Mengenang Ibu | Puisi-Puisi Farisi Al
Mengenang Ibu (I)
Terlalu mudah membunuh masa lalu
tetapi tidak pada wajahmu, ibu
langit begitu perkasa menyimpan rahasia,
masa lalu dan waktu yang purba
bahkan pada mataku yang padam
wajahmu seperti cahaya runcing tertanam
dalam pelukan mimpi malam hari
dalam dekap dingin dini hari.
Rindu mungkin tak kukenal
jika jarak sebatas jengkal
atau kepergianmu yang jauh
sebatas tamasya di pulau teduh
tanpa kematian
tanpa kamboja berguguran.
Hingga segalanya kupahami sebagai puisi
bahasa yang tumbuh saban hari
sebab luka terlalu pedih
disimpan dalam dada sendiri.
Ibu, di ketinggian yang biru, di langit itu
mimpi dan kenanganku jatuh.
Yogyakarta, 2017
Mengenang Ibu (II)
Kususun tahun-tahun yang hilang
tanpa pelukanmu di sisiku
demi kuingat lagi semesta kasihmu
yang diam-diam jadi genangan rindu
Cinta berbicara melalui langit
bahasa sederhana namun rumit
di mana burung-burung terbang
dengan sayapnya yang hilang
Sayap yang berulangkali patah
Sayap yang selalu mencari arah
Sayap yang hanya tinggal warna
Kususun tahun-tahun yang hilang
tanpa airmatamu di pipiku
demi kukenang lagi sungai di alismu
yang mengalir ke dalam kalbu
Seumpama sampan kau berlayar
ke pulau jauh tanpa denyar
di mana kau tak mungkin kembali
sebab di sisi-Nya kau abadi
Ibu,
Rengkuh aku di kedalaman rindu
bila waktu mengutukku jadi bisu
Yogyakarta, 2017
Mengenang Ibu (III)
Barangkali
kau tak percaya
di dalam mataku
ada laut tak terbaca
oleh catatan sejarah
atau lukisan peta
Ia serupa airmata
namun bukan
kesedihan analekta
riaknya gemuruh kasih
dalam aorta
Barangkali
kau tak percaya
di alismu
ada sungai yang setia
mengalir ke laut
mediterania
Ia serupa lekuk-liku
mata air
namun bukan dahaga
di kering bibir
alirnya rukun dari hulu
hingga hilir
Barangkali
kau tak percaya
di antara mataku dan
alismu ada dermaga
batas asin dan tawar
pertemuan kita
Yogyakarta, 2017
Akhir
di luar jendela hanya hening
musim bertukar dingin
dari nanar mimpi
ke inti sunyi
Yogyakarta, Desember
Musim (2)
#
suatu waktu hujan jatuh
melubangi kenangan di jantungmu
dadamu basah oleh rindu
berlumur waktu yang runtuh
–kecemasan bagai layang-layang
terbang di ketinggian yang bimbang
: antara pulang
dan
putus tak kembali
#
suatu waktu hujan hilang di jantungmu
membawa bekas rindu
–kecemasan akan selalu gugur dan kerontang
sampai kemarau juga hilang dari pangkuanmu
: membangun waktu
dari pedih yang sama
Solo-Yogya, 2016
Farisi Al, jauh-jauh dari Sumenep ke Yogyakarta untuk menjadi kuli perbukuan. Di sela-sela itu, ia kuliah di UIN Sunan Kalijaga biar punya alasan yang pasti untuk tinggal di sini. Masih punya impian menjadi penulis di sisa-sisa hidupnya. Masih ingin sukses di antara kesibukannya push rank. Pernah bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta.