Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

GETOL
(Foto: GETOL Jatim)

GETOL Desak Pemerintah Liburkan Buruh Selama Pandemi Covid-19



Berita Baru, Jakarta – Gerakan Tolak Omnibus Law (GETOL) Jawa Timur, meminta pemerintah melindungi hak buruh/pekerja di tengah pandemi Covid-19.  Pasalnya, GETOL Jatim menilai, buruh/pekerja sangat rawan terinfeksi oleh Covid-19. Oleh karenya, melalui siaran pers yang diterima Beritabaru.co, GETOL Jatim meminta pemangku kebijakan terkait meliburkan buruh/pekerja dan memberikan hak mereka selama diliburkan.

Berikut Beritabaru.co lampirkan pandangan GETOL Jatim yang tertuang dalam siaran pers, Kamis (02/4).

Melalui akun Youtube Sekretariat Presiden, Joko Widodo pada Senin, 30 Maret 2020 berencana menerapkan kebijakan darurat sipil sebagai langkah untuk mencegah penyebaran virus corona yang menyebabkan COVID-19 di Indonesia. Presiden menjelaskan bahwa penetapan status darurat sipil diperlukan agar kebijakan physical distancing atau jaga jarak fisik dapat diterapkan secara tegas, disiplin, efektif dan dalam skala luas.

Kemudian tanggal 31 Maret 2020, Presiden Joko Widodo dalam keterangan medianya menyatakan bahwa telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar, disusul dengan Keputusan Presiden (KEPRES) No. 11 Tahun 2020 tentang Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPPU) No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Disease 2019 (COVID-19) Dan/Atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Dalam keterangan tersebut, Presiden Jokowi menyatakan telah berbicara dengan Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dan Kepala Lembaga Penjamin Simpanan, sebelum menerbitkan aneka aturan darurat. Maka Perppu yang akan dikeluarkan pemerintah berisikan kebijakan dan langkah-langkah luar biasa (extraordinary), sebagai langkah taktis dakam menyelamatkan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan, salah satunya melalui berbagai relaksasi (penundaan sementara) keuangan, dengan pelaksanaan APBN 2020, serta melakukan upaya cepat untuk memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan.

Terkait penanganan pandemi COVID-19 dan dampaknya terhadap ekonomi, khususnya keuangan, setidaknya ada tiga poin yang disampaikan. Pertama, kesehatan masyarakat adalah yang utama. Sebab itu, kendalikan penyebaran COVID-19 dan obati pasien yang terpapar. Kedua, kita siapkan jaring pengaman sosial untuk masyarakat lapisan bawah agar tetap mampu memenuhi kebutuhan pokok dan menjaga daya beli. Ketiga, menjaga dunia usaha utamanya usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah, agar tetap beroperasi dan mampu menjaga penyerapan tenaga kerjanya. Dan, pada kesempatan ini, saya akan fokus pada penyiapan bantuan untuk masyarakat lapisan bawah.

Bahwa akibat dari pandemi COVID-19 sejumlah perusahaan telah menetapkan kebijakan dengan meliburkan buruh, diantaranya :

PT. Fast Food Indonesia;
Tbk.Mulai tanggal 1 April 2020, bagi pekerja/buruh yang dirumahkan dipotong 30% untuk upah dibawah Rp. 3 juta atau dibawah UMP dan dipotong 50% untuk upah diatas Rp. 3 juta.

PT. Matahari Departemen Strore, Tbk;
Mulai tanggal 30 Maret 2020 hingga tanggal  13 April 2020, store ditutup dengan kebijakan cuti tak berbayar.

PT. Bintang Karya Inti;
Mengambil kebijakan pembayaran upah 50% mulai Maret hingga Juni 2020.

PT. Fast Retailing Indonesia;
Menutup store di Tunjungan Plasa sejak tanggal 27 Maret 2020 hingga 9 April 2020.

Berdasarkan analisis Gerakan Tolak Omnibus Law (GETOL) Jawa Timur, bahwa PP No. 21 Tahun 2020, sangat tidak operasional dan tepat sasaran, hanya menunjukan kesan seoalah-olah negara hadir. Fakta ini dapat dilihat pada Pasal 4 dan 5 terkait Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dalam jabaran kalimatnya menyatajan jika PSBB dilakukan paling sedikit meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, serta mempertimbangkan produktivitas ekonomi. Namun, tidak diatur secara teknis dan konkrit, seperti ketika peliburan di tempat kerja, bagaimana dengan jaminan hak-hak buruh. Lalu, bagaimana dengan hak mereka di sektor informal?

Alasan pokok berupa produktivitas ekonomi, sangat jelas menunjukkan bahwa pemerintah masih setengah-setengah dalam menjamin keselamatan masyarakat, jauh dari semangat UUD 1945. PP ini juga tidak tegas dalam mengatur soal kewajiban dan tindakan secara teknis dalam ketentuan pasal 49 dan 55 Undang-undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, yang secara tegas telah menyebutkan bahwa selama terjadi karantina wilayah, maka kebutuhan dasar hidup orang dan hewan menjadi tanggung jawab negara, dalam menjalankan tanggung jawab tersebut pemerintah pusat dalam karantina wilayah dengan melibatkan pemerintah daerah dan pihak terkait.

Pasal 35 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur bahwa pemberi kerja dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberi kan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja. Dan Pasal 86 menjelaskan bahwa setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilainilai agama.

Selain hal  di atas telah, juga beredar kabar bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, di tengah-tengah pandemi COVID-19, secara tidak etis telah memaksakan akan membahas Rancangan Undang-undang Cipta Kerja dan Perpajakan (Omnibus Law). Tentu, ini menjadi satu wujud buruk di mana elite tidak punya etika, bahkan menunjukan watak sesungguhnya politik Indonesia yang anti kemanusiaan dan kerakyatan. Perlu kita ketahui semua, bahwa selain bahaya pandemi COVID-19, Omnibus Law juga sangat berbahaya bagi keberlangsungan dan kehidupan masyarakat. Karena RUU Sapu jagat ini akan merampas hak pekerja, petani, kaum adat dan lingkungan hidup. Watak RUU ini menguntungkan elite politik dan para oligark (penguasa sumber daya).

Mengingat juga, jika pemberlakukan Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB) ini mengandung unsur sanksi sebagaimana dituangkan dalam maklumat Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No.  Mak/2/III/2020 tanggal 19 Maret 2020. Apabila ditemukan perbuatan yang bertentangan dengan maklumat ini, maka setiap anggota POLRI wajib melakukan tindakan kepolisian yang diperlukan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Tentu, ini akan menimbulkan kebingungan serta ketidakpastian. Di mana di satu sisi PSBB masih belum jelas arahnya, di satu sisi rakyat marjinal tanpa jaminan dikejar sana-sini.

Berdasarkani penjelasan di atas, Gerakan Tolak Omnibus Law (GETOL) Jawa Timur menyatakan dan mendesak pemerintah agar:

  1. Pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan Darurat Sipil;
  2. Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah meliburkan seluruh tempat kerja dan memenuhi hak-hak pekerja/buruh dan memberikan jaminan tidak akan ada PHK masal;
  3. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib menjamin kehidupan pekerja sektor informal dengan membuat jaminan sosial inklusif;
  4. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus memperkuat dan memenuhi infrastruktur terkait penanganan pandemi ini, karena masih banyak rumah sakit yang kekurangan APD untuk tenaga kesehatan dan harus memberikan jaminan sosial kepada tenaga kesehatan;
  5. Pemerintah Pusat harus menguatkan riset dari kampus-kampus terkait, guna menemukan obat dalam pandemi ini;
  6. Pemerintah Pusat harus merancang ulang Sistem Kesehatan Nasional;
  7. Mengeluarkan peraturan pemerintah yang mengatur tentang teknis pemberian kebutuhan dasar orang dan hewan sebagaimana diatur dalam pasal 55 UU No. 16 Tahun 2018;
  8. Mengecam pihak-pihak baik eksekutif maupun legislatif yang tidak punya empati, yang lebih memilih sidang terkait omnibus law dan pemindahan ibu kota daripada memikirkan keselamatan rakyatnya.

Surabaya, 2 April 2020