Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

AMAN: RUU Omnibus Law Bertentangan dengan Konstitusi
Ilustrasi foto: Laman resmi AMAN

AMAN: RUU Omnibus Law Bertentangan dengan Konstitusi



Berita Baru, Jakarta — Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyampaikan bahwa RUU Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja memang sah, akan tetapi ia tidak punya legitimasi karena dibuat tanpa partisipasi Masyarakat Adat serta bertentangan dengan mandat Konstitusi Negara Republik Indonesia.

“Tidak pernah ada konsultasi dengan gerakan masyarakat adat. Artinya melanggar hak masyarakat adat untuk berpartisipasi di dalam pembentukan hukum,” terang AMAN melalui lamam Twitter-nya, Senin (5/10).

Selain itu, kata AMAN, RUU Omnibus Law ini terkesan memanfaatkan situasi pandemi yang membatasi ruang pemantauan dan partisipasi masyarakat dalam pembentukan hukum

“RUU Cipta Kerja jelas bertentangan dengan penghormatan UUD 1945 terhadap masyarakat adat yang menjalankan tradisinya,” lanjutnya.

Hal itu dibuktikan dengan dihapusnya ketentuan di dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengecualikan aktivitas perladangan dengan cara membakar sebagai ekspresi kebudayaan dan kearifan lokal masyarakat adat.

Bagi AMAN, penghapusan pasal pengecualian tersebut dari UU PPLH jelas menunjukkan sikap anti terhadap masyarakat adat yang menjalankan kearifan lokal dan budayanya dalam mengelola wilayah adat.

“Sikap anti demokrasi ditunjukkan oleh RUU Cipta Kerja yang menghapus keharusan untuk mendapatkan persetujuan DPR RI dalam melakukan pelepasan Kawasan hutan. Padahal DPR adalah representasi rakyat termasuk masyarakat adat. Sebelumnya UU Kehutanan mengatur keharusan tersebut di dalam Pasal 19 UU Kehutanan, yang oleh RUU Cipta Kerja dihapus.”

Selain itu, AMAN menilai, RUU Cipta Kerja ini bisa memperluas dan memperkuat ancaman perampasan terhadap wilayah adat, meskipun ada klausul yang menyatakan bahwa ijin di atas wilayah adat baru bisa diberikan jika ada persetujuan antara masyarakat adat dan investasi

“Tapi aturan ini tidak akan berjalan karena faktanya prosedur pengakuan masyarakat adat kembali diserahkan kepada kebijakan sectoral (KEMEN LHK, KEMAN ATR, KKP, KEMENDAGRI) yang berbelit belit, ego sektoral, dan saling mengeliminasi,” tegasnya.

Dengan demikian, lanjut AMAN, ketiadaan status hukum sebagai akibat dari tidak bekerjanya prosedur pengakuan itu akan berakibat pada perampasan wilayah adat secara massif untuk kepentingan investasi.

“Ini diatur misalnya dalam Pasal 22 (Isu Kelautan). Anehnya, RUU Omnibus Law hanya memberikan sanksi administratif bagi pemanfaatan usaha di Laut tanpa ijin usaha (Pasal 16-A).”

Di dalam Pasal 69, RUU Cipta Kerja menghapus pengecualian bagi masyarakat adat untuk berladang dengan cara membakar sebagaimana sebelumhya telah diakui di dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Berdasar data yang dirilis oleh AMAN, bersama PPMAN dan YLBHI jumlah kasus kriminalisasi masyarakat adat sepanjang tahun 2019 saja, berjumlah 63 kasus.

“Mayoritas dikenakan Pasal 108 Jo 69 UU Nomor 41 Tahun 1999 terkait peladangan lokal, kebakaran hutan dan lahan. Itu Artinya RUU Cipta kerja tidak dibangun tanpa mempertimbangkan hak asasi manusia masyarakat adat yang mana hak-hak itu telah diakui dalam berbagai instrument hukum nasional dan internasional,” pungkas AMAN.