Anjing yang Menunjukkan Jalan Menuju Surga | Cerpen: Heru Sang Amurwabumi
Kafe Pandawa. Meskipun bernama kafe, sebenarnya ia lebih pantas disebut sebagai warung kopi. Letaknya berhadap-hadapan dengan Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya. Tempat duduknya mungkin hanya bisa menampung sekitar sepuluh orang. Atapnya yang terbuat dari fiber glass sudah koyak di beberapa sudut—menunjukkan sudah lama tidak direnovasi. Menu yang disediakan sangat terbatas, beberapa merk kopi sachet dan kentang goreng froozen saja. Dari tempat duduk paling pinggir di kafe ini aku bisa menatap jauh ke atas sana. Langit tampak kelabu, pertanda hujan yang sedang turun akan menyanderaku di tempat ini cukup lama.
Meskipun ada enam orang nongkrong di kafe ini—sebenarnya lebih tepat disebut sedang berteduh dari hujan—aku merasa sendirian. Barangkali hal yang sama juga dirasakan oleh mereka, tenggelam dalam ego perasaan masing-masing. Tak ada yang mengeluarkan suara, sebab memang tak ada yang perlu kami obrolkan dengan orang yang tidak saling mengenal. Di dekat tempatku duduk, seorang gadis terlihat sibuk dengan ponselnya. Dari jas almamater yang dipakai, jelas menunjukkan bahwa dia kuliah di sekolah kesenian yang ada di seberang jalan. Menariknya, tak ada satu pun lelaki di kafe ini yang menyalakan rokok. Memang sangat tidak sopan jika ada yang menghisap lintingan daun tembakau dalam ruang sempit, sementara ada beberapa perempuan ikut berteduh di sini.
Dari jalanan yang diguyur hujan deras, muncul seekor anjing—dari ukuran tubuh, sepertinya ia masih anak anjing—yang masuk ke kafe, lalu meringkuk di kaki meja, tepat di bawahku. Tak ada yang mengusirnya. Barangkali anjing itu berlari ke tempat ini hanya sekadar ingin berteduh seperti kami. Tentu sangat terkutuklah jika ada yang menghalaunya. Meskipun ia adalah anjing.
Di luar kafe, para pengendara roda dua tampak memakai jas hujan, sementara iring-iringan kendaraan roda empat berjalan merayap. Pertanda bahwa hujan turun sangat deras. Di antara hilir-mudik pengguna jalan, di luar kafe, tentu sebuah neraka bagi anjing kecil ini. Sebaliknya, di kolong meja kafe, aku melihat seolah-olah Tuhan sedang menciptakan surga baginya. Sebab itulah aku lantas mengambil sebuah wayang yang kusandarkan di kaki meja, demi tak mau mengusik kenyamanannya.
“Om, wayangnya keren.” Mendadak gadis di kursi seberangku menyeletuk. “Aku foto dan mengunggahnya ya.” Aku mengangguk dan tersenyum, sambil mengangkat wayang—agar berposisi sedemikian rupa—yang tadi aku jadikan alat peraga saat menjadi pengajar tamu di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya.
“Mainkan dong, Om,” seloroh satu orang lainnya.
Mendadak kafe ini berubah menjadi panggung pergelaran wayang. Aku memainkan wayang. Beberapa orang bertepuk tangan. Gadis di sampingku sibuk memotretku dengan kamera ponselnya, lalu meminta izin mengunggah lagi.
“Ini keren, Om. Banyak yang mengomentari story Whatsapp-ku. Ada yang bilang wayang ini adalah Puntadewa. Siapa dia?” tanya gadis itu.
Aku tersenyum, lalu menjawab, “Pernah mendengar nama Yudhistira?” Gadis itu mengangguk. “Nah, wayang ini memiliki nama Puntadewa, Samiaji, dan Yudhistira.” Kemudian aku melanjutkan kisah itu.
Bertahun-tahun setelah Barata Yudha berakhir dan Parikesit—cucu Arjuna, anak Abimanyu—naik takhta Hastina, seluruh Pandawa memutuskan akan meninggalkan hiruk-pikuk duniawi. Mereka sepakat akan memilih jalan moksa untuk menebus segala dosa yang pernah mereka lakukan pada perang saudara sesama wangsa Barata. Puncak Gunung Mahameru menjadi pilihan yang tepat untuk mencari jalan Tuhan. Konon, di sanalah tangga menuju surga berada.
Belantara Gunung Mahameru adalah rimba yang menyerupai kepala Hyang Batara Kala. Jurang-jurang yang menganga tak ubahnya seperti mulut Dewata penguasa waktu itu. Tebing-tebing yang berdiri menjulang, seperti taring-taring tajam. Sepanjang pendakian menuju puncaknya, Drupadi, Puntadewa, Wrekodhara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa berjalan tertatih-tatih dengan sisa tenaga mereka yang telah renta.
Setelah berjalan selama empat puluh hari empat puluh malam, Drupadi ambruk. Cuaca tak menentu di pedalaman rimba raya, membuat pertahanan tubuh perempuan dari Pancali itu jebol. Dia menolak dirawat suaminya, Puntadewa. Pun demikian dengan penawaran empat adik iparnya. Perempuan tua yang pernah ditelanjangi di Kadhaton Hastina oleh Kurawa itu kukuh dengan prinsipnya bahwa Pandawa harus melanjutkan perjalanan, meninggalkan dirinya agar bisa mencapai puncak Mahameru.
Di kaki Mahameru, suksma Drupadi melesat meninggalkan raga, sebelum mencapai surga di dataran tertinggi gunung itu.
Pendakian Pandawa berlanjut. Putra-putra Kunti dan Madrim menghadapi ujian yang kian berat.
Malam ke empat puluh satu, hujan disertai badai menghajar Gunung Mahameru. Kabut tebal membekap setiap jengkal rimba. Sadewa terperosok ke jurang sedalam lima ratus tombak. Tubuhnya yang ringkih meluncur ke bawah, hancur menimpa bebatuan di dasarnya. Pun demikian dengan Nakula yang nekad menyelamatkan dengan terjun menyusul: ikut berpulang bersama kembarannya.
Puncak Mahameru masih separuh perjalanan. Tekad Puntadewa, Arjuna, dan Wrekodhara belum meredup. Kadhaton Batara Indra ada di atas sana. Kadhaton yang dipercaya menjadi pintu gerbang menuju surga. Dengan sisa tenaga yang kian rapuh, mereka kembali merangkak, menapaki tebing demi tebing.
Nahas, Arjuna ambruk pula pada malam ke empat puluh lima. Segala kedigdayaan di masa muda pemilik panah Pasoepati itu seakan tak berarti lagi. Jauh sebelum menginjakkan kaki di gerbang kadhaton Batara Indra, suksma lelanange jagad itu menyusul kedua adiknya.
Wrekodhara sangat terpukul.
Dia tidak bisa menerima kematian Drupadi, Sadewa, Nakula, dan terakhir Arjuna. Menurut Wrekodhara, kematian mereka disebabkan kebencian semesta kepada keluarga Pandawa.
Dengan sisa-sisa tenaga tuanya, Wrekodhara menggunakan kekuatan Blabag Panganthol-anthol—ilmu berkekuatan gunung—untuk merobohkan pepohonan demi membalas rasa sakit hatinya. Batu-batu berukuran besar juga mencoba dihancurkan. Namun, kekuatannya hanyalah tinggal kekuatan manusia yang telah ringkih dimakan usia. Tubuh Wrekodhara justru terpelanting karena tidak mampu mengendalikan dahsyatnya ajian yang diterima dari roh Kumbakarna itu, hingga dia terperosok ke jurang pula.
Kini, yang tersisa hanya Puntadewa.
Ayah dari Pancawala itu nyaris putus asa. Tekad untuk mendaki ke puncak Mahameru dia urungkan. Pada sebatang pohon kemboja, dia sandarkan tubuhnya. Pupus sudah niatan untuk moksa bersama istri dan keempat adiknya.
Dalam keputus-asaan yang nyaris mengantarnya ke jalan bunuh diri, Puntadewa dikejutkan lolongan seekor anjing. Dia baru sadar, telah melupakan keberadaan binatang itu. Binatang yang menyertai perjalanan Drupadi dan Pandawa sejak dari Hastina hingga kini sampai di lereng Gunung Mahameru.
Anjing itu berlari-lari kecil menapaki tanjakan demi tanjakan. Sesekali ia berhenti, menoleh ke arah Puntadewa sambil mengibaskan ekornya, lalu berlari lagi.
Puntadewa beranjak dari pohon kemboja. Dia bisa menangkap bahasa tubuh anjing piaraannya. Niat untuk menyelesaikan pendakian menuju puncak Mahameru tumbuh kembali.
Anjing piaraan itu seolah memberinya pesan: meskipun Drupadi dan keempat adiknya telah mendahului pergi, Puntadewa harus tetap melanjutkan pendakian. Bersama anjing itulah, dia pupuskan duka di hatinya dengan melantunlangitkan mantra puja-puja kepada Hyang Jagad Nata.
Puntadewa terus mendaki, hingga malam ke delapan puluh, dia sampai di sebuah hamparan tegal yang luas. Di hadapannya, terbentang nyala yang terang benderang. Nyala api kebenaran. Nyala yang menerangi jalan pada malam itu. Sementara di kanan kiri jalan itu, tebing dan jurang tampak menganga dalam balutan kegelapan.
Dengan kilauan nyala api kebenaran itu pula, kini Puntadewa bisa membedakan dengan jelas: mana kegelapan, mana bayangan, dan mana jalan sejati.
Puntadewa terus berjalan, ditemani anjing setia yang tak pernah selangkah pun menjauh dari sisinya. Sampai dia tiba di pintu gerbang surga dan disambut Batara Indra yang mempersilakannya naik ke atas sebuah kereta kencana.
Akan tetapi, ketika Puntadewa hendak menggendong anjingnya, justru perkataan Batara Indra sungguh mengagetkannya. “Tidak ada tempat bagi anjing di surga!”
“Kalau begitu, tidak ada tempat pula untukku di surga. Aku tidak mungkin meninggalkan anjing yang telah setia menemaniku sejak dari Hastina hingga ke puncak Mahameru ini ketika jiwaku berada dalam titik terendah, Pukulun,” sanggah Puntadewa sambil turun dari kereta.
Bhatara Indra memuji jawaban Puntadewa. Bagi Dewata yang menguasai langit dan gunung itu, Puntadewa telah menunjukkan kasih sayang, kesetiaan, dan penghargaan kepada teman hidupnya. Meskipun hanya seekor anjing.
Bhatara Indra mempersilakan Puntadewa kembali naik ke kereta kencana. Kali ini, anjingnya diizinkan ikut. Begitu naik ke kereta, anjing itu lenyap.
“Ketahuilah, Kulup. Anjing itu sesungguhnya adalah penyamaran dari Batara Dharma.”
Puntadewa memasuki surga dengan dituntun Batara Indra. Namun, betapa terkejutnya lagi dia, manakala dilihatnya Sangkuni, Droyudana, dan para Kurawa sudah duduk ongkang-ongkang di sana.
“Ih… amazing, Om,” sela gadis itu.
“Kisah ini bernama Puntadewa Mokta ring Indra Bawana. Sebuah lakon carangan—lakon pengembangan—dari epos Mahabharata karya Vyasa oleh para pujangga Pangjalu dan Majapahit,” lanjutku.
“Spechless aku mendengarnya, Om.”
Baru kusadari, orang-orang yang berteduh di kafe ini seperti tersihir oleh ceritaku. Sesaat semuanya diam. Juga anjing kecil yang meringkuk di dekat kakiku. Aku ikut tenggelam dalam keheningan, seperti tak lagi mampu berucap apa-apa, hanya mencoba menerka—barangkali juga mereka yang sedang tersihir kisah yang kuceritakan—bahwa jangan-jangan anjing kecil ini adalah jelmaan Batara Dharma juga?
Hujan reda. Satu demi satu orang-orang meninggalkan kafe. Yang tersisa hanya aku dan gadis kecil itu.
“Cerita wayangnya asyik, Om. Makasih.”
Aku mengangguk.
“Semoga kita bisa bertemu lagi, Om,” lanjutnya.
Aku tersenyum.
“Oh, iya, izin mengunggah lagi foto-foto tadi. Om mirip Puntadewa, deh,” pungkasnya sambil melambaikan tangan.
Kafe Pandawa tinggal menyisakan kesendirianku.
“Ah, kenapa aku lupa tidak menanyakan namamu, anak manis? Semoga saja namamu bukan Drupadi, gadis yang rela mengorbankan segala miliknya untuk Pandawa,” gumamku setelah membayar secangkir kopi hitam, lantas berjalan menyusuri trotoar di depan sekolah kesenian itu. (*)
Catatan:
Kulup (bahasa Jawa kuno) = Nak, anak.
Pukulun (bahasa Jawa kuno) = Yang Mulia; panggilan kepada dewa atau raja.
Heru Sang Amurwabumi, tulisan-tulisannya termuat di media massa dan memenangi beberapa sayembara menulis tingkat nasional, di antaranya platform Indonesiana-Kemendikbud RI 2019, Kemenparekraf RI 2020, dan Ditjen. PAI Kemenag RI 2020. Bergiat sastra di Sanggar Caraka, One Day One Post, Kopling, dan A3 Community. Pernah menjadi anggota redaksi Harian Umum BERNAS. Cerpennya, “Mahapralaya Bubat”, mengantarnya terpilih sebagai penulis emerging Indonesia di Ubud Writers & Readers Festival 2019.