, i love you.”
Berkali-kali Vino mengucapkan itu, yang lambat laun cuma terdengar seperti bisikan. Ia benar-benar seperti bocah. Ia lupa jati dirinya. Ia lupa kalau di luar kamar hotel ini, lebih tepatnya ketika di kampus, ia adalah dosen yang dihormati mahasiswa-mahasiswinya.
“Harusnya aku membayarmu lebih ya biar bisa semalaman sama kamu.”
Jenny meringis, “Seharusnya targetku malah bukan kamu.”
“Kamu sadis.”
“Aku sadis saja masih banyak yang suka.”
“Tapi ya, itu sih yang menarik dari kamu.”
Vino memeluk lebih erat. “Harusnya aku membayarmu lebih. Biar kita tidak perlu check out malam ini.”
“Gaji dosen mana cukup membayarku lebih. Bisa-bisa nanti anak dan istrimu tidak makan.”
“Huss. Jangan bawa-bawa mereka.”
***
“Mau aku anter ke tempatmu?”
Tempat tinggal Jenny ada di kompleks perumahan.
“Tidak perlu.”
“Kenapa kamu selalu menolak kalau mau kuanter?”
“Baru dua kali, kan?”
Vino manggut-manggut. Ia baru dua kali ini bersama Jenny. Dan ia langsung merasa akrab dengannya. Sekaligus bangkrut.
“Ini jalanan gelap, kamu berani?”
“Kan bisa pesen kendaraan.”
“Itu justru yang kutakutkan. Kendaraan yang menjemputmu nanti berbuat jahat sama kamu.
“Nggak usah aneh-aneh.” Mata Jeny melotot, tajam, meski tetap manis dan seolah bisa menaklukkan otot-otot lelaki mana pun.
“Ya barangkali.”
“Santai aja. Nggak ada apa-apa, kok. Nanti kamu malah ketahuan mahasiswamu kalau kamu sedang kencan dengan perempuan lain.” Pungkas Jenny.
Vino terdiam sejenak. “Ya sudah, deh. Kapan-kapan lagi, ya.”
Mobil Vino berlalu. Kota masihlah gelap. Jenny menunggu kendaraan lain yang menjemputnya.
2021
Dealova Nyala Safitri, lahir dan besar di Yogyakarta. Sekarang sedang menekuni dunia kepenulisan sembari terus menyendiri dan mengasingkan diri dari kota yang kian hari kian berisik. Dalam beberapa tulisannya, ia biasa memakai nama Dealova saja. Tidak tergabung di komunitas menulis apa pun. Sekarang sedang berusaha merampungkan novelnya yang berjudul Sepasang Mata Pelacur (secara berkala diposting di aplikasi KBM) sambil mencari-cari penerbit mana yang mau menerbitkan buku itu. Email: dealovanyalasafitri@gmail.com