IMF Sebut Bunga Pinjaman Indonesia Tinggi, Ekonom INDEF: Kesiangan!
Berita Baru, Jakarta – Dana Moneter Internasional atau IMF menilai level biaya pinjaman pemerintah Indonesia atau sovereign borrowing costs saat ini terlalu tinggi. Bahkan disebut, kondisi levelnya tidak relevan dengan upaya pengelolaan fiskal pemerintah yang semakin baik.
Pernyataan tersebut disampaikan, IMF Senior Resident Representative untuk Indonesia James Walsh saat berkunjung ke kantor Tempo di Jalan Palmerah Barat, Jakarta Selatan, Selasa, 1 November 2022, lalu.
Didik J Rachbini, pendiri/ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyebut pernyataan IMF tersebut kesiangan alias terlambat melihat masalah bunga pinjaman Indonesia yang tinggi. Namun baginya tidak salah karena semakin banyak pihak yang memberikan saran semakin baik bagi demokrasi.
Tetapi, lanjut Didik J Rachbini, parlemen dan pemerintah sekarang tergolong keras kepala dan bebal karena tidak melihat dengan benar dan seksama terhadap suara-suara kebenaran. Kebebalan publik menutupi saran-saran kebenaran, yang seharusnya diadopsi dalam pengambilan keputusan.
“Rakyat banyak berkorban atas kecerobohan kebijakan seperti ini. Pajak rakyat terkuras untuk membayar utang kategori kaleng-kaleng berbunga tinggi,” kata Didik J Rachbini kepada Beritabaru.co, Jumat (4/11).
Bagi Didik J Rachbini, tidak menutup kemungkinan melihat pandangan sebagian pengambil keputusan yang naif terhadap kebijakan utang publik, yang terus digenjot tanpa perhitungan teknokratis. Itu terjadi karena watak politik rakus anggaran memang merupakan watak dasar dari politisi.
“Tanpa kontrol dan kritik, kebijakan hutang yang besar dengan bunga yang terlalu tinggi ditelan mentah-mentah begitu saja. Kualitas kebijakan fiskal seperti ini naif dan setara dengan negara terbelakang Bangladesh, seperti dikemukakan IMF,” ujarnya.
Didik pun menjelaskan, Dana Moneter Internasional atau IMF dalam hal ini benar menganggap level biaya pinjaman pemerintah Indonesia atau sovereign borrowing costs saat ini terlalu tinggi.
“Saya mengatakan tidak pakai nalar yang memadai, IMF mengatakan bahwa kondisi level bunga pun tidak relevan dengan upaya pengelolaan fiskal pemerintah yang semestinya semakin baik dari waktu ke waktu,” katanya.
Ia mempertanyakan mengapa kebijakan fiskal utang publik ini rendah kualitasnya? Berdasarkan data Regional Economic Outlook Asia and Pacific IMF edisi Oktober 2022, Indonesia masuk 3 besar dengan sovereign borrowing costs terbesar bersama Bangladesh dan India. Besarannya untuk local currency yield sekitar 8 persen untuk tenor 10 tahun.
Jawaban atas pertanyaan itu, lanjutnya, tidak lain adalah faktor politik, yang prosesnya tidak berkualitas. Pemerintah yang oligarkis dalam mengambil keputusan pada elite terbatas kemaruk dengan watak maximizing budget untuk kepentingan politiknya.
“Kontrol check and balance mati karena tidak ada oposisi yang signifikan. Kualitas partai tidak memadai sehingga jor-joran anggaran berjalan mulus dengan resiko beban utang tingga pada pemerintahan selanjutnya,” terangnya.
Didik mencontohkan, pada tahun 2020 utang publik diputuskan sekitar 640 triliun, kebijakan yang tidak memadai untuk mengendalikan utang secara baik. Tetapi ketika terjadi serangan COVID-19, maka tanpa basa-basi utang diputuskan sepihak oleh pemerintah naik menjadi 1200 triliun rupiah.
“Realisasinya lebih gila lagi, yakni 1520 triliun rupiah. Untuk meloloskan kebijakan naif ini, wewenang DPR dilucuti sehingga APBN hanya diputuskan oleh pemerintah,” tegaanya.
Didik menilai, kebijakan fiskal ala rezim ini adalah kebijakan fiskal yang ugal-ugalan dengan kualitas setara negara terbelakang Bangladesh.
“IMF terlambat melihat ini karena sudah lama masalah ini menjadi sasaran kritik ekonom-ekonomi nasional. Tetapi tidak bergeming karena akal sehat pengambil keputusan, parlemen dan pemerintah, tertutup watak dasar budget maximizer tanpa kalkulasi yang memadai,” pungkasnya.