KPK Intensifkan Pengawasan Retribusi Wisata di NTB
Berita Baru, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperkuat pendampingan terhadap pemerintah daerah di Nusa Tenggara Barat (NTB), khususnya di Kabupaten Lombok Utara (KLU), untuk menertibkan retribusi wisatawan. Langkah ini diambil setelah ditemukan anomali dalam pengelolaan retribusi yang berpotensi merugikan keuangan negara, wisatawan, dan masyarakat setempat. Tim Korsup KPK melakukan pendampingan di Gili Tramena pada 17-18 Agustus 2024.
Kepala Satgas Korsup Wilayah V KPK, Dian Patria, menegaskan bahwa pendampingan ini merupakan bagian dari komitmen KPK untuk memastikan transparansi, akuntabilitas, dan keadilan dalam pengelolaan retribusi di kawasan wisata Gili Tramena (Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air) serta Pelabuhan Bangsal. KPK juga berupaya mendorong optimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Kami menemukan adanya dugaan atau anomali dalam pengelolaan retribusi di Gili Tramena. Awalnya indikasi ini muncul saat tim melakukan pendampingan lapangan di Gili Air. Di sana, wisatawan dipungut tanpa adanya transparansi atau tidak adanya papan pengumuman berapa yang harus dibayarkan,” ujar Dian, Selasa (27/8/2024).
Selama kunjungan, KPK menemukan sejumlah kejanggalan, termasuk perjanjian kerja sama dengan pihak ketiga yang tidak memiliki dasar hukum jelas. Akibatnya, pendapatan daerah menjadi tidak maksimal, karena pihak ketiga mendapatkan keuntungan lebih besar dibandingkan dengan pemerintah daerah setempat.
“Dalam setahun kemarin ada kurang lebih 700 ribu wisatawan yang datang, namun pemda hanya dapat Rp5 miliar. Ini kan nilainya sangat kecil,” jelas Dian.
Temuan lapangan menunjukkan bahwa Dishub KLU menarik retribusi dari wisatawan dengan jumlah yang melebihi aturan yang berlaku melalui pihak ketiga. Jumlah yang ditarik bahkan mencapai Rp20.000, dengan 75% dari total tersebut diduga masuk ke kantong pihak ketiga.
“Retribusi Dishub KLU ini yang ada dasar hukumnya cuma Rp5.000 per orang. Sisanya, yaitu Rp15.000, kemana dan kenapa ada pihak ketiga?” tegas Dian.
Di Pelabuhan Bangsal, yang telah dikelola oleh Pemprov NTB sejak 28 Agustus 2023, ditemukan anomali retribusi setelah Dishub Provinsi NTB melakukan Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan pihak ketiga pada 2 Oktober 2023. Meskipun ada perjanjian untuk memungut biaya boarding pass sebesar Rp10.000 per penumpang, dengan Rp2.500 dialokasikan untuk perbaikan fasilitas dan Rp7.500 untuk pengembangan sistem, perjanjian tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Peraturan daerah yang mendasari baru diterbitkan pada 31 Januari 2024.
Saat ini, Inspektorat Provinsi NTB tengah melakukan audit lanjutan dan memanggil pihak-pihak terkait untuk dimintai keterangan. Pemda NTB juga berkomitmen untuk mengevaluasi dan memperbaiki mekanisme pengelolaan retribusi wisatawan.
KPK merekomendasikan agar semua pungutan yang tidak memiliki dasar hukum dihentikan hingga proses audit selesai. Jika ditemukan indikasi tindak pidana, hasil audit akan diteruskan kepada aparat penegak hukum (APH). KPK juga mendorong penerapan sistem One Gate System untuk memusatkan data dan memudahkan administrasi serta transparansi.
“Kami juga meminta aparat penegak hukum di daerah memberikan perhatian khusus terhadap masalah ini untuk memastikan penegakan hukum yang tepat dan transparan. Jangan sampai ada pelanggaran hukum,” tegas Dian.