Aliansi Tani Tuban, Wujudkan Reforma Agraria, Tuntaskan Konflik Agraria
Berita Baru, Tuban – Warga yang tergabung dalam Aliansi Tani Tuban (Forum Masyarakat Gaji, Warga Penolak Kilang Minyak Jenu Tuban, Warga Penolak Pengeboran Air Soko Tuban, Tuban Darurat Agraria), menggelar aksinya di DPRD Tuban, pada (26/09/2019).
Kedatangan mereka sebagai bentuk pengejahwantahan demokrasi dalam ranah praktik, karena hak-hak mereka yang terus dikebiri oleh pemanku kebijakan. Perlu diketahui bahwa ratusan massa aksi ini mayoritas merupakan korban konflik tata ruang dan alih fungsi lahan.
Kembali pada konteks terkini di Kabupaten Tuban, bahwa wilayah Tuban memiliki persoalan khusus dalam konteks konflik agraria. Sebagai kawasan yang diklaim sebagai lumbung pangan unggulan Jawa Timur. Menurut Dinas Pertanian Kabupaten Tuban, pada tahun 2017 beras mengalami surplus 60, 06 persen.
Rincian produksi padi dari target 607.316 ton, hingga akhir 2017, dikatakan dapat mencapai hingga 627.774 ton. Selanjutnya untuk Jagung dari target 528.853 ton menjadi yaitu sebesar 610.854 ton. Belum lagi komoditas kacang tanah yang terkenal, dan cabai juga mengalami kenaikan yang cukup signifikan.
Namun, lagi-lagi kondisi seperti tersebut seakan berbanding terbalik dengan situasi yang terjadi. Di mana Rencana Tata Ruang dan Wilayah baik provinsi Jawa Timur dan kabupaten Tuban sendiri masih mengakomodir alih fungsi lahan.
Seperti yang terangkum di RTRW bahwa seluruh wilayah kabupaten Tuban di buka untuk eksploitasi migas. Dan juga secara spesifik di Kecamatan Kerek, Tambakboyo, Merakurak dan Montong dijadikan kawasan tambang ekstraktif yakni eksploitasi batu kapur dan tanah liat. Padahal wilayah tersebut merupakan kawasan resapan air, yang menopang kehidupan petani dan masyarakat lainnya.
Karena tidak jelasnya rencana tata ruang, akhirnya menimbulkan konflik yang masif. Bahkan cenderung mengakomodir korporasi daripada kebutuhan rakyat, lebih khususnya petani. Misal di Soko, Pertamina berencana melakukan pengeboran air untuk kebutuhan eksploitasi mereka. Pengambilan air ini akan mengancam keberlanjutan kehidupan warga, khususnya petani.
Di Jenu, desa Remen, Mentoso, Wadung dan Sumurgeneng terancam diambil lahannya akibat proyek strategis nasional yakni pembuatan kilang minyak. Ada sekitar 841 hekar yang dibutuhkan, lalu akan ada berapa petani yang tergusur dan kehilangan tempat bekerjanya.
Sementara di desa Gaji, kecamatan Kerek, hingga kini masih melawan atas klaim lahan sepihak oleh Semen Indonesia, padahal sudah jelas jual beli tidak sah, karena banyak manipulasi. Dan ini berlaku di wilayah lain, mayoritas di wilayah tambang semen, banyak sawah yang terancam alih fungsi.
Kala petani yang kehilangan lahannya, maka mereka akan beralih pekerjaan. Maka tak heran angka pengangguran terbuka di Tuban mencapai 3,03 persen. Selain itu karena tata ruang yang keliru, banyak digusurnya wilayah lindung hingga pertanian.
Menjadi salah satu penyebab krisis ekologis, salah satunya ialah kekeringan, di tahun 2018 ada 33 desa di 10 kecamatan yang kekeringan. Dan angka tersebut masih bertahan hingga sekarang. Dalam kajian KLHS jilid II oleh KLHK tentang kawasan karst Tuban, bahwa CAT Tuban mengalami defisit, artinya ada penyusutan jumlah air tanah.
Selain itu dengan tidak dijalankannya Reforma Agraria sejati, yang membincangkan kepastian hukum atas tanah, mengurangi ketimpangan dan kemiskinan, serta mendorong keberlanjutan ekologis. Menjadi problem sendiri bagi keberlanjutan kehidupa petani, khususnya di wilayah Tuban.
Adanya RUU Pertanahan, RUU Sumber Daya Air, RUU Sistem Budidaya Pertanian dan Minerba, akan semakin menyengsarakan petani. Karena RUU Pertanahan sendiri rentan menggusur warga yang dikatakan tak punya bukti lahan, seperti di pasal 46.
Sementara itu juga warga yang terancam proyek negara juga akan dikebiri haknya, jika berkaca pada pasal 91 tentang menghalangi penggusuran, karena harus tunduk, walau ia ingin hidup sebaik-baiknya sebagaimana dalam pasal 28 UUD RI 1945.
Karena semakin terancamnya hak kami, dan belum terwujudnya reforma agraria sejati. Maka Aliansi Tani Tuban, menolak RUU Pertanahan karena akan menyengsarakan petani dan pro pemodal. Lalu, para petani juga menolak penetapan UU Sistem Budidaya Pertanian, karena berpotensi mengkriminalisasi petani atas kedaulatan benihnya.
Aliansi Tani Tuban pun, secar tegas meminta pemerintah kabupaten Tuban dan DPRD merevisi RTRW Tuban agar sesuai dengan kondisi ekologi di Tuban yang semakin hancur. Selain itu, banyak petani dari Jenu juga meminta pemerintah pusat, provinsi, kabupaten dan DPRD Tuban agar membatalkan proyek kilang minyak di Jenu Tuban.
Sementara petani dari Soko menyuarakan terkait penolakannya terhadap pengebora air oleh Pertamin. Mereka juga meminta pemerintah kabupaten Tuban untuk menghentikan perampasan air petani di Soko. Seluruh petani sepakat bahwa dalam gerakan mereka mengingka pemerintah untuk mewujudkan Reforma Agraria sejati berdasarkan UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960.