Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Erani

Ahmad Erani: Kemerdekaan Adalah Proses tak Bertepi



Berita Baru, Tokoh – Ahmad Erani Yustika, Deputi Pembangunan Ekonomi Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres), dalam sesi Bercerita ke-60 Beritabaru.co menjelaskan bahwa hingga hari ini cita-cita kemerdakaan Indonesia belum bisa dikatakan tercapai, Selasa (17/8).

Ia mengawali pandangannya tersebut dengan mengulas dasar-dasar yang digunakan Para Pendiri Bangsa (Founding Fathers) dalam menyusun konstitusi Indonesia. Menurut Erani, konstitusi atau dasar negara Indonesia dipijakkan pada dua (2) pondasi utama.

Pertama, Indonesia didirikan bukan untuk masa yang terbatas, tidak untuk 200 tahun atau 500 tahun, tetapi untuk waktu yang tanpa ujung, selamanya.

Adapun kedua, dasar negara lebih merupakan suatu pencapaian yang selalu diupayakan dan diperbaiki dari waktu ke waktu, yang sebab ini konstitusi tidak memuat apa pun melainkan nilai-nilai yang agung.

“Jadi sebenarnya yang kita bicarakan di sini adalah nilai-nilai luhur seperti kemakmuran, keadilan, kebahagiaan, dan kemajuan yang tidak memiliki batas waktu dan tingkat puncaknya, sehingga semua itu akan bergerak seturut perkembangan zaman dan oleh pemimpin-pemimpin yang selalu baru,” ungkap Erani.

“Dan lantas, persis di sini jika ditanya apakah cita-cita kemerdekaan sudah tercapai, maka jawabannya belum. Kemerdekaan itu proses. Proses tanpa ujung,”tambahnya dalam diskusi yang ditemani oleh Sarah Monica ini.       

Meski demikian, kata Erani, itu bukan berarti selama 76 tahun merdeka, Indonesia tidak memiliki pencapaian-pencapaian. Jika diukur dari kedaulatan, keadilan, dan kemakmuran, Indonesia cukup berhasil di banyak segi, tapi sebelum ke situ, sebagai seorang ekonom Erani merasa penting untuk mengulas dulu bagaimana pencapaian tersebut bisa diukur.

Untuk mengukur ada tidaknya keadilan di Indonesia secara ekonomi, seseorang bisa menggunakan distribusi pendapatan melalui distribusi pembangunan antarwilayah salah satunya.

Jadi, Erani melanjutkan, ketika di Indonesia pendapatan masyarakatnya merata, tidak timpang, maka boleh disebut Indonesia memiliki tingkat keadilan ekonomi yang tinggi.

Untuk kedaulatan secara umum, ukurannya bisa berupa sejauh mana negara bisa mengambil suatu keputusan berdasarkan kedaulatan bangsa sendiri, bukan intervensi asing.

“Dan kalau dari segi ekonomi, kedaulatan ekonomi, itu bisa diukur dengan sebaik apa negara mampu menguasai cabang-cabang produksi dan sumber daya alam, sebagaimana sudah tercantum dalam Pasal 33 ayat 3 dan 4,” kata Erani.

Adapun yang terakhir, kemakmuran, bisa diukur melalui pendapatan per-kapita, berapa jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan, dan semacamnya.

“Yang jelas, dari waktu ke waktu, perbaikan itu ada dan banyak, tetapi persoalan keadilan, kemakmuran, dan kedaulatan juga tidak kalah banyak,” ungkapnya.   

Kemajuan ekonomi Indonesia yang menonjol

Sementara itu, dari segi kemajuan, Erani memberikan beberapa contoh pencapaian yang Indonesia berhasil meraihnya. Pertama, cerita tentang Bung Karno dan program nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang pada masa awal kemerdekaan, merekalah yang menguasai sumber daya ekonomi Indonesia.   

Berpijak pada asumsi bahwa bangsa yang maju adalah bangsa yang memanfaatkan sumber daya ekonominya untuk kepentingan rakyatnya sendiri, maka menurut Erani apa yang dilakukan Bung Karno tersebut adalah sebentuk kemajuan yang layak diapresiasi, yakni agar sumber daya ekonomi Indonesia tidak dikuasai asing.

“Karena ini, seiring bergulirnya waktu, Indonesia mulai bisa menyokong pembangunannya dari sumber daya ekonomi dalam negeri,” ujar Erani.

Kedua, dulu sekitar 65 – 70% investasi bergantung pada asing dan sekarang, per-hari ini kontribusi penanaman modal domestik kita mencapai 50% – 50%.

Ketiga, terkait transformasi ekonomi, pada tahun 1970-an kontribusi sektor pertanian masih sekitar 65 – 70%, tapi hari ini hanya 13 – 14%. Berdasarkan pandangan bahwa kegiatan ekonomi akan memicu kesejahteraan selama aktivitasnya memiliki nilai tambah atau proses pengolahan,  maka hal tersebut merupakan peningkatan yang cukup signifikan.

Terakhir, lanjut Erani, adalah soal stok pengetahuan. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kita sekarang sudah berada di level tinggi dengan angka 71. Ini merupakan salah satu capaian yang patut dibanggakan sebab untuk mencapainya sangatlah susah dan memakan waktu.

“Kenapa ini penting diungkap? Karena kemajuan apa pun tidak akan bisa terwujud tanpa adanya topangan pengetahuan dan Sumber Daya Manusia yang unggul. Dan kita sekarang sudah berhasil mencapai tingkat tinggi, meski di atasnya masih ada sangat tinggi,” papar Erani.  

Ketimpangan pendapatan masih menjadi PR

Dalam acara yang diselenggarakan sekaligus untuk merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) Indonesia ke-76 ini, Ahmad Erani juga membahas tentang merosotnya Indonesia dari negara berpenghasilan menengah ke atas menjadi negara berpenghasilan rendah versi Bank Dunia per 1 Juli 2021.

Erani beranggapan, ada tiga (3) dimensi yang bisa kita pakai untuk melihat kemerosotan tersebut. Pertama, siapa pun memang layak resah. Pasalnya, ukuran adanya kemajuan secara ekonomi adalah adanya peningkatan pendapatan dari waktu ke waktu.

Kedua, hampir semua negara di dunia dalam kurun 1,5 tahun terakhir mengalami hal senada. Jadi, Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang mengalami kemerosotan akibat pandemi.

“Dari segi ini, sebetulnya wajar mengapa kita turun,” ungkapnya.

Ketiga, inilah yang menjadi pekerjaan rumah kita, yakni masih lebarnya ketimpangan pendapatan di Indonesia. Dari sisi rata-rata, kata Erani, pendapatan per-bulan setiap orang memang mencapai 5 juta, tapi pada kenyataannya, ada segelintir orang yang pendapatannya sangat besar dan di waktu bersamaan ada banyak orang yang pendapatannya sangat kecil.

“Ini adalah persoalan besar ketika bicara soal kemerosotan pendapatan kita. Kita tidak akan pernah bahagia ketika pendapatan per kapita tinggi tapi ketimpangan lebar. Sebab ini bukti betapa ketidakadilan sedang menyeruak ke permukaan,” tegas Erani.   

Untuk mengatasi ketimpangan ini, Erani menambahkan, sebenarnya seluruh kerangka kebijakan dan teori sudah diarahkan ke situ, yakni untuk pemerataan pendapatan.

Hal itu paling tidak bisa dilihat dari segi faktor produksi yang sedang pemerintah gunakan, yakni tenaga kerja, modal, dan lahan.

Tenaga kerja berhubungan dengan upaya untuk membuka akses yang adil bagi masyarakat terhadap pendidikan dan pengetahuan, sehingga nantinya mereka bisa masuk ke pasar kerja dengan kemampuan yang merata.

Kemudian tentang modal berkelindan dengan upaya untuk mencegah terjadinya pengerucutan modal pada kelompok tertentu saja. Setiap lapisan masyarakat berhak mendapatkan akses modal yang sama. Salah satu instrumen kebijakan untuk ini, kata Erani, adalah adanya pajak progresif, kredit bagi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dengan bunga rendah, dan semacamnya.

Adapun lahan berkaitan dengan bagaimana petani diupayakan agar memiliki lahan minimal 2 hektare. Instrumen kebijakannya berupa perhutanan sosial dan reforma agraria.

“Dengan beberapa skema tersebut tentu pemerintah mengupayakan agar ketimpangan pendapatan bisa teratasi, tapi meski demikian persoalan di luar itu masih sangat banyak dan kita akan selalu bisa melampauinya,” ucap Erani.

“Negara Indonesia ditegakkan dalam keterbatasan, sehingga bagaimana pun persoalan datang menerpa, kita akan tetap optimis. Kita akan tetap bisa menaiki tangga, menuju puncak,” tambahnya.