Visi Aceh Green dalam Kebijakan Anggaran Kehutanan
Visi Aceh Green Dalam Kebijakan Anggaran Kehutanan
Oleh: Ahmad Taufik (Analis Keuangan Daerah)
Kondisi Hutan Aceh
Aceh merupakan provinsi yang memiliki hutan terluas kedua setelah Riau. Fungsi lindung hutan Aceh merupakan yang tertinggi diantara 9 provinsi lainnya di pulau Sumatera.[1] Statistik Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2017 menunjukkan bahwa 60% lebih wilayah Aceh adalah kawasan hutan atau seluas 3,56 juta hektar, dimana 2,85 juta hektar atau 80% lebih kawasan hutan tersebut merupakan hutan lindung dan kawasan suaka alam/pelestarian alam.
Selain itu, Aceh juga memiliki kekayaan Keanekaragaman Hayati -ekosistem Leuser- di Aceh yang penting bagi Indonesia dan Dunia. Ekosistem ini merupakan rumah bagi beberapa spesies paling ikonik di Asia Tenggara dan habitat terakhir dimana orangutan, gajah, badak dan harimau Sumatera hidup berdampingan. Selain itu Hutan menyediakan persediaan air bersih untuk jutaan warga yang tinggal di Aceh, tempat hidup untuk masyarakat pedesaan yang beragam-banyak, termasuk mereka yang tinggal di area ini dari generasi ke generasi dan bergantung pada ekosistem untuk sumber pangan dan sumber mata pencaharian mereka. Hal ini menunjukkan bahwa hutan perlu jadi pertimbangan pokok dalam merencanakan dan merealisasikan pembangunan Aceh.
Meskipun luas kawasan lindung yang cukup tinggi, tetapi alih fungsi kawasan hutan terus mengancam, baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Contohnya, luas tutupan hutan tahun 2016 hanya 3,029 juta Ha, sementara Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) di Aceh tinggal tersisa 2,255 juta Ha.[2] Berdasarkan hasil analisa HaKA, bahwa Aceh mengalami kehilangan 42 ribu hektar luas tutupan hutan dalam kurun waktu 2015-2016, yang terdiri dari hilangnya tutupan hutan pada 2015 sebesar 21.056 hektar dan pada 2016 mencapai sekitar 21 ribu hektar. Pada 2016-2017 perubahan tutupan kembali berkurang lagi sebanyak 17.808 Ha.
Selain itu masih terdapat ancaman alih fungsi hutan dalam desain kebijakan pembangunan sebagaimana tersebut dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) tahun 2018-2022. Dalam dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)[3] diuraikan bahwa terdapat kebijakan, rencana dan program (KRP) yang berpotensi mengubah status fungsi kawasan hutan seluas 117.332,46 Ha. Adapun kawasan lindung, taman nasional dan suaka margasatwa sebagai habitat 4 (empat) satwa kunci seperti harimau, gajah, badak dan orangutan juga terancam mengalami alih fungsi dengan luas cukup besar yaitu 51.614,93 Ha.
Pengembangan industri dan agro industri, serta tata ruang dan pembangunan ekonomi berpotensi mengubah fungsi hutan paling besar yaitu mencapai 111.279,88 Ha. Kondisi ini diperkirakan akan terus terjadi seiring dengan pertumbuhan ekonomi Aceh yang akan terus berkembang dan meningkatkan kebutuhan lahan. Belum lagi ancaman dari bencana hidrometeorologi, seperti banjir, longsor, dan erosi-sedimentasi yang tidak lain bagian dari dampak kerusakan dari lingkungan hidup di Aceh.
Permasalahan tata kelola kehutanan lainnya adalah ketimpangan akses pengelolaan hutan dan lahan, dimana ketimpangan akses dan tumpang tindih perizinan menimbulkan konflik yang tidak berkesudahan. Berdasarkan data dari Buku “Potret Konflik Agraria; Studi Kasus-Kasus Agraria di Aceh” menyebutkan bahwa pada 2006-2011 tercatat sebanyak 65 kasus konflik agraria di Aceh. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam catatan akhir tahun 2017, telah terjadi konflik agraria sebanyak 24 kali di Provinsi Aceh, sehingga menempatkan provinsi ini pada posisi 5 besar.[4]
Hilangnya tutupan hutan akibat alih fungsi, pemanfaatan secara illegal dan lemahnya tata kelola perizinan menyebabkan terjadinya konflik tenurial, mengancam kelestarian satwa kunci, serta menghilangkan kesempatan masyarakat untuk mengaakses sumberdaya hutan, sehingga memicu kemiskinan. Adapun jumlah lahan kritis di Aceh, sebagaimana dirilis oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2018 mencapai luas sebesar 316.637 Ha atau setara dengan 6% persen dari luas wilayah Aceh secara keseluruhan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Aceh masih memiliki pekerjaan rumah yang cukup besar untuk melakukan pemulihan terhadap lahan kritis tersebut.
Menurut Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAKA), dalam 2 tahun terakhir terdapat 30 ekor gajah yang mati di Kawasan Ekosistem Leuser dan seluruh kawasan hutan Aceh akibat terdegradasinya kawasan lindung dan kawasan konservasi. Jumlah tersebut setara dengan 6 persen populasi gajah dan setara dengan 25 persen populasi harimau yang masih ada. Mereka juga melaporkan temuan bahwa populasi harimau terus berkurang hamoir mencapai 75 persen dalam 5 tahun terakhir. Selain itu terjadinya 70 kasus perburuan illegal terhadap spesies badak pada 1964-1993, mengakibatkan populasi badak sumatera tersebut saat ini tidak lebih dari 20 ekor yang tersisa.
Refleksi Kebijakan Anggaran Kehutanan
Sementara itu kebijakan anggaran kehutanan sampai saat ini masih sangat terbatas, belum sepenuhnya memperhatikan permasalahan kehutanan di Aceh. Meskipun tren alokasi anggaran kehutanan dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan, yaitu mulai Rp89,1 Milyar (0,73% dari Belanja APBA pada 2015) menjadi Rp203,7 Milyar (1,35% dari Belanja APBA pada 2018), namun sebagian besar justeru terjadi pada belanja pegawai.
Peningkatan alokasi anggaran belanja pegawai urusan kehutanan merupakan akibat dari berlakunya UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dimana personil Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota dialihkan tanggungjawabnya kepada Provinsi. Pada gambar di atas diperoleh gambaran bahwa selama ini alokasi belanja kehutanan (program kehutanan pada Belanja Langsung) hanya setara dengan 1/3 dari belanja Dinas Kehutanan secara keseluruhan. Sementara 2/3 lainnya digunakan untuk belanja pegawai –gaji dan tunjangan– dan belanja rutin[5] dalam belanja langsung, diantaranya program administrasi perkantoran, program sarana dan prasarana aparatur, program disiplin aparatur dan program peningkatan kapasitas sumberdaya aparatur.
Sementara proporsi anggaran lingkungan hidup pada Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh[6], hanya 9,2 Milyar atau 0,07% pada 2017, kemudian meningkat menjadi 47,7 Milyar atau 0,32% dari total belanja APBA pada 2018. Selain ketidakseimbangan anggaran kehutanan dan lingkungan hidup pada satu perangkat daerah, juga masih terdapat penggunaan anggaran pada program maupun kegiatan yang belum efektif, seperti anggaran perlindungan hutan.
Pada tahun 2018 Dinas LHK Aceh mengalokasikan anggaran sebesar Rp55 Milyar atau setara dengan 27% Anggaran Urusan Kehutanan melalui Program Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Hutan, dimana 88% dari anggaran pada program tersebut atau Rp48,4 Milyar hanya digunakan untuk membiayai honorarium personil PAMHUT. Jika penyediaan alokasi anggaran PAMHUT tidak diikuti dengan anggaran operasional untuk pengamanan hutan maka kegiatan ini tidak punya dampak positif terhadap perlindungan hutan, tetapi merupakan penggunaan anggaran kurang efektif.
Proyeksi Kebijakan
Lemahnya pengawasan dan tata kelola perizinan turut menyebabkan terjadinya deforestasi, yang berdampak pada meningkatnya intensitas bencana dan konflik, sehingga memicu kemiskinan terutama bagi penduduk yang tinggal di dalam dan sekitar Kawasan hutan. Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalisir dampak tersebut, misalnya melalui optimalisasi peran KPH untuk menjaga dan mengelola hutan ditingkat tapak. Akan tetapi jika alokasi anggarannya tidak memadai, maka tugas tersebut tidak akan bisa berjalan efektif.
Selain itu Program Perhutanan Sosial yang memberikan jaminan akses legal kepada masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan, juga memberikan tanggungjawab kepada masyarakat untuk turut serta melakukan perlindungan dan pelestarian kawasan hutan tersebut.
Sejauh ini implementasi perhutanan sosial di Aceh masih jauh dari target yang ditetapkan. Berdasarkan Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) target Perhutanan Sosial di Aceh adalah 459.018 Ha. Akan tetapi sampai bulan Oktober 2018 capaiannya baru mencapai 42.265,4 Ha atau 9,2%. Adapun rincian capaian berdasarkan skemanya adalah sebagai berikut: (1) Hutan Desa/HD seluas 12.035 Ha; (2) Hutan Kemasyarakatan/HKm seluas 26.685 Ha; (3) Hutan Tanaman Rakyat/HTR seluas 3.545,4 Ha. Masih rendahnya capaian tersebut memerlukan adanya upaya percepatan agar pengelolaan hutan berbasis masyarakat termasuk dalam upaya perlindungan hutan di Aceh menjadi lebih efektif dan massif.
Dengan mempertimbangkan kondisi kerentanan sektor kehutanan, keanekagaman hayati termasuk di dalamnya empat satwa kunci, ancaman degradasi hutan, belum optimalnya peran lembaga pengelola hutan dalam melakukan perlindungan, serta belum efektifnya kebijakan anggaran, maka jaringan organisasi masyarakat sipil dan forum jurnalis lingkungan Aceh bermaksud menyampaikan rekomendasi sebagai berikut:
Pertama : Mengoptimalkan pelaksanaan program perlindungan dan pengawasan hutan secara kolaboratif.
Dinas LHK dan KPH bersama perangkat daerah lainnya seperti Dinas Perkebunan, Dinas Pertambangan, serta Dinas Penanaman Modal dan PTSP, dapat menjalin kerjasama melalui kolaborasi perlindungan dan pengawasan bersama jaringan organisasi masyarakat sipil di Aceh.
Berbagai kegiatan yang dapat dikolaborasikan antara lain mendorong transparansi perizinan, melakukan penataan perizinan dalam rangka tindak lanjut Instruksi Presiden No. 8 tahun 2018 tentang moratorium perizinan, patroli perlindungan hutan, serta penegakan hukum lingkungan.
Kedua : Penguatan peran dan fungsi KPH sebagai pengelola hutan di tingkat tapak.
Pemerintah Aceh perlu memperkuat kelembagaan KPH, melalui dukungan kebijakan, regulasi maupun anggaran agar lebih optimal dalam menjalankan tugas dan fungsi untuk upaya pelindungan dan pengawasan hutan, pemberdayaan ekonomi masyarakat, serta rehabilihasi hutan.
Ketiga : Percepatan implementasi perhutanan sosial dalam rangka melestarikan hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah Aceh melalui Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial (Pokja PPS) yang merupakan forum lintas pihak dapat melakukan terobosan dan upaya pro-aktif memfasilitasi kelompok masyakarat atau pemerintahan Gampong untuk menyiapkan usulan perhutanan sosial kepada pemerintah, sehingga target 30.000 Ha setiap tahun dapat tercapai.
Terkait dengan kelompok masyarakat dan pemerintah Gampong yang telah mendapatkan izin perhutanan sosial sebesar 42.265,4 Ha, maka pemerintah Aceh harus menyiapkan kegiatan pendampingan, pengembangan usaha, dan menghubungkan dengan pihak ketiga (termasuk lembaga keuangan dan off-taker) agar masyarakat segera mendapatkan manfaat ekonomi secara nyata.
Keempat : Menjamin empat satwa kunci mendapatkan perlindungan secara optimal.
Upaya perlindungan satwa kunci dapat dilakukan dengan cara
mengefektifkan kerja kolaborasi dengan Forum Konservasi Leuser (FKL) melalui
kegiatan patroli dalam kawasan hutan, penyisiran ranjau jebakan, pelibatan
masyarakat, serta memperbanyak informan untuk melaporkan ancaman yang timbul
secara real-time.
[1] Statistik Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2017, berdasarkan SK 859/MENLHK/SETJEN/PLA.2/11/2016 tentang Luas Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan di Aceh.
[2] Sebagaimana disampaikan Agung Dwinurcahya Manager Geographic Information System (GIS) Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HaKA), dikutip dari Mangobay
[3] KLHS merupakan instrumen yang dilakukan untuk mengevaluasi secara kritis implikasi/dampak yang terjadi terhadap lingkungan sebagai konsekuensi dari adanya kebijakan, rencana dan program (KRP) sebuah entitas pembangunan yang diusulkan.
[4] Catatan Akhir Tahun KPA 2017; “Reforma Agraria di Bawah Bayangan Investasi”, dapat dilihat juga kompas
[5] Belanja Pegawai dan Rutin termasuk didalamnya, belanja pegawai untuk membiayai pamhut yang ada dalam belanja Program Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Hutan
[6] Sebelum Tahun 2017, Dinas LHK Aceh belum digabung, masih Dinas Kehutanan dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan secara terpisah. Dinas LHK Aceh menyelenggarakan 2 urusan, yaitu urusan kehutanan dan urusan lingkungan hidup.