Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Pemahat Nisan Bongpay | Cerpen: Heru Sang Amurwabumi
Ilustrasi: Thunderbird

Pemahat Nisan Bongpay | Cerpen: Heru Sang Amurwabumi



Menginjak usia empat puluh tahun, laki-laki pemahat nisan bongpay itu masih hidup membujang. Dia tinggal di rumah peninggalan orang tuanya di kawasan Pecinan. Hampir seisi rumahnya dipenuhi tumpukan bongkah-bongkah batu marmer. Sejak belia, dia sudah berkecimpung dengan pekerjaan memahat nama-nama orang yang berpulang. Bertahun-tahun lalu, ketika kematian A Pa dan A Bu-nya tiba, dia juga yang mengukir nisan bongpay mereka. Konon, dia satu-satunya orang Tionghoa yang masih mewarisi keahlian itu di kotanya.

Seminggu menjelang Cheng Beng, tengah malam, ketika kesadaran belum sepenuhnya kembali, pemahat nisan bongpay itu bertanya: Siapakah yang akan meninggal, sehingga batu nisannya harus dipahat jauh hari sebelum kematiannya tiba?

Pertanyaan itu terbesit manakala dia mengangkat sebongkah batu marmer. Baru kali ini dia mendapat pesanan memahat nisan ketika kematian seseorang belum datang. Lazimnya, pesanan nisan akan dia terima ketika orang yang akan dipahat namanya benar-benar sudah berpulang. Namun, kali ini tidak demikian. Seorang lelaki bertamu ke rumahnya tengah malam, lalu memesan batu nisan dengan ukiran paling rumit, ditambah sebuah permintaan khusus—pahat tanggal dan hari kematiannya juga, meskipun saat ini pemilik nama di batu nisan itu masih hidup.

Sebelumnya, pemahat nisan bongpay itu gelagapan terbangun dari tidur sebab pintu rumahnya diketuk berkali-kali. Setengah sadar, ketika membuka pintu, seorang lelaki telah berdiri di depan sana.

“Aku ingin dalam tiga hari, pekerjaan ini sudah selesai!” pinta tamunya.

Pemahat nisan bongbay itu heran. Untuk pertama kali, ada pesanan memahat batu nisan dengan permintaan aneh.

“Pesananmu terlalu berat untuk aku sanggupi.”

Hampir saja dia menolak pesanan itu. Namun, tiba-tiba terlintas ucapan mendiang A Pa-nya yang dulu mewariskan keahlian memahat nisan bongpay kepadanya, “Jangan pernah menolak permintaan memahat nisan bongpay, selama napasmu masih ada, tanganmu masih mampu memegang pahat dan memukulkan palu. Di kota ini, orang hanya tahu bahwa tak ada yang sanggup memahat nisan bongpay selain kita, Anakku.”

A Pa-nya sudah meninggal ketika dia masih berumur sepuluh tahun. Hanya pekerjaan pemahat nisan bongpay yang diwariskan kepadanya. Ditambah sepetak toko kelontong di pasar kota yang beberapa tahun ini semakin mengenaskan hasilnya sebab tergerus toko-toko dari pasar dunia maya. Sesekali dia juga menjadi penggali kubur, jika ada salah satu tukang gali kubur di perkumpulan kematian orang-orang Tionghoa sedang berhalangan.

Pemahat nisan bongpay itu sudah tak ingat persis, kapan terakhir dia bermanja-manja kepada A Bu-nya. Dia masih ingusan ketika dengan derai air mata, A Pa-nya memahat sendiri nisan untuk A Bu-nya. Sejak itu A Pa-nya seperti putus asa, lalu menyuruhnya menggantikan memahat jika ada pesanan batu nisan.

Sekarang, lelaki Tionghoa sebatang kara itu benar-benar telah menjadi seperti A Pa-nya, seorang pemahat nisan bongpay. Hingga usianya sudah di ambang senja, dia belum juga menikah.

Ada sesuatu yang menjadikan alasan dia ketika banyak orang bertanya: Kenapa tak kunjung mencari pasangan hidup?

Bukannya dia tak ingin menikah. Setiap keinginan itu muncul, bayangan kematian A Bu-nya terasa hadir kembali. Bayangan itu kemudian berputar-putar, berganti bayangan lain. Bayangan tangis A Pa-nya ketika harus memahat sendiri nisan untuk A Bu-nya. Tiga tahun kemudian, dia yang baru menginjak remaja justru ganti memahat untuk A Pa-nya. Itu sebabnya dia tak sanggup melakukannya lagi, memahat nama orang-orang terkasih pada sebuah batu nisan.

Lelaki yang memesan nisan itu datang tengah malam. Matanya sipit. Kulitnya bersih. Ciri yang menandakan bahwa tamu itu adalah orang Tionghoa lekat sekali padanya.

Sengaja dia menyiapkan nisan bongpay untuk orang yang telah menjadikan keluarganya menderita. Seseorang yang menjadi pengkhianat etnisnya. Baginya, hutang harta boleh ditawar melunasinya, tetapi hutang nyawa harus dibayar impas dengan nyawa.

“Akulah yang menentukan hari kematian itu. Tiga hari lagi aku akan membawa nisan bongpay berpahat namanya. Jadi, jangan sampai kau menyelesaikannya lebih dari waktu yang aku minta!” tegas lelaki pemesan nisan itu.

Pemahat nisan bongpay itu memalingkan muka. Bau arak China yang keluar dari mulut tamunya menebarkan aroma dendam dan kebencian. Itu sebabnya dia tidak suka, lalu nyaris menolak pesanan.

“Janganlah kau ikut-ikutan menjadi pengkhianat sesama orang Tionghoa!” lanjut tamunya.

Pemahat nisan bongpay itu hanya tersenyum. Sindiran dari orang yang sedang dikuasai pengaruh alkohol tak perlu dimasukkan hati, anggapnya.

“Aku melihat lelaki Tionghoa itu menyusup ke tengah massa demonstran, lalu menunjuk lapak berjualan keluargaku!” Dengan napas memburu, tamu itu mendengus. “Dalam hitungan detik, puluhan orang-orang yang tak kenal belas kasihan bukan saja menjarah barang-barang, tetapi juga menginjak-injak kehormatan Cece-ku! Penuh kebencian, mereka meluapkan caci maki dalam wujud syahwat binatang!” Dia berhenti sejenak, aroma alkohol bergantian dengan bau amis dendam dan amarah. “Tengah malam setelah peristiwa kelam itu, Cece-ku memutuskan mengakhiri kesedihannya pada secangkir racun serangga. Tak sanggup dia menanggung aib digagahi empat penjarah!” 

Pemahat nisan bongpay itu mendadak merasakan bahwa ucapan tamunya telah menyulut api kemarahan di dadanya. Luka lama yang sebenarnya sudah dia pendam dalam-dalam, kini menganga kembali begitu lebar. Bayangan kematian A Pa-nya berlintasan di benaknya.

“Pengkhianat Tionghoa itu boleh puas melihat kematian Cece-ku, tetapi setelah ini dia sendiri yang akan menemui hari kematiannya!” otot rahang lelaki itu mengencang, “aku sendiri yang akan menghabisinya!” Mulutnya belum juga berhenti mengucapkan sumpah serapah.

“Pahatkan sebuah nisan untuk orang yang telah menyebabkan penderitaan Cece-ku!” pungkasnya.

Di bawah sorot bola lampu penerangan teras rumah yang redup, wajah lelaki itu tampak kian memerah. Sorot matanya lebih tajam dari tatapan ketika awal kedatangannya. Jelas sekali sedang mengisyaratkan kemarahan yang meletup-meletup.

***

Pemahat nisan bongpay itu masih ingat ketika diajak melarikan diri ke pedalaman Gunung Pandan oleh A Pa-nya, satu minggu setelah kedatangan orang-orang dari barat yang mengaku sebagai gerilyawan sedang kehabisan bekal perang di kotanya.

Dia juga ingat bagaimana A Pa-nya, berpuluh-puluh tahun lalu, dibiarkan kaku beberapa hari, sampai-sampai cairan tubuhnya sudah mengalir dari kelopak mata dan sela-sela bibir. Lalat mengerubung, tapi tak ada warga yang berani mendekat. Tak ada yang sudi menguburkan+ baik-baik dengan doa ala kadarnya, walau hanya satu kalimat. Berhari-hari pula, hutan Gunung Pandan menyimpan jasad A Pa-nya yang telah membusuk bersama ratusan jasad lelaki Tionghoa lain.

Kebencian yang sesat telah menjadikan jasad-jasad itu serupa bangkai binatang di hutan Gunung Pandan. Padahal ratusan jasad yang terbujur itu bukanlah atheis. Leluhur mereka mengajari bagaimana menyembah Dewa-Dewa—Tuhan mereka yang tinggal di klenteng dan kuil-kuil. Leluhur mereka pernah bertaruh nyawa demi mempertahankan sejengkal tanah ini dari penindasan bangsa-bangsa Eropa. Namun, di mata orang-orang yang telah merampas takdir jalan kematian dari tangan malaikat, jasad mereka tak dimakamkan semestinya, hanya karena mereka dianggap mata-mata kolonial dan Tiongkok.

Beberapa waktu sebelum dia diajak A Pa-nya melarikan diri, tak ada yang menduga bahwa peristiwa berdarah akan mewarnai cerita sejarah negeri ini. Sekelompok orang bersenjata tak dikenal singgah di kota-kota kecil sekitar Gunung Pandan. Sebagian dari mereka termakan isu bahwa terjadi spionase terhadap gerilyawan yang melibatkan orang-orang Tionghoa. Tuduhan itu kian santer ketika dihubung-hubungkan dengan revolusi Dr. Sun Yat Sen di Tiongkok bahwa negeri Tirai Bambu itu sedang mengepakkan pengaruh politik dan ekonomi ke berbagai penjuru Asia.

Orang-orang etnis Tionghoa dipaksa mengirim upeti sebagai ongkos perang. Yang menolak akan disingkirkan. Orang tua pemahat nisan bongpay itu bukanlah orang Tionghoa kaya, sehingga harus mengalami nasib buruk—tak mampu membayar upeti. A Pa-nya sempat membawa dia melarikan diri ke pedalaman Gunung Pandan, sebelum akhirnya mereka bertemu seorang anggota kelompok bersenjata lain yang tidak berafiliasi dengan orang-orang yang memburu keberadaan para lelaki Tionghoa.

“Silakan Tuan bergabung dengan kawan-kawan Tuan, tetapi biarkan anak ini ikut denganku. Dia masih terlalu kecil untuk ikut menanggung ongkos mahal dari perjuangan negeri ini.” Begitu pinta gerilyawan itu kepada A Pa-nya.

“Apakah aku bisa memercayaimu?”

“Tak akan kubiarkan kawan-kawan gerilyawan menyentuh anak ini.”

“Baiklah, Tuan. Jika aku tidak selamat, tolong antarkan dia kembali ke kota.”

Bayangan peristiwa paling kelam di kehidupan masa kecil pemahat nisan bongpay itu mendadak hadir kembali. Peristiwa kematian A Pa-nya terpampang serupa guguran daun-daun jati di pedalaman Gunung Pandan. Setiap helai dedaunan yang jatuh di musim kemarau itu seolah menyuarakan jeritan permintaan tolong manakala terkena terpaan angin.

***

Sesaat pemahat nisan bongpay itu menyeka keringat yang membasahi pelipisnya. Beberapa pahat dengan ukuran berbeda tampak tergenggam di tangan kirinya. Sementara tangan kanannya memegang sebuah palu yang terbuat dari kayu. Meskipun usianya telah menginjak lebih dari sepertiga abad, tetapi tenaganya masih cukup kuat untuk menopang kepiawaiannya membuat ukiran pada sebongkah batu marmer.

Sambil membuat pola ukir dan tulisan yang akan dipahatnya, dia sedikit menyesal kenapa tidak sempat mencari jawaban dari pemesan yang mengetuk rumahnya tengah malam, tentang siapa pemilik nama yang dipesankan batu nisan?

Tangan pemahat nisan bongpay itu bekerja dengan lincah. Ukiran sisik-sisik naga pada tepi nisan sudah terpahat dengan indah. Aksara-aksara yang menuliskan hari dan tanggal kematian, kini mulai dipahatnya. Dua hari dia bekerja siang malam, sedikit lagi nisan itu selesai.

Sebelum remahan marmer pada ornamen sisik-sisik naga dibersihkan, ukiran pada nisan itu kembali disempurnakan. Gigi pemahat bermata sipit itu gemeletuk. Tulang rahangnya menonjol keluar. Amarah kembali bergemuruh di dadanya.

Mulut seekor naga terbuka lebar seolah hendak menelan bulatan Yin-yang. Sementara dua cakar binatang mitologi Tiongkok Kuno itu tampak mencabik-cabik bulatan yang menjadi lambang keadilan dan keseimbangan. Pemahat nisan bongpay itu mengukirnya sebagai simbol ungkapan kemarahan atas ketidakadilan di negeri yang tanahnya dia pijak, dan airnya dia minum sepanjang hidupnya.

Pemahat nisan bongpay itu membubuhkan namanya di pojok nisan, lengkap dengan sebuah judul: Liong Seng Chi.

Dia juga sudah merencanakan penyambutan kepada lelaki Tionghoa pemesan batu nisan. Nanti saat tamunya datang, dia akan mengajak naik ke bukit Manyung di pinggir kotanya. Bukit yang menjadi tempat mengubur jasad ratusan orang Tionghoa yang ditumbalkan menjadi ongkos perang oleh orang-orang yang menganggap diri sebagai pemilik paling sah terhadap tumpah darah ini.

Dia akan mengajarkan bagaimana mengubur dalam-dalam peristiwa kelam. Baginya, rencana membayar sakit hati oleh lelaki Tionghoa pemesan batu nisan itu adalah bagian dari watak seorang budak dendam. Biarkanlah malaikat yang akan menghanyutkan keburukan manusia di masa lalu ke arus sungai waktu, hingga bermuara di penghakiman semesta.

Ajaran itu yang selalu dia pegang. Sebuah petuah dari A Bu-nya sejak puluhan tahun lalu, ketika berhari-hari dia mengurung diri di dalam kamar setelah mendengar kabar bahwa satu dari ratusan korban pembunuhan etnis Tionghoa di pedalaman Gunung Pandan adalah Nyo Lai Wa, A Pa-nya. (*)

Catatan kaki:

A Pa (bahasa Hokkien): Ayah.
A Bu (bahasa Hokkien): Ibu.
Bongpay (bahasa Hokkien): Makam Tionghoa.
Cheng Beng: Tradisi Tionghoa menghormati leluhur dan arwah tak dikenal.
Cece (bahasa Hokkien): Kakak perempuan.
Yin-yang: Konsep teologi Tiongkok Kuno tentang keseimbangan atau keadilan, disimbolkan dengan warna gelap dan terang.
Liong Seng Chi (bahasa Tionghoa): Naga yang marah.
Manyung: Nama sebuah tempat yang menjadi kuburan massal etnis Tionghoa korban genosida di Nganjuk, Jawa Timur.


Heru Sang Amurwabumi, Pendiri Komunitas Pegiat Literasi Nganjuk. Pernah duduk sebagai anggota redaksi Harian BERNAS.Cerpennya, “Mahapralaya Bubat”, mengantarnya terpilih sebagai penulis emerging Indonesia di Ubud Writers & Readers Festival 2019.