Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Petani
Foto: Ilustrasi Istimewa

3 Warga Wawonii Penolak Tambang Ditangkap Polisi, JATAM: Centeng Oligarki



Berita Baru, Jakarta – JATAM, LBH Kendari, LBH Makassar, YLBHI dan KontraS, KIARA serta FNKSDA menilai penangkapan tiga warga Desa Sukarela Jaya, Wawonii Tenggara, Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, menunjukkan aparat kepolisian sebagai centeng oligarki.

“Sebanyak tiga warga Desa Sukarela Jaya, Kecamatan Wawonii Tenggara, Kabupaten Konawe Kepulauan, Provinsi Sulawesi Tenggara ditangkap aparat kepolisian dari Polda Sulawesi Tenggara,” kata JATAM, Muhamad Jamil, Senin (24/1).

Ketiga warga itu, diantaranya La Dani alias Anwar (L) dan Hurlan (L), ​​dan  Hastoma (L). Mereka ditangkap pada Senin, 24 Januari 2022, sekitar Pukul 13.30 Wita. Semenatara Anwar dan Hastoma ditangkap di kebun milik mereka saat tengah makan siang. Adapun Hurlan ditangkap di rumahnya.

“Penangkapan terhadap Anwar,  Hastoma, dan Hurlan oleh polisi hari ini, berikut kriminalisasi terhadap warga Wawonii pada 2019 lalu, patut diduga sebagai bentuk arogansi korporasi tambang yang rakus dan aparat kepolisian yang lebih sering tampil sebagai centeng oligarki,” tegas Jamil.

Menurutnya, belum diketahui penyebab ketiga warga pulau kecil Wawonii itu ditangkap. “Menurut keterangan warga, ketiganya tengah dalam perjalanan laut, menggunakan speedboat Polisi, menuju kantor Polda Sulawesi Tenggara di Kendari,” tuturnya.

Sebagaimana diketahui, Anwar,  Hastoma, dan Hurlan merupakan bagian dari barisan warga penolak tambang di pulau Wawonii. Warga, yang sebagian besar menggantungkan perekonomian pada sektor pertanian/perkebunan dan laut, menentang rencana penambangan nikel oleh PT Gema Kreasi Perdana (GKP), anak perusahaan Harita Group. 

“Keteguhan warga dalam melakukan penolakan atas tambang nikel itu, berujung pada ancaman, intimidasi, dan kriminalisasi, hingga pada 2019 lalu sebanyak 28 warga dilaporkan ke polisi oleh pihak perusahaan,” ungkap Jamil.

Pihaknya mendapati, tuduhan yang dialamatkan ke warga bermacam-macam dan cenderung mengada-ada. Mulai dari dugaan menghalangi aktivitas perusahaan tambang, dugaan merampas kemerdekaan terhadap seseorang, pengancaman, dan tuduhan penganiayaan. 

“Anwar,  Hastoma, dan Hurlan, yang ditangkap polisi pada hari ini, Senin (24/1), termasuk ke dalam 28 warga yang sebelumnya telah dilaporkan ke polisi pada 23 Agustus 2019 lalu,” kata Jamil.

Tuduhan yang dialamatkan kepada ketiganya saat itu, adalah terkait dugaan Tindak Pidana Perampasan Kemerdekaan Terhadap Seseorang, sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 333 KUHP.

“Penangkapan terhadap warga penolak tambang itu, patut dibaca sebagai upaya negara melalui institusi kepolisian dan korporasi untuk menekan resistensi warga, sehingga rencana investasi penambangan dapat berjalan mulus,” ujarnya. 

Jamil melihat, dugaan tersebut semakin kuat, mengingat aparat kepolisian cenderung bersekongkol dengan korporasi yang melakukan tindak kejahatan lingkungan dan melanggar hak asasi manusia.

“Dalam kaitan dengan PT GKP, misalnya, pada 2019 lalu, pihak perusahaan melakukan penerobosan lahan-lahan milik warga,” terangnya.

“Pertama, pada Selasa, 9 Juli 2019, sekitar Pukul 11.00 Wita, PT GKP menerobos lahan milik Ibu Marwah. Kedua, pada Selasa, 16 Juli 2019, sekitar Pukul 15.00 di lahan milik Idris. Ketiga, pada Kamis, 22 Agustus 2019, tengah malam, kembali menerobos lahan milik Amin, Wa Ana, dan (Alm) Labaa,” rinci Jamil.

Menurut Jamil, penerobosan lahan warga yang berulang itu dan berakibat pada rusaknya tanaman jambu mete, kelapa, pala, cengkeh, dan tanaman lainnya justru dikawal ketat aparat kepolisian. 

Adapun laporan warga, lanjutnya, kepada pihak kepolisian terkait penerobosan lahan milik masyarakat oleh PT GKP itu tak kunjung diproses, semua mengendap begitu saja.

“Salah satu warga Konawe Kepulauan atas nama Idris, misalnya, melaporkan PT GKP ke Polres Kendari pada Rabu, 14 Agustus 2019. Idris melapor ke polisi karena lahan dan tanamannya dirusak PT GKP pada Selasa, 16 Juli 2019,” jelas Jamil.

Atas dasar itu, koalisi masyarakat sipil itu mendesak Polda Sulawesi Utara untuk membebaskan La Dani (Anwar), Hurlan, dan Hastomo.

Selain itu, mereka juga mendesak Kapolri untuk menghentikan segala bentuk upaya kriminalisasi terhadap masyarakat yang menolak aktivitas pertambangan di pulau Wawonii;

“Mendesak pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk menjalankan amanat pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” tukas Jamil.