Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Fatah Malangare

Yuk dan Yik



Oleh: Fatah Malangare


Pernah dengar kisah Yuk gali kubur dengan tangan kosong di belakang pasar Saloka? kisah ini terjadi kisaran tahun 1998. Kurang lebih selisih satu atau dua minggu setelah reformasi.

Sambil mencuci sayur dan ikan, Yu Jumenten memulai kisah Yuk, “Begini, Janoko,  kalau kamu tidak bisa ngadepin hidup janganlah kalap, hingga gali kubur.” Mata Yu Jumenten tidak menatap saya langsung. Ia nyerocos sambil terus cekatan mencuci sayur dan ikan.

Kata Yu Jumenten, Yuk gali kubur karena ia mendengar bisikan. Bisikan itu mengajak Yuk ke alam kematian. Yuk meyakini dirinya pernah mati. Saat orang memaksanya ke luar dari  dalam kubur Yuk berang bukan kepalang, “Kalian tidak tahu, saya ini mau pulang ke alam sendiri. Kenapa dihalangi”

 “Bisikan itu dari malaikat atau setan, Yu?” Saya potong kisah Yu Jumenten.

Yu Jumenten pasang wajah masam. Ia kecewa ceritanya saya potong dengan pertanyaan. Seakan pertanyaan saya tidak pernah terjadi, Yu Jumenten sibuk mecuci sayur dan ikannya. Baru setelah selesai mencuci ikan dan sayur Yu Jumenten mendekati saya lagi.

“Janoko, bisikan malaikat dan setan bedah tipis. Saya yakin setelah Nabi Muhammad wafat tidak ada lagi bisikan dari malaikat.”

“Bagaimana kalau bisikan yang Yuk dengar itu dari Malaikat, Yu?”

Saya lihat Yu Jumenten termangu. Amis ikan nabrak hidung saya. Yu Jumenten kemudian sibuk memasak dan membiarkan pertanyaan saya beku di kepala.

Yu Juminten lebih tidak peduli pada nasib saya. Ia merasa dirinya sebagai pencerita yang wajib saya dengar. Padahal sejak pertanyaan saya dia abaikan indra pendengar sudah saya kunci rapat-rapat.

Meski cerita Yu Juminten berapi-api; kadang bahagia, kadang sedih—terus ganti-ganti—saya tidak peduli. Saya hanya dapat menangkap gerak mulut dan ekspresi wajah Yu Juminten. Mulut Yu Juminten kelihatan lucu. Tak jarang saya ketawa diam-diam. Apalagi rona wajahnya saat berekpresi sedih, sungguh mirip daun kering yang tercebur ke comberan.

Saya tidak menduga akan meyesal karena mengabaikan cerita Yu Juminten. Anggapan saya cerita Yu Juminten hanya omong kosong penjual nasi pinggir jalan. Baru hari ini, ketika saya menyaksikan sendiri kejadian yang Yu Juminten ceritakan riak penyesalan timbul. Mirip ombak, penyesalan saya tambah hari riaknya tambah besar. Hingga kemudian menggulung habis tubuh saya, terbawa arus, terombang-ambing dalam ketidakpastian.

Saya tidak menduga satu cerita  akan terjadi berulang. Saya juga tidak menduga, bagaimana mungkin satu kejadian dan kejadian yang lain bisa persis sama. Jangan-jangan Yu Juminten dukun, atau kiai sakti, saya benar-benar tidak tahu.

Kalau seandainya kematian Yuk yang gali kubur dengan tangan sendiri tidak pernah saya dengar dari Yu Juminten, mungkin, kejadian Yik gali kubur dengan tangan sendiri tidak akan terlalu mengganggu saya. Saya benar-benar harus berusaha mengingat seluruh alur cerita Yu Jumenten: bagaimana Yuk gali kubur dengan tangan kosong dan kenapa Yuk ingin mati cepat, sungguh megganggu kepala saya .

***

22-Desember-2020, tepat di sebelah kiri pasar Panggung, di tengah ladang luas penuh semak, kesohor kabar Yik gali kubur dengan tangan kosong. Minggu-minggu sebelumnya, orang-orang di pasar Panggung menduga Yik cari cacing.

Kali pertama Yik gali kubur  pada hari senin, 2-Desember-2020. Itu menurut  kesaksian Mak Suna saat saya wawancarai di warungnya, yang kebetulan berhadapan langsung dengan ladang tempat Yik gali kubur.

Pagi buta saat Mak Suna membuka warung melihat Yik menggaruk-garuk tanah. Ia tidak curiga, bahkan sempat menyapa. Yik pun menjawab sambil melempar senyum. Mak Suna menduga Yik pagi itu mencari cacinguntuk mancing. Dugaan itu diperkuat kedatangan Sumatro—lelaki tua tersohor sebagai pemancing ikan—sesaat kemudian.

Di hari kedua, Mak Suna sempat bercakap-cakap dengan Yik. Yik mengaku sudah berhenti mengajar anak-anak mengaji. Mak Suna ingin menanyakan alasan Yik berhenti mengajar, namun keburu pelanggan datang.

Hari-hari berikutnya Mak Suna tidak sempat bercakap-cakap dengan Yik. Mereka hanya sekadar menyapa dan saling lempar senyum. Keinginan Mak Suna menanyakan alasan Yik berhenti mengajar pun hilang. Saat orang-orang pasar ribut tentang Yik yang mengubur diri Mak Suna baru paham tujuan Yik garuk-garuk tanah.

Meski saya kecewa dengan kesaksian Mak Suna, setidaknya saya mendapat titik jelas kenapa Yik hendak mengubur diri:

“Kalau tidak salah Yik pernah bilang, dunia makin tua dan dosa makin menjamur. Selain itu Yik juga kerap mendengar ajakan lewat bisikan-bisikan. Saat itu saya tidak terlalu peduli dengan penjelasannya. Saya pikir Yik hanya bergurau.”

Yik benar-benar menyeret saya untuk mengingat cerita Yu Juminten. Persoalan bisikan-bisikan kembali membuat otak saya panas. Bisikan-bisikan sejenis suara ibu-ibu tetangga saat menggunjing orang atau bisikan aib negara yang haram diketahui rakyat, saya tidak tahu secara jelas. Yu Juminten mungkin pernah menjelaskan bisik-bisik yang di dengar Yuk.  Tapi saya tidak mengingatnya. Pertanyaan tentang Yuk dan Yik berseliweran di kepala. Ingin rasanya saya membangkitkan Yu Juminten unuk menceritakan ulang kisah Yuk.

***

Memikirkan bisik-bisik yang mengajak Yuk dan Yik sungguh membuat kepala ingin pecah. Bagaimana mungkin bisikan bisa menjadi alasan orang untuk mengubur diri?

Saya sadar, dulu, saat Yu Jumenten bercerita akal saya memang belum sempurnah. Wajar bila saya percaya pada cerita-ceritanya. Di usia 17 tahun saya mulai meragukan cerita Yu Jumenten. Jika pun cerita Yu Jumenten benar pasti Yuk orang gila. Mana mungkin ada orang waras mau mati cepat.

Keraguan saya pada ceritaYu Juminten terjerembak dalam kubangan ketidakberdayaan. Cerita Yuk yang membingungkan tetiba semakin memperumit saya dengan fakta Yik yang melakukan tindakan sama dengan Yuk. Saya tidak dapat memastikan tujuan mereka mengubur diri. Jika pun sama, Yuk berarti tidak gila. Yuk berarti mengubur diri dengan sadar. Sama dengan kasus Yik. Ah, sungguh kepalaku ingin pecah.

 Buku tulis lusu mengganggu mata saya, sudutnya yang lecek mencuat. Saya sangat menjaga kerapian kamar. Melihat letak buku yang tidak rata sudutnya membuat saya tidak bisa fokus memecahkan bisik-bisik yang jadi tujuan Yuk dan Yik ingin mati.

Cepat saya tarik buku itu, sebelum saya taruh kembali, saya buka lembar demi lembar. Halaman pertama, pojok atas, tertulis nama saya. Di bawahnya tertulis kelas 5 MI dan di pojok kiri tertulis Mata Pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam.

Satu halaman sebelum akhir ada satu kalimat yang cukup mengganggu saya: saat nabi menyepi di gua hira’ Jibril datang, memberi tahu nabi seperti bisikan-bisikan.”  Saya tertegun, Yuk dan Yik kemudian menghinggapi kepala saya lagi.

Yogyakarta, 2021


Fatah Malangare, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Aktif di Komunitas Kutub, Yogyakarta. Cerpennya telah dimuat diberbagai media.

Beritabaru menerima karya berupa cerpen dan puisi untuk dimuat di hari Sabtu dan Minggu. Silakan kirimkan karya kalian ke [email protected] beserta biodata dan nomer rekening dalam satu file word.