Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Sidang gugatan warga Pulau Sangihe atas dugaan aktivitas tambang emas oleh PT TMS, pada Kamis (13/1/2021). (Foto: Dokumen warga Pulau Sangihe)
Sidang gugatan warga Pulau Sangihe atas dugaan aktivitas tambang emas oleh PT TMS, pada Kamis (13/1/2021). (Foto: Dokumen warga Pulau Sangihe)

Warga dan Penggugat Temukan Kejanggalan pada Sidang Gugatan Izin Tambang PT TMS



Berita Baru, Jakarta – Sidang Pemeriksaan Setempat Gugatan Masyarakat Sangihe di PTUN Jakarta dan di PTUN Manado terhadap izin-izin pertambangan emas PT Tambang Mas Sangihe (TMS) dilakukan secara bersamaan dan terpadu oleh Majelis Hakim PTUN Jakarta.

Diterangkan dalam rilis Koalisi Save Sangihe Island yang diterima Beritabaru.co, Majelis Hakim PTUN Jakarta mengadili Perkara Izin Tambang No. 146/G/2021/PTUN-Jkt dan Majelis Hakim PTUN Manado mengadili perkara Izin Lingkungan No. 57/G/LH/2021/PTUN-Jkt di Kampung Bowone Kecamatan Tabukan Selatan Tengah pada (7/03/22).

Beberapa fakta diajukan Kuasa Hukum Penggugat Izin Lingkungan yang diverifikasi dan diklarifikasi oleh majelis hakim bersama Tergugat-Tergugat dan akan ditinjau di lapangan.

Fakta pertama menyangkut kampung Bowone masuk dalam areal izin lingkungan PT. TMS. Di dalamnya terdapat rumah penduduk, gedung ibadah, sekolah, fasilitas umum. Termasuk Kantor Desa tempat dilaksanakannya Sidang Pemeriksaan Setempat. 

“Pada intinya, masyarakat Bowone akan terusir dari kampung halamannya oleh karena peta dari rencana kerja PT TMS, seluruh lokasi tersebut akan menjadi lokasi pengolahan emas PT TMS, akan digantikan dengan pabrik pengolahan emas. Sementara lokasi open pit (area galian), Gudang peledak, dan lokasi pembuangan tanah dan tailing tidak berada di lokasi Izin Lingkungan,” kata Jull Takaliuang  perwakilan Koalisi Save Sangihe Island, Rabu (9/3).

Fakta Kedua, pipa air masyarakat yang dibangun Pemerintah pernah dirusak oleh pihak PT. TMS yang berakibat masyarakat Desa Bowone tidak mendapatkan air bersih selama empat hari. 

“Sidang Izin Lingkungan selanjutnya diskors, untuk dibukanya Sidang Izin Tambang oleh Majelis Hakim PTUN Jakarta. Hakim Ketua Majelis Akhidat Sastrodinata, membuka sidang dan menyatakan bahwa Sidang Pemeriksaan Setempat bukanlah sidang pembuktian perkara, hanya merupakan sidang untuk pengetahuan Hakim terhadap objek yang disengketakan,” ujarnya.

“Selanjutnya, ditetapkan 5 titik yang akan ditinjau, yaitu lokasi kantor Desa sebagai titik pertama, kemudian lokasi pipa air yang pernah dirusak, selanjutnya 3 titik lain yang merupakan lokasi-lokasi tidak masuk lokasi Izin Lingkungan tetapi merupakan wilayah yang akan dikerjakan oleh PT TMS, sesuai rencana kerja PT TMS yang diperoleh dari website PT TMS,” sambung Jull Takaliuang.

Di lapangan, lanjutnya, pertanyaan masyarakat pro TMS yang menyatakan “bukan ngoni pe tanah kwa ngoni mogugat” menjelaskan ketidakpahaman baik  anggota masyarakat bersangkutan.  Yang digugat oleh 56 orang perempuan masyarakat kampung Bowone adalah izin lingkungan PT. TMS yang di dalamnya memasukkan kampung Bowone untuk dijadikan areal pertambangan oleh PT. TMS termasuk AMDAL PT. TMS yang menjadi dasar izin lingkungan tersebut yang melanggar prosedur dengan tidak melibatkan masyarakat dan tidak bisa diakses oleh publik. 

“Dengan demikian siapapun masyarakat baik dari kampung Bowone, Binebas dan Salurang yang ruang hidupnya berpotensi diambil oleh PT. TMS melalui ijin lingkungannya, berhak untuk menggugat,” tuturnya.

Fakta ketiga adalah majelis hakim PTUN Manado, telah menerima peta yang diajukan kuasa hukum penggugat yang menggambarkan atau membuktikan bahwa PT. TMS akan bekerja tidak saja di areal 65 Ha (luas izin lingkungan) tetapi juga di luar areal izin lingkungan tersebut.

Jull Takaliuang dari pihak SSI kemudian mempertanyakan sejumlah kejanggalan yang terjadi pada persidangan setempat yang digelar pada Rabu 9 Maret tersebut. Kejanggalan yang terjadi mengakibatkan kekecewaan yang dirasakan oleh para penggugat dan penggugat intervensi kepada Majelis Hakim PTUN Jakarta.

Menurutnya, kejanggalan pertama Majelis Hakim PTUN Jakarta tidak bersedia meninjau lokasi titik-titik koordinat yang membuktikan luasan 42.000 Ha konsesi PT. TMS yang diajukan oleh kuasa hukum penggugat maupun penggugat intervensi sesuai dengan objek perkara.

“Di dalamnya terdapat situs-situs penting, baik secara sosial dan ekologi seperti keberadaan hutan lindung Sahendarumang dengan satwa endemik di dalamnya, 5 pulau kecil selain pulau kecil Sangihe, sungai dan mata air, makam, Gedung ibadah, sekolah, fasilitas umum, kantor Pemerintah, hamparan perkebunan rakyat yang memenuhi kebutuhan hidup masyarakat Sangihe,   yang semuanya masuk dalam konsesi PT. TMS. Padahal itu merupakan dasar utama gugatan masyarakat,” katanya.

Kejanggalan yang kedua, Jull Takaliuang menilai Hakim mengabaikan kawasan hutan lindung mangrove di pesisir desa Bowone, Binebas, Hangke, Bulo, Salurang, Laine, Kaluwatu hingga Pananaru, yang masuk dalam luas konsesi 42.000 Ha.  

“Saat berada di titik lokasi pengerjaan konstruksi PT. TMS hanya menanyakan dimana hutan lindung yang saat itu terlihat mata. Yang jelas tidak ada karna yang menjadi hutan lindung adalah Kawasan mangrove yang jaraknya hanya 1 Km dari lokasi hakim berdiri,” tuturnya.

Ketiga, saat membuka sidang di kantor desa Bowone, sempat terjadi perdebatan antara kuasa hukum penggugat intervensi dengan majelis hakim PTUN Jakarta  terkait status kegiatan konstruksi yang sedang dikerjakan PT. TMS. 

“Hakim  berpendapat bahwa kegiatan konstruksi bukan sebagai kegiatan operasi produksi. Sedangkan dalam UU 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dinyatakan bahwa kegiatan konstruksi merupakan bagian dari tahapan operasi produksi,” katanya.

Adapun kejanggalan yang keempat menurut Jull Takaliuang, majelis hakim sama sekali tidak menyentuh UU 1 tahun 2014 tentang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil, yang menjadi dasar hukum penggugat mengajukan gugatan,  dimana pasal 26 a mewajibkan PT. TMS sebagai perusahaan dengan penanaman modal asing harus mendapatkan izin Menteri. 

“Faktanya, PT. TMS sampai hari ini tidak memiliki izin pemanfaatan pulau dari Menteri Kelautan dan Perikanan, namun tetap melakukan kegiatan konstruksi sebagai bagian dari tahapan operasi produksi,” tegasnya.

“Dengan demikian, majelis hakim PTUN Jakarta meninggalkan kekecewaan pada para penggugat dan penggugat intervensi karena sama sekali tidak menyentuh substansi pulau kecil yang merupakan pokok utama dalam perkara,” tukas Jull Takaliuang.